Kita akhiri pasal ini
dengan dialog yang terjadi di antara Yohanes dengan ulama mazhab yang empat.
Ini merupakan dialog yang paling indah di dalam bab ini. Para pembaca hendaknya
merenungi berbagai hujjah yang kokoh dan bijaksana yang terdapat di dalam dialog
ini. Saya menukil dialog ini dari kitab Munadzarah fi al-Imamah, karya Abdullah
Hasan.
Yohanes berkata,
"Ketika saya melihat berbagai perselisihan di kalangan para sahabat besar,
yang nama-nama mereka disebut bersama nama Rasulullah di atas mimbar, hati saya
menjadi resah dan gelisah, dan hampir saya mendapat musibah dalam agama saya.
Maka saya pun bertekad untuk pergi ke Baghdad, yang merupakan kubah Islam,
untuk menanyakan berbagai perselisihan yang terjadi di antara para ulama kaum
Muslimin yang saya lihat, supaya saya dapat mengetahui kebenaran dan
mengikutinya. Ketika saya berkumpul dengan para ulama dari mazhab yang empat
saya berkata kepada mereka, 'Saya adalah seorang dzimmi, dan Allah SWT telah
menunjukkan saya kepada Islam, maka saya pun memeluk Islam. Sekarang, saya
datang kepada Anda untuk mendapatkan ajaran agama, syariat Islam dan hadis dari
Anda, supaya bertambah pengetahuan saya di dalam agama saya.'
Yang tertua dari
mereka —yang merupakan seorang ulama Hanafi— berkata, 'Wahai Yohanes, mazhab
Islam itu ada empat. Oleh karena itu, pilihlah salah satu darinya, dan kemudian
mulailah baca kitab yang kamu kehendaki.'
Saya berkata
kepadanya, 'Saya melihat terdapat perselisihan, namun saya tahu bahwa kebenaran
ada pada salah satu di antaranya. Maka Oleh karena itu, pilihkanlah bagi saya
—menurut yang Anda ketahui— kebenaran sebagaimana yang dipegang oleh Nabi
Anda.'
Ulama Hanafi itu
berkata, 'Sesungguhnya kami tidak mengetahui dengan pasti kebenaran mana yang
dipegang oleh Nabi kami, namun kami yakin bahwa jalannya tidak keluar dari
salah satu kelompok Islam yang ada. Masing-masing dari kami yang empat
mengatakan bahwa kamilah yang benar namun mungkin juga salah. Masing-masing
mereka juga mengatakan bahwa selainnya salah namun mungkin juga benar.
Singkatnya, sesungguhnya mazhab Hanafi adalah mazhab yang paling dekat dan
paling sesuai dengan sunah. Mazhab yang paling masuk akal dan mazhab yang
paling tinggi di kalangan manusia. Mazhab Hanafi adalah mazhab yang paling
banyak dipilih oleh umat, dan bahkan mazhab pilihan para sultan. Kamu harus
berpegang kepadanya, niscaya kamu selamat.'"
Yohanes berkata,
"Maka berteriaklah Imam dari mazhab Syafi’i, dan saya kira terdapat
perselisihan di antara Syafi’i dan Hanafi. Imam mazhab Syafi’i itu berkata
kepada ulama Hanafi tersebut, 'Diam, jangan kamu bicara. Demi Allah, kamu telah
membual dan telah berdusta. Dari mana kamu mengistimewakan suatu mazhab atas
mazhab-mazhab yang lain, dan dari mana kamu menguatkan (tarjih) seorang
mujtahid atas mujtahid-mujtahid yang lain? Celaka kamu. Di mana kamu telah
mempelajari apa yang telah dikatakan oleh Abu Hanifah, dan apa-apa yang telah
diqiyaskan dengan ra'yunya? Sesungguhnya dia (Abu Hanifah)lah orang yang
disebut dengan sebutan 'tuan ra'yu', yang berijtihad dengan sesuatu yang
bertentangan dengan nas, yang menggunakan istihsan di dalam agama Allah.
Sampai-sampai dia meletakkan pendapatnya yang lemah dengan mengatakan, 'Jika
seorang laki-laki yang berada di India menikahi seorang wanita yang ada di
Romawi dengan akad syar'i. Lalu, setelah beberapa tahun kemudian laki-laki itu
mendatangi istrinya dan mendapatinya dalam keadaan hamil dan menggendong anak.
Laki-laki itu bertanya kepada istrinya, 'Siapa mereka ini?' Wanita itu
menjawab, 'Anak-anakmu'. Kemudian laki-laki itu mengadukan masalah itu kepada
seorang qadhi Hanafi, maka qadhi Hanafi itu akan menetapkan bahwa anak-anak
tersebut adalah berasal dari tulang sulbinya, dan dinisbahkan kepadanya baik
secara zahir maupun secara batin. Dia mewariskan kepada mereka dan mereka pun
mewariskan kepadanya.' Laki-laki itu protes, 'Bagaimana mungkin, padahal saya
belum pernah menyentuhnya sama sekali?' Maka qadhi Hanafi itu menjawab,
'Mungkin saja Anda pernah berjunub, atau Anda pernah keluar mani lalu air mani
Anda terbang dan jatuh ke dalam kemaluan wanita ini.'[224] Wahai Hanafi, apakah
ini sesuai dengan Kitab dan sunah?'"
Ulama Hanafi
menjawab, 'Benar, anak-anak itu dinisbahkan kepadanya. Karena wanita itu adalah
tempat tidurnya, dan tempat tidur dinisbahkan kepada seorang laki-laki melalui
akad syar'i, serta tidak disyaratkan harus adanya jimak. Rasulullah saw telah
bersabda, 'Anak milik tempat tidur (istri), sedangkan batu milik pelacur.'
Ulama Syafi’i itu tetap bersikeras menolak terjadinya tempat tidur dengan tanpa
jimak, dan dia pun berhasil mengalahkan ulama Hanafi di atas dengan berbagai
Hujjah yang dikeluarkan.
Ulama Syafi’i berkata
lebih lanjut, 'Abu Hanifah juga berkata, 'Jika seorang wanita dibawa ke rumah
suaminya; lalu seorang laki-laki lain menggaulinya. Kemudian laki-laki lain itu
mengaku di hadapan qadhi Hanafi bahwa dirinya telah menikahi wanita tersebut
sebelum wanita itu dinikahi oleh laki-laki yang membawanya ke rumahnya, lalu
laki-laki yang mengaku itu mengajukan dua orang fasik untuk memberikan
kesaksian palsu atas pengakuannya itu. Maka qadhi Hanafi itu akan memutuskan
bahwa wanita itu haram bagi suaminya yang pertama (yang membawanya ke rumahnya
—penerj.), baik secara zahir maupun batin, tertetapkannya ikatan pernikahan di
antara wanita itu dengan laki-laki yang kedua, dan wanita itu halal baginya
baik secara zahir maupun batin.'[225] Lihatlah, wahai manusia, apakah ini
mazhab orang yang mengenal kaidah-kaidah Islam?'
Ulama Hanafi itu
berkata, 'Anda tidak berhak mengkritik. Karena dalam pandangan kami hukum qadhi
berlaku baik secara zahir maupun batin, dan ini merupakan cabang darinya.'
Ulama Syafi’i berhasil mengalahkannya, dan melarang berlakunya hukum qadhi baik
secara zahir maupun batin dengan firman Allah SWT yang berbunyi,
'Dan hendak lah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah'
(QS. al-Maidah: 49)
Ulama Syafi’i
berkata, 'Abu Hanifah telah berkata, 'Jika seorang laki-laki ghaib dari
istrinya, dan terputus khabar mengenainya, lalu datang seorang laki-laki lain
berkata kepada wanita itu, 'Sesungguhnya suami kamu telah mati, maka oleh
karena itu, tinggalkanlah dia.' Lalu wanita itu pun meninggalkan suaminya yang
ghaib itu. Kemudian, setelah habis masa iddah, datanglah seorang laki-laki
menikahinya dan menggaulinya, dan kemudian wanita itu melahirkan beberapa orang
anak. Setelah itu, laki-laki yang kedua itu ghaib, dan kemudian laki-laki yang
pertama muncul di sisi wanita itu, maka seluruh anak dari laki-laki yang kedua
menjadi anak dari laki-laki yang pertama. Dia menerima waris dari mereka dan
mereka menerima waris darinya.'[226]
Wahai orang-orang
yang berakal, apakah orang yang pandai dan mengerti akan mau berpegang kepada
perkataan ini?'
Ulama Hanafi
menjawab, 'Abu Hanifah mengambil perkataan ini dari sabda Rasulullah saw yang
berbunyi, 'Anak milik ranjang (istri) dan batu milik pelacur.' Maka ulama
Syafi’i memprotes dengan mengatakan bahwa istri disyarati dengan adanya dukhul
(disetubuhi), dan dia mampu mengalahkan ulama Hanafi.
Kemudian ulama
Syafi’i berkata, 'lmam kamu Abu Hanifah telah berkata, 'Laki-laki mana saja
yang melihat seorang wanita Muslim, lalu dia mengklaim bahwa suami wanita
tersebut telah menceraikannya, dan kemudian dia mendatangkan dua orang saksi
yang memberikan kesaksian palsu yang menguntungkan baginya, maka qadhi
memutuskan terjadinya talak atas wanita tersebut, dan wanita itu menjadi haram
bagi suaminya, sehingga dengan begitu boleh bagi laki-laki yang mengklaim itu
menikahinya, dan begitu juga bagi saksi.'[227] Dia menyangka hukum qadhi
berlaku baik secara zahir maupun batin.'
Ulama Syafi’i
melanjutkan kata-katanya, 'lmam kamu Abu Hanifah mengatakan, 'Jika empat orang
laki-laki bersaksi bahwa seorang laki-laki telah berzina, jika laki-laki itu
membenarkan mereka, maka gugurlah hadd (hukuman), namun jika dia menyangkal
mereka maka tertetapkanlah hukuman baginya.'[228] Ambillah pelajaran, wahai
orang-orang yang memiliki penglihatan.'
Kemudian ulama
Syafi’i berkata lagi, 'Abu Hanifah telah berkata, 'Jika seorang laki-laki
mensodomi seorang anak laki-laki dan kemudian membenamkannnya, maka tidak ada
hadd baginya kecuali hanya ditegur.'[229]
Padahal Rasulullah
saw telah bersabda, 'Barangsiapa yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka
bunuhlah pelakunya (al-fa'il) dan orang yang menjadi objeknya
(al-maf'ul).'[230] Abu Hanifah berkata, 'Jika seseorang merampas biji gandum
lalu dia menggilingnya, maka biji gandum itu menjadi miliknya karena telah
menggilingnya. Jika kemudian pemilik biji gandum itu hendak mengambil biji
gandum yang telah digiling itu dengan cara memberikan upah menggiling kepada
orang yang merampas, maka tidak wajib orang yang merampas itu memenuhi
permintaannya dan dia boleh menolaknya. Jika pemilik gandum itu terbunuh maka
darahnya terbuang dengan sia-sia, sedangkan jika perampas itu terbunuh maka
pemilik gandum itu harus dibunuh karena telah membunuhnya.'[231]
Abu Hanifah juga
berkata, 'Jika seorang pencuri mencuri seribu dinar dari seseorang lalu dia
juga mencuri seribu dinar berikutnya dari yang lain, kemudian dia
menggabungkannya, maka semuanya menjadi miliknya, namun dia wajib memberi ganti
atasnya.'
Abu Hanifah juga
berkata, 'Jika seorang Muslim yang bertakwa dan berilmu membunuh seorang kafir
yang bodoh maka orang Muslim itu wajib dibunuh. Karena Allah SWT telah
berfirman, 'Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang
kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.' (QS. an-Nisa: 141)
Abu Hanifah berkata,
'Jika seseorang membeli ibunya atau saudara perempuannya, lalu dia menikahi
keduanya, maka tidak berlaku hukuman (hadd) atasnya, meskipun dia mengetahui
dan sengaja melakukannya.'[232]
Abu Hanifah berkata,
'Jika seseorang menikahi ibu atau saudara perempuannya dalam keadaan dia
mengetahui bahwa mereka itu adalah ibu atau saudara perempuannya, dan kemudian
dia menggauli mereka, maka tidak ada hukuman atasnya, disebabkan akad nikah
tersebut akad syubhat.'[233]
Abu Hanifah berkata,
'Jika seseorang tidur dalam keadaan junub di sisi kolam yang berisi minuman
keras, lalu dia berbalik di dalam tidurnya dan kemudian jatuh ke kolam, maka
hilang junubnya dan dia menjadi suci.'
Abu Hanifah juga
berkata, 'Tidak wajib niat di dalam wudu[234], dan juga di dalam
mandi.'[235][236] Padahal di dalam kitab sahih disebutkan, 'Sesungguhnya amal
perbuatan itu (terlaksana) dengan niat.'
Abu Hanifah berkata,
'Tidak wajib membaca basmalah di dalam Fatihah[237], dan dia mengeluarkannya
dari surat al-Fatihah, padahal para khalifah telah menuliskannya di dalam
mushaf-mushaf setelah dilakukan pengeditan terhadap Al-Qur'an.
Abu Hanifah juga
berkata, 'Jika bangkai anjing yang sudah mati diambil kulitnya, lalu kulitnya
itu disamak, maka kulit anjing itu menjadi suci, meskipun digunakan untuk
tempat minum dan hamparan di dalam salat.'[238] Ini bertentangan dengan nas
yang menyatakan najisnya 'ain najasah, yang berarti haramnya pemanfaatannya.'
Kemudian ulama
Syafi’i itu berkata, 'Wahai Hanafi, di dalam mazhabmu seorang Muslim tatkala
hendak salat boleh berwudu dengan menggunakan minuman keras, dan memulainya
dengan membasuh kaki serta mengakhirinya dengan membasuh kedua tangan.[239]
Kemudian memakai pakaian yang terbuat dari kulit bangkai anjing yang telah
disamak,[240] sujud di atas kotoran yang telah mengering, bertakbir dengan
menggunakan bahasa India, membaca surat al-Fatihah dengan bahasa Ibrani[241],
dan kemudian setelah al-Fatihah membaca 'du bargeh-ye sabz' —yaitu kata mudhammatan
(dua daun hijau), kemudian ruku, lalu tidak mengangkat kepalanya dari ruku
melainkan langsung sujud, serta dua sujud hanya dipisah dengan jeda waktu yang
sangat tipis tidak ubahnya seperti pemisah di antara dua mata pedang. Dan
apabila sebelum salam dia sengaja buang angin, maka salatnya sah, namun jika
dia tidak sengaja buang angin, maka salatnya batal.'[242]
Ulama Syafi’i kembali
berkata, 'Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki penglihatan.
Apakah seseorang boleh beribadah dengan ibadah yang seperti ini? Apakah boleh
bagi Nabi saw memerintahkan umatnya dengan ibadah yang seperti ini, yang tidak
lain hanya merupakan kebohongan yang dibuat-buat atas Allah SWT dan Rasul-Nya?'
Ulama Hanafi
membantah, dan dengan penuh emosi dia berkata, 'Berhenti! Wahai Syafi’i. Semoga
Allah merobek mulutmu. Kamu kira kamu ini siapa sehingga berani mengecam Abu
Hanifah, mazhab kamu tidak ada apa-apanya dibandingkan mazhabnya. Mazhab kamu
lebih layak disebut mazhab Majusi. Karena di dalam mazhabmu seorang laki-laki
boleh menikahi anak perempuan dan saudara perempuannya hasil zina, dan boleh
mengumpulkan dua orang saudara perempuan hasil zina, dan begitu juga boleh
menikahi ibunya hasil zina, begitu juga bibinya hasil zina.[243] Padahal Allah
SWT telah berfirman,
'Diharamkan atas kamu
menikahi ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu,
saudara-saudara perempuan bapakmu dan saudara-saudara perempuan ibumu.' (QS.
an-Nisa' 23)
Sifat-sifat hakiki
ini tidak berubah dengan terjadinya perubahan syariat dan agama. Jangan kamu
mengira, wahai Syafi’i, wahai dungu, bahwa terlarangnya mereka dari menerima
waris berarti mengeluarkan mereka dari sifat-sifat hakiki ini. Oleh karena itu,
sifat-sifat tersebut di-idhafah-kan kepadanya, sehingga dikatakan 'anak
perempuan dan saudara perempuannya dari hasil zina'. Pembatasan (taqyid) ini
tidak menyebabkannya menjadi majazi (kiasan), sebagaimana kata-kata kita yang
berbunyi, 'saudara perempuannya yang berasal dari nasab', melainkan hanya untuk
memerinci. Sesungguhnya pengharaman di atas mencakup segala sesuatu yang
terkena lafaz di atas, baik yang hakiki maupun yang majazi, berdasarkan
kesepakatan. Berdasarkan kesepakatan, nenek termasuk ke dalam kategori ibu, dan
begitu juga cucu perempuan dari anak perempuan, maka Oleh karena itu, tidak
diragukan haramnya keduanya dinikahi berdasarkan ayat ini. Perhati-kanlah,
wahai orang-orang yang berpikir, bukankah mazhab ini tidak lain mazhab Majusi.
Hai Syafi’i, Imam
kamu membolehkan manusia bermain catur,[244] padahal Rasulullah saw telah
bersabda, 'Tidak menyukai permainan catur kecuali seorang penyembah berhala.'
Hai Syafi’i, Imam
kamu membolehkan berjoged, memukul rebana dan meniup seruling[245] bagi manusia.
Allah memburukkan mazhabmu, di mana di dalamnya seorang laki-laki menikahi ibu
dan saudara perempuannya, bermain catur, berjoged dan memukul rebana. Tidaklah
ini semua kecuali kebohongan yang dibuat-buat atas Allah SWT dan Rasul-Nya saw.
Tidak akan ada orang yang berpegang kepada mazhab ini kecuali orang yang buta
hatinya dari kebenaran."'
Yohanes berkata,
"Perdebatan panjang terjadi di antara mereka berdua, lalu ulama Hanbali
membela ulama Syafi’i sedangkan ulama Maliki membela ulama Hanafi, sehingga
terjadilah perselisihan di antara ulama Maliki dan ulama Hanbali. Ulama Hanbali
berkata, 'Sesungguhnya Malik telah membuat suatu bid'ah di dalam agama, yang
karena bid'ah itu Allah SWT telah membinasakan umat-umat terdahulu, namun Malik
malah membolehkannya. Yaitu perbuatan mensodomi hamba sahaya. Padahal
Rasulullah saw telah bersabda, 'Barangsiapa yang mensodomi budak laki-laki,
maka bunuhlah pelaku (al-fa'il) dan orang yang menjadi objeknya
(al-maf'ul).'[246]
Saya pernah melihat
seorang bermazhab Maliki mengadukan seseorang kepada qadhi, bahwa dia telah
menjual budak laki-laki kepadanya namun budak itu tidak dapat digauli. Maka
qadhi itu memutuskan ada kekurangan pada budak laki-laki itu, dan Oleh karena
itu, pembelinya dapat mengembalikannya kembali kepada penjualnya. Apakah kamu
tidak malu kepada Allah, hai Maliki, mempunyai mazhab yang seperti ini,
sementara kamu mengaku-ngaku bahwa mazhabmu adalah sebagus-bagusnya mazhab?!
Imam kamu menghalalkan daging anjing. Allah pasti memburukkan mazhab dan keyakinanmu.'
Dengan serta merta
ulama Maliki menghardik dan berteriak, 'Dia kamu, hai mujassim (orang yang
mengatakan Allah berjisim). Justru mazhab kamu yang lebih layak untuk dilaknat
dan dijauhi. Karena dalam pandangan Imam kamu, Ahmad bin Hanbal, Allah itu
jisim yang duduk di atas 'arasy. Pada setiap malam Jumat Allah SWT turun dari
langit dunia ke atap-atap mesjid dalam bentuk wajah yang tidak berjanggut,
rambut yang keriting, mempunyai dua sandal yang talinya terbuat dari bunga
kurma, serta mengendarai keledai yang diiringi beberapa serigala.'"[247]
Yohanes berkata,
"Maka terjadilah perselisihan antara Hanbali dengan Maliki serta Syafi’i
dengan Hanafi. Mereka saling meninggikan suara mereka dan menelanjangi keaiban
mereka masing-masing, hingga menjengkelkan semua orang yang mendengarkan
perbincangan mereka, lalu orang-orang yang hadir pun mencela dan mengecam
mereka.
Lalu saya berkata
kepada mereka, 'Demi Allah, saya bersumpah, saya tidak senang dengan
keyakinan-keyakinan Anda. Jika Islam benar sebagaimana yang Anda katakan, maka
sungguh celaka. Demi Allah, saya bersumpah kepada Anda, supaya Anda menutup
pembahasan ini dan pergi. Karena sekarang masyarakat umum telah mencela dan
mengecam Anda."
Yohanes berkata,
"Maka mereka pun berdiri, lalu berpisah dan kemudian tidak keluar dari
rumah masing-masing selama seminggu. Tatkala mereka keluar rumah, masyarakat
mengecam mereka. Setelah beberapa hari kemudian mereka pun berdamai dan
berkumpul di mustanshiriyyah, dan saya pun duduk dan berbincang-bincang kembali
bersama mereka. Saya berkata kepada mereka, 'Saya menginginkan seorang ulama
dari kalangan ulama rafidhi, supaya kita berdialog dengannya tentang mazhabnya.
Apakah Anda bersedia mendatangkan seorang dari mereka untuk kita berdialog
dengannya?'
Ulama-ulama mazhab
empat itu berkata, "Wahai Yohanes, kelompok Rafidhah itu jumlahnya
sedikit. Mereka tidak bisa menampakkan diri di tengah-tengah kaum Muslimin,
karena sedikitnya jumlah mereka, dan juga karena banyaknya musuh mereka. Mereka
tidak akan menampakkan diri, apalagi dapat berdebat dengan kita tentang mazhab
mereka. Mereka itu sangat sedikit jumlahnya dan sangat banyak musuhnya."
Yohanes berkata,
"Ini merupakan pujian buat mereka, karena Allah SWT telah memuji kelompok
yang sedikit dan mencela kelompok yang banyak. Allah SWT berfirman,
'Dan sedikit sekali
dari hamba-hambaKu yang bersyukur.' (QS. Saba: 13)
'Dan tidaklah beriman
bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.'(QS. Hud: 40)
'Dan jika kamu
menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah.'(QS. al-An'am: 116)
'Dan Engkau tidak
akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.' (QS. al-A'raf: 17)
'Akan tetapi
kebanyakan manusia tidak bersyukur.' (QS. al-Baqarah: 243)
'Akan tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui.' (QS. al-An'am: 37)
'Akan tetapi
kebanyakan manusia tidak beriman.' (QS. ar-Ra'd: 1)
Dan ayat-ayat
lainnya."
Para ulama tersebut
berkata, "Wahai Yohanes, keadaan mereka lebih besar dari yang disifatkan.
Karena, jika kami mengenal salah seorang dari mereka, maka kami akan terus
membuntutinya hingga kami membunuhnya. Karena dalam pandangan kami, mereka itu
kafir dan halal darahnya. Bahkan, di kalangan para ulama kita ada yang
memberikan fatwa bahwa harta dan wanita mereka halal."
Yohanes berkata,
"Allah Mahabesar. Ini perkara yang besar sekali. Anda memandang mereka
berhak mendapatkan semua ini, apakah karena mereka mengingkari syahadatain?”
Para ulama menjawab,
"Tidak."
Yohanes bertanya
lagi, "Apakah karena mereka tidak menghadap kiblat kaum Muslimin?"
Mereka menjawab,
"Tidak."
Yohanes bertanya
sekali lagi, "Apakah karena mereka mengingkari salat, puasa, haji, zakat
atau jihad?"
Mereka menjawab,
"Tidak. Bahkan mereka mengerjakan salat, puasa, zakat, haji dan
jihad."
Yohanes kembali
bertanya, "Apakah karena mereka mengingkari hari kebangkitan, shirat,
timbangan dan syafaat?"
Para ulama menjawab,
"Tidak. Bahkan mereka mengakui yang demikian dengan sebaik-baiknya
pengakuan."
Yohanes bertanya
lagi, "Apakah karena mereka membolehkan perbuatan zina, sodomi, meminum
khamar, riba, alat musik dan alat-alat hiburan lainnya?"
Mereka menjawab,
"Tidak. Bahkan mereka menjauhi dan mengharamkannya."
Yohanes berkata,
"Demi Allah, sungguh mengherankan, bagaimana mungkin sebuah kaum yang
bersaksi dengan dua syahadat (syahadatain), mengerjakan salat dengan menghadap
kiblat, berpuasa di bulan Ramadan, pergi haji ke Baitul Haram, meyakini hari
kebangkitan dan rincian perhitungan, dihalalkan darahnya, hartanya dan
wanitanya, padahal Nabi Anda sendiri telah bersabda, 'Saya diperintahkan untuk
memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
bahwa Muhammad utusan Allah. Jika mereka mengatakan itu, maka terjagalah dariku
darahnya, hartanya dan wanitanya. Adapun perhitungan mereka berada di tangan
Allah."[248]
Para ulama itu
berkata, "Wahai Yohanes, sesungguhnya mereka telah membuat bid'ah di dalam
agama. Salah satunya ialah, mereka mengatakan bahwa Ali as adalah manusia
paling utama setelah Rasulullah saw, dan mereka lebih mengutamakannya atas para
khalifah yang tiga, padahal generasi pertama telah sepakat bahwa khalifah yang
paling utama adalah khalifah yang pertama."
Yohanes berkata,
"Bagaimana pendapat Anda jika ada orang yang mengatakan bahwa Ali lebih
baik dan lebih utama dari Abu Bakar, apakah Anda akan mengkafirkannya?"
Mereka menjawab,
"Ya. Karena dia telah menyalahi ijma'."
Yohanes bertanya
lagi, "Bagaimana pendapat Anda tentang muhaddis Anda yang bernama al-Hafidz
Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Mardawaih?"
Para ulama menjawab,
"Dia orang yang dapat dipercaya. Diterima riwayatnya dan lurus
sifatnya."
Yohanes berkata,
"Ini kitabnya yang berjudul Kitab al-Manaqib. Di dalam kitab ini dia
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, 'Ali adalah sebaik-baiknya
manusia, barangsiapa yang enggan menerimanya, maka dia telah kafir.'
Di dalam kitab ini
juga disebutkan, dari Salman, dari Rasulullah saw yang bersabda, "Ali bin
Abi Thalib adalah sebaik-baiknya orang yang aku jadikan pengganti
sepeninggalku."
Di dalam kitab ini
juga disebutkan, dari Anas bin Malik yang berkata bahwa Rasulullah saw telah
bersabda, "Saudaraku, pembantuku dan sebaik-baiknya orang yang aku jadikan
pengganti sepeninggalku adalah Ali bin Abi Thalib."
Dari Imam Anda, Ahmad
bin Hanbal, dia meriwayatkan di dalam musnadnya bahwa Rasulullah saw telah
bersabda kepada Fatimah, "Tidakkah engkau rida aku nikahkan engkau dengan
orang yang paling pertama masuk Islam dari umatku, dan orang yang paling banyak
ilmunya serta paling besar kebijaksanaannya."[249]
Ahmad juga
meriwayatkan di dalam musnadnya bahwa Rasulullah telah bersabda, "Ya
Allah, datangkanlah kepadaku hamba-Mu yang paling Kamu cintai."[250] Lalu
datanglah Ali bin Abi Thalib. Hadis ini juga disebutkan oleh Nasa'i dan
Turmudzi di dalam kitab sahih mereka.[251] Mereka berdua juga termasuk ulama
Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar