Pembicaraan tidak selalu ber arti pemahaman antara dua jiwa Kata-kata yang berasal dari bibir-bibir dan lidah-lidah tidak selalu bisa membawa sepasang hati bersama Ada sesuatu yang lebih agung dan lebih murni dari apa yang diutarakan mulut.

Minggu, Juli 29, 2012

DIALOG YOHANES DENGAN PARA ULAMA MAZHAB YANG EMPAT I

Kita akhiri pasal ini dengan dialog yang terjadi di antara Yohanes dengan ulama mazhab yang empat. Ini merupakan dialog yang paling indah di dalam bab ini. Para pembaca hendaknya merenungi berbagai hujjah yang kokoh dan bijaksana yang terdapat di dalam dialog ini. Saya menukil dialog ini dari kitab Munadzarah fi al-Imamah, karya Abdullah Hasan.

Yohanes berkata, "Ketika saya melihat berbagai perselisihan di kalangan para sahabat besar, yang nama-nama mereka disebut bersama nama Rasulullah di atas mimbar, hati saya menjadi resah dan gelisah, dan hampir saya mendapat musibah dalam agama saya. Maka saya pun bertekad untuk pergi ke Baghdad, yang merupakan kubah Islam, untuk menanyakan berbagai perselisihan yang terjadi di antara para ulama kaum Muslimin yang saya lihat, supaya saya dapat mengetahui kebenaran dan mengikutinya. Ketika saya berkumpul dengan para ulama dari mazhab yang empat saya berkata kepada mereka, 'Saya adalah seorang dzimmi, dan Allah SWT telah menunjukkan saya kepada Islam, maka saya pun memeluk Islam. Sekarang, saya datang kepada Anda untuk mendapatkan ajaran agama, syariat Islam dan hadis dari Anda, supaya bertambah pengetahuan saya di dalam agama saya.'

Yang tertua dari mereka —yang merupakan seorang ulama Hanafi— berkata, 'Wahai Yohanes, mazhab Islam itu ada empat. Oleh karena itu, pilihlah salah satu darinya, dan kemudian mulailah baca kitab yang kamu kehendaki.'

Saya berkata kepadanya, 'Saya melihat terdapat perselisihan, namun saya tahu bahwa kebenaran ada pada salah satu di antaranya. Maka Oleh karena itu, pilihkanlah bagi saya —menurut yang Anda ketahui— kebenaran sebagaimana yang dipegang oleh Nabi Anda.'

Ulama Hanafi itu berkata, 'Sesungguhnya kami tidak mengetahui dengan pasti kebenaran mana yang dipegang oleh Nabi kami, namun kami yakin bahwa jalannya tidak keluar dari salah satu kelompok Islam yang ada. Masing-masing dari kami yang empat mengatakan bahwa kamilah yang benar namun mungkin juga salah. Masing-masing mereka juga mengatakan bahwa selainnya salah namun mungkin juga benar. Singkatnya, sesungguhnya mazhab Hanafi adalah mazhab yang paling dekat dan paling sesuai dengan sunah. Mazhab yang paling masuk akal dan mazhab yang paling tinggi di kalangan manusia. Mazhab Hanafi adalah mazhab yang paling banyak dipilih oleh umat, dan bahkan mazhab pilihan para sultan. Kamu harus berpegang kepadanya, niscaya kamu selamat.'"

Yohanes berkata, "Maka berteriaklah Imam dari mazhab Syafi’i, dan saya kira terdapat perselisihan di antara Syafi’i dan Hanafi. Imam mazhab Syafi’i itu berkata kepada ulama Hanafi tersebut, 'Diam, jangan kamu bicara. Demi Allah, kamu telah membual dan telah berdusta. Dari mana kamu mengistimewakan suatu mazhab atas mazhab-mazhab yang lain, dan dari mana kamu menguatkan (tarjih) seorang mujtahid atas mujtahid-mujtahid yang lain? Celaka kamu. Di mana kamu telah mempelajari apa yang telah dikatakan oleh Abu Hanifah, dan apa-apa yang telah diqiyaskan dengan ra'yunya? Sesungguhnya dia (Abu Hanifah)lah orang yang disebut dengan sebutan 'tuan ra'yu', yang berijtihad dengan sesuatu yang bertentangan dengan nas, yang menggunakan istihsan di dalam agama Allah. Sampai-sampai dia meletakkan pendapatnya yang lemah dengan mengatakan, 'Jika seorang laki-laki yang berada di India menikahi seorang wanita yang ada di Romawi dengan akad syar'i. Lalu, setelah beberapa tahun kemudian laki-laki itu mendatangi istrinya dan mendapatinya dalam keadaan hamil dan menggendong anak. Laki-laki itu bertanya kepada istrinya, 'Siapa mereka ini?' Wanita itu menjawab, 'Anak-anakmu'. Kemudian laki-laki itu mengadukan masalah itu kepada seorang qadhi Hanafi, maka qadhi Hanafi itu akan menetapkan bahwa anak-anak tersebut adalah berasal dari tulang sulbinya, dan dinisbahkan kepadanya baik secara zahir maupun secara batin. Dia mewariskan kepada mereka dan mereka pun mewariskan kepadanya.' Laki-laki itu protes, 'Bagaimana mungkin, padahal saya belum pernah menyentuhnya sama sekali?' Maka qadhi Hanafi itu menjawab, 'Mungkin saja Anda pernah berjunub, atau Anda pernah keluar mani lalu air mani Anda terbang dan jatuh ke dalam kemaluan wanita ini.'[224] Wahai Hanafi, apakah ini sesuai dengan Kitab dan sunah?'"
Ulama Hanafi menjawab, 'Benar, anak-anak itu dinisbahkan kepadanya. Karena wanita itu adalah tempat tidurnya, dan tempat tidur dinisbahkan kepada seorang laki-laki melalui akad syar'i, serta tidak disyaratkan harus adanya jimak. Rasulullah saw telah bersabda, 'Anak milik tempat tidur (istri), sedangkan batu milik pelacur.' Ulama Syafi’i itu tetap bersikeras menolak terjadinya tempat tidur dengan tanpa jimak, dan dia pun berhasil mengalahkan ulama Hanafi di atas dengan berbagai Hujjah yang dikeluarkan.

Ulama Syafi’i berkata lebih lanjut, 'Abu Hanifah juga berkata, 'Jika seorang wanita dibawa ke rumah suaminya; lalu seorang laki-laki lain menggaulinya. Kemudian laki-laki lain itu mengaku di hadapan qadhi Hanafi bahwa dirinya telah menikahi wanita tersebut sebelum wanita itu dinikahi oleh laki-laki yang membawanya ke rumahnya, lalu laki-laki yang mengaku itu mengajukan dua orang fasik untuk memberikan kesaksian palsu atas pengakuannya itu. Maka qadhi Hanafi itu akan memutuskan bahwa wanita itu haram bagi suaminya yang pertama (yang membawanya ke rumahnya —penerj.), baik secara zahir maupun batin, tertetapkannya ikatan pernikahan di antara wanita itu dengan laki-laki yang kedua, dan wanita itu halal baginya baik secara zahir maupun batin.'[225] Lihatlah, wahai manusia, apakah ini mazhab orang yang mengenal kaidah-kaidah Islam?'

Ulama Hanafi itu berkata, 'Anda tidak berhak mengkritik. Karena dalam pandangan kami hukum qadhi berlaku baik secara zahir maupun batin, dan ini merupakan cabang darinya.' Ulama Syafi’i berhasil mengalahkannya, dan melarang berlakunya hukum qadhi baik secara zahir maupun batin dengan firman Allah SWT yang berbunyi,

'Dan hendak lah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah' (QS. al-Maidah: 49)

Ulama Syafi’i berkata, 'Abu Hanifah telah berkata, 'Jika seorang laki-laki ghaib dari istrinya, dan terputus khabar mengenainya, lalu datang seorang laki-laki lain berkata kepada wanita itu, 'Sesungguhnya suami kamu telah mati, maka oleh karena itu, tinggalkanlah dia.' Lalu wanita itu pun meninggalkan suaminya yang ghaib itu. Kemudian, setelah habis masa iddah, datanglah seorang laki-laki menikahinya dan menggaulinya, dan kemudian wanita itu melahirkan beberapa orang anak. Setelah itu, laki-laki yang kedua itu ghaib, dan kemudian laki-laki yang pertama muncul di sisi wanita itu, maka seluruh anak dari laki-laki yang kedua menjadi anak dari laki-laki yang pertama. Dia menerima waris dari mereka dan mereka menerima waris darinya.'[226]

Wahai orang-orang yang berakal, apakah orang yang pandai dan mengerti akan mau berpegang kepada perkataan ini?'

Ulama Hanafi menjawab, 'Abu Hanifah mengambil perkataan ini dari sabda Rasulullah saw yang berbunyi, 'Anak milik ranjang (istri) dan batu milik pelacur.' Maka ulama Syafi’i memprotes dengan mengatakan bahwa istri disyarati dengan adanya dukhul (disetubuhi), dan dia mampu mengalahkan ulama Hanafi.

Kemudian ulama Syafi’i berkata, 'lmam kamu Abu Hanifah telah berkata, 'Laki-laki mana saja yang melihat seorang wanita Muslim, lalu dia mengklaim bahwa suami wanita tersebut telah menceraikannya, dan kemudian dia mendatangkan dua orang saksi yang memberikan kesaksian palsu yang menguntungkan baginya, maka qadhi memutuskan terjadinya talak atas wanita tersebut, dan wanita itu menjadi haram bagi suaminya, sehingga dengan begitu boleh bagi laki-laki yang mengklaim itu menikahinya, dan begitu juga bagi saksi.'[227] Dia menyangka hukum qadhi berlaku baik secara zahir maupun batin.'

Ulama Syafi’i melanjutkan kata-katanya, 'lmam kamu Abu Hanifah mengatakan, 'Jika empat orang laki-laki bersaksi bahwa seorang laki-laki telah berzina, jika laki-laki itu membenarkan mereka, maka gugurlah hadd (hukuman), namun jika dia menyangkal mereka maka tertetapkanlah hukuman baginya.'[228] Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki penglihatan.'

Kemudian ulama Syafi’i berkata lagi, 'Abu Hanifah telah berkata, 'Jika seorang laki-laki mensodomi seorang anak laki-laki dan kemudian membenamkannnya, maka tidak ada hadd baginya kecuali hanya ditegur.'[229]

Padahal Rasulullah saw telah bersabda, 'Barangsiapa yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah pelakunya (al-fa'il) dan orang yang menjadi objeknya (al-maf'ul).'[230] Abu Hanifah berkata, 'Jika seseorang merampas biji gandum lalu dia menggilingnya, maka biji gandum itu menjadi miliknya karena telah menggilingnya. Jika kemudian pemilik biji gandum itu hendak mengambil biji gandum yang telah digiling itu dengan cara memberikan upah menggiling kepada orang yang merampas, maka tidak wajib orang yang merampas itu memenuhi permintaannya dan dia boleh menolaknya. Jika pemilik gandum itu terbunuh maka darahnya terbuang dengan sia-sia, sedangkan jika perampas itu terbunuh maka pemilik gandum itu harus dibunuh karena telah membunuhnya.'[231]

Abu Hanifah juga berkata, 'Jika seorang pencuri mencuri seribu dinar dari seseorang lalu dia juga mencuri seribu dinar berikutnya dari yang lain, kemudian dia menggabungkannya, maka semuanya menjadi miliknya, namun dia wajib memberi ganti atasnya.'

Abu Hanifah juga berkata, 'Jika seorang Muslim yang bertakwa dan berilmu membunuh seorang kafir yang bodoh maka orang Muslim itu wajib dibunuh. Karena Allah SWT telah berfirman, 'Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.' (QS. an-Nisa: 141)

Abu Hanifah berkata, 'Jika seseorang membeli ibunya atau saudara perempuannya, lalu dia menikahi keduanya, maka tidak berlaku hukuman (hadd) atasnya, meskipun dia mengetahui dan sengaja melakukannya.'[232]

Abu Hanifah berkata, 'Jika seseorang menikahi ibu atau saudara perempuannya dalam keadaan dia mengetahui bahwa mereka itu adalah ibu atau saudara perempuannya, dan kemudian dia menggauli mereka, maka tidak ada hukuman atasnya, disebabkan akad nikah tersebut akad syubhat.'[233]

Abu Hanifah berkata, 'Jika seseorang tidur dalam keadaan junub di sisi kolam yang berisi minuman keras, lalu dia berbalik di dalam tidurnya dan kemudian jatuh ke kolam, maka hilang junubnya dan dia menjadi suci.'

Abu Hanifah juga berkata, 'Tidak wajib niat di dalam wudu[234], dan juga di dalam mandi.'[235][236] Padahal di dalam kitab sahih disebutkan, 'Sesungguhnya amal perbuatan itu (terlaksana) dengan niat.'

Abu Hanifah berkata, 'Tidak wajib membaca basmalah di dalam Fatihah[237], dan dia mengeluarkannya dari surat al-Fatihah, padahal para khalifah telah menuliskannya di dalam mushaf-mushaf setelah dilakukan pengeditan terhadap Al-Qur'an.

Abu Hanifah juga berkata, 'Jika bangkai anjing yang sudah mati diambil kulitnya, lalu kulitnya itu disamak, maka kulit anjing itu menjadi suci, meskipun digunakan untuk tempat minum dan hamparan di dalam salat.'[238] Ini bertentangan dengan nas yang menyatakan najisnya 'ain najasah, yang berarti haramnya pemanfaatannya.'

Kemudian ulama Syafi’i itu berkata, 'Wahai Hanafi, di dalam mazhabmu seorang Muslim tatkala hendak salat boleh berwudu dengan menggunakan minuman keras, dan memulainya dengan membasuh kaki serta mengakhirinya dengan membasuh kedua tangan.[239] Kemudian memakai pakaian yang terbuat dari kulit bangkai anjing yang telah disamak,[240] sujud di atas kotoran yang telah mengering, bertakbir dengan menggunakan bahasa India, membaca surat al-Fatihah dengan bahasa Ibrani[241], dan kemudian setelah al-Fatihah membaca 'du bargeh-ye sabz' —yaitu kata mudhammatan (dua daun hijau), kemudian ruku, lalu tidak mengangkat kepalanya dari ruku melainkan langsung sujud, serta dua sujud hanya dipisah dengan jeda waktu yang sangat tipis tidak ubahnya seperti pemisah di antara dua mata pedang. Dan apabila sebelum salam dia sengaja buang angin, maka salatnya sah, namun jika dia tidak sengaja buang angin, maka salatnya batal.'[242]

Ulama Syafi’i kembali berkata, 'Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang memiliki penglihatan. Apakah seseorang boleh beribadah dengan ibadah yang seperti ini? Apakah boleh bagi Nabi saw memerintahkan umatnya dengan ibadah yang seperti ini, yang tidak lain hanya merupakan kebohongan yang dibuat-buat atas Allah SWT dan Rasul-Nya?'

Ulama Hanafi membantah, dan dengan penuh emosi dia berkata, 'Berhenti! Wahai Syafi’i. Semoga Allah merobek mulutmu. Kamu kira kamu ini siapa sehingga berani mengecam Abu Hanifah, mazhab kamu tidak ada apa-apanya dibandingkan mazhabnya. Mazhab kamu lebih layak disebut mazhab Majusi. Karena di dalam mazhabmu seorang laki-laki boleh menikahi anak perempuan dan saudara perempuannya hasil zina, dan boleh mengumpulkan dua orang saudara perempuan hasil zina, dan begitu juga boleh menikahi ibunya hasil zina, begitu juga bibinya hasil zina.[243] Padahal Allah SWT telah berfirman,

'Diharamkan atas kamu menikahi ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan bapakmu dan saudara-saudara perempuan ibumu.' (QS. an-Nisa' 23)

Sifat-sifat hakiki ini tidak berubah dengan terjadinya perubahan syariat dan agama. Jangan kamu mengira, wahai Syafi’i, wahai dungu, bahwa terlarangnya mereka dari menerima waris berarti mengeluarkan mereka dari sifat-sifat hakiki ini. Oleh karena itu, sifat-sifat tersebut di-idhafah-kan kepadanya, sehingga dikatakan 'anak perempuan dan saudara perempuannya dari hasil zina'. Pembatasan (taqyid) ini tidak menyebabkannya menjadi majazi (kiasan), sebagaimana kata-kata kita yang berbunyi, 'saudara perempuannya yang berasal dari nasab', melainkan hanya untuk memerinci. Sesungguhnya pengharaman di atas mencakup segala sesuatu yang terkena lafaz di atas, baik yang hakiki maupun yang majazi, berdasarkan kesepakatan. Berdasarkan kesepakatan, nenek termasuk ke dalam kategori ibu, dan begitu juga cucu perempuan dari anak perempuan, maka Oleh karena itu, tidak diragukan haramnya keduanya dinikahi berdasarkan ayat ini. Perhati-kanlah, wahai orang-orang yang berpikir, bukankah mazhab ini tidak lain mazhab Majusi.

Hai Syafi’i, Imam kamu membolehkan manusia bermain catur,[244] padahal Rasulullah saw telah bersabda, 'Tidak menyukai permainan catur kecuali seorang penyembah berhala.'

Hai Syafi’i, Imam kamu membolehkan berjoged, memukul rebana dan meniup seruling[245] bagi manusia. Allah memburukkan mazhabmu, di mana di dalamnya seorang laki-laki menikahi ibu dan saudara perempuannya, bermain catur, berjoged dan memukul rebana. Tidaklah ini semua kecuali kebohongan yang dibuat-buat atas Allah SWT dan Rasul-Nya saw. Tidak akan ada orang yang berpegang kepada mazhab ini kecuali orang yang buta hatinya dari kebenaran."'

Yohanes berkata, "Perdebatan panjang terjadi di antara mereka berdua, lalu ulama Hanbali membela ulama Syafi’i sedangkan ulama Maliki membela ulama Hanafi, sehingga terjadilah perselisihan di antara ulama Maliki dan ulama Hanbali. Ulama Hanbali berkata, 'Sesungguhnya Malik telah membuat suatu bid'ah di dalam agama, yang karena bid'ah itu Allah SWT telah membinasakan umat-umat terdahulu, namun Malik malah membolehkannya. Yaitu perbuatan mensodomi hamba sahaya. Padahal Rasulullah saw telah bersabda, 'Barangsiapa yang mensodomi budak laki-laki, maka bunuhlah pelaku (al-fa'il) dan orang yang menjadi objeknya (al-maf'ul).'[246]

Saya pernah melihat seorang bermazhab Maliki mengadukan seseorang kepada qadhi, bahwa dia telah menjual budak laki-laki kepadanya namun budak itu tidak dapat digauli. Maka qadhi itu memutuskan ada kekurangan pada budak laki-laki itu, dan Oleh karena itu, pembelinya dapat mengembalikannya kembali kepada penjualnya. Apakah kamu tidak malu kepada Allah, hai Maliki, mempunyai mazhab yang seperti ini, sementara kamu mengaku-ngaku bahwa mazhabmu adalah sebagus-bagusnya mazhab?! Imam kamu menghalalkan daging anjing. Allah pasti memburukkan mazhab dan keyakinanmu.'

Dengan serta merta ulama Maliki menghardik dan berteriak, 'Dia kamu, hai mujassim (orang yang mengatakan Allah berjisim). Justru mazhab kamu yang lebih layak untuk dilaknat dan dijauhi. Karena dalam pandangan Imam kamu, Ahmad bin Hanbal, Allah itu jisim yang duduk di atas 'arasy. Pada setiap malam Jumat Allah SWT turun dari langit dunia ke atap-atap mesjid dalam bentuk wajah yang tidak berjanggut, rambut yang keriting, mempunyai dua sandal yang talinya terbuat dari bunga kurma, serta mengendarai keledai yang diiringi beberapa serigala.'"[247]

Yohanes berkata, "Maka terjadilah perselisihan antara Hanbali dengan Maliki serta Syafi’i dengan Hanafi. Mereka saling meninggikan suara mereka dan menelanjangi keaiban mereka masing-masing, hingga menjengkelkan semua orang yang mendengarkan perbincangan mereka, lalu orang-orang yang hadir pun mencela dan mengecam mereka.

Lalu saya berkata kepada mereka, 'Demi Allah, saya bersumpah, saya tidak senang dengan keyakinan-keyakinan Anda. Jika Islam benar sebagaimana yang Anda katakan, maka sungguh celaka. Demi Allah, saya bersumpah kepada Anda, supaya Anda menutup pembahasan ini dan pergi. Karena sekarang masyarakat umum telah mencela dan mengecam Anda."

Yohanes berkata, "Maka mereka pun berdiri, lalu berpisah dan kemudian tidak keluar dari rumah masing-masing selama seminggu. Tatkala mereka keluar rumah, masyarakat mengecam mereka. Setelah beberapa hari kemudian mereka pun berdamai dan berkumpul di mustanshiriyyah, dan saya pun duduk dan berbincang-bincang kembali bersama mereka. Saya berkata kepada mereka, 'Saya menginginkan seorang ulama dari kalangan ulama rafidhi, supaya kita berdialog dengannya tentang mazhabnya. Apakah Anda bersedia mendatangkan seorang dari mereka untuk kita berdialog dengannya?'

Ulama-ulama mazhab empat itu berkata, "Wahai Yohanes, kelompok Rafidhah itu jumlahnya sedikit. Mereka tidak bisa menampakkan diri di tengah-tengah kaum Muslimin, karena sedikitnya jumlah mereka, dan juga karena banyaknya musuh mereka. Mereka tidak akan menampakkan diri, apalagi dapat berdebat dengan kita tentang mazhab mereka. Mereka itu sangat sedikit jumlahnya dan sangat banyak musuhnya."

Yohanes berkata, "Ini merupakan pujian buat mereka, karena Allah SWT telah memuji kelompok yang sedikit dan mencela kelompok yang banyak. Allah SWT berfirman,

'Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur.' (QS. Saba: 13)

'Dan tidaklah beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.'(QS. Hud: 40)

'Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.'(QS. al-An'am: 116)

'Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.' (QS. al-A'raf: 17)

'Akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.' (QS. al-Baqarah: 243)

'Akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.' (QS. al-An'am: 37)

'Akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.' (QS. ar-Ra'd: 1)

Dan ayat-ayat lainnya."

Para ulama tersebut berkata, "Wahai Yohanes, keadaan mereka lebih besar dari yang disifatkan. Karena, jika kami mengenal salah seorang dari mereka, maka kami akan terus membuntutinya hingga kami membunuhnya. Karena dalam pandangan kami, mereka itu kafir dan halal darahnya. Bahkan, di kalangan para ulama kita ada yang memberikan fatwa bahwa harta dan wanita mereka halal."

Yohanes berkata, "Allah Mahabesar. Ini perkara yang besar sekali. Anda memandang mereka berhak mendapatkan semua ini, apakah karena mereka mengingkari syahadatain?”

Para ulama menjawab, "Tidak."

Yohanes bertanya lagi, "Apakah karena mereka tidak menghadap kiblat kaum Muslimin?"

Mereka menjawab, "Tidak."

Yohanes bertanya sekali lagi, "Apakah karena mereka mengingkari salat, puasa, haji, zakat atau jihad?"

Mereka menjawab, "Tidak. Bahkan mereka mengerjakan salat, puasa, zakat, haji dan jihad."

Yohanes kembali bertanya, "Apakah karena mereka mengingkari hari kebangkitan, shirat, timbangan dan syafaat?"

Para ulama menjawab, "Tidak. Bahkan mereka mengakui yang demikian dengan sebaik-baiknya pengakuan."

Yohanes bertanya lagi, "Apakah karena mereka membolehkan perbuatan zina, sodomi, meminum khamar, riba, alat musik dan alat-alat hiburan lainnya?"

Mereka menjawab, "Tidak. Bahkan mereka menjauhi dan mengharamkannya."

Yohanes berkata, "Demi Allah, sungguh mengherankan, bagaimana mungkin sebuah kaum yang bersaksi dengan dua syahadat (syahadatain), mengerjakan salat dengan menghadap kiblat, berpuasa di bulan Ramadan, pergi haji ke Baitul Haram, meyakini hari kebangkitan dan rincian perhitungan, dihalalkan darahnya, hartanya dan wanitanya, padahal Nabi Anda sendiri telah bersabda, 'Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah. Jika mereka mengatakan itu, maka terjagalah dariku darahnya, hartanya dan wanitanya. Adapun perhitungan mereka berada di tangan Allah."[248]

Para ulama itu berkata, "Wahai Yohanes, sesungguhnya mereka telah membuat bid'ah di dalam agama. Salah satunya ialah, mereka mengatakan bahwa Ali as adalah manusia paling utama setelah Rasulullah saw, dan mereka lebih mengutamakannya atas para khalifah yang tiga, padahal generasi pertama telah sepakat bahwa khalifah yang paling utama adalah khalifah yang pertama."

Yohanes berkata, "Bagaimana pendapat Anda jika ada orang yang mengatakan bahwa Ali lebih baik dan lebih utama dari Abu Bakar, apakah Anda akan mengkafirkannya?"

Mereka menjawab, "Ya. Karena dia telah menyalahi ijma'."

Yohanes bertanya lagi, "Bagaimana pendapat Anda tentang muhaddis Anda yang bernama al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Mardawaih?"

Para ulama menjawab, "Dia orang yang dapat dipercaya. Diterima riwayatnya dan lurus sifatnya."

Yohanes berkata, "Ini kitabnya yang berjudul Kitab al-Manaqib. Di dalam kitab ini dia meriwayatkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, 'Ali adalah sebaik-baiknya manusia, barangsiapa yang enggan menerimanya, maka dia telah kafir.'

Di dalam kitab ini juga disebutkan, dari Salman, dari Rasulullah saw yang bersabda, "Ali bin Abi Thalib adalah sebaik-baiknya orang yang aku jadikan pengganti sepeninggalku."

Di dalam kitab ini juga disebutkan, dari Anas bin Malik yang berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda, "Saudaraku, pembantuku dan sebaik-baiknya orang yang aku jadikan pengganti sepeninggalku adalah Ali bin Abi Thalib."

Dari Imam Anda, Ahmad bin Hanbal, dia meriwayatkan di dalam musnadnya bahwa Rasulullah saw telah bersabda kepada Fatimah, "Tidakkah engkau rida aku nikahkan engkau dengan orang yang paling pertama masuk Islam dari umatku, dan orang yang paling banyak ilmunya serta paling besar kebijaksanaannya."[249]

Ahmad juga meriwayatkan di dalam musnadnya bahwa Rasulullah telah bersabda, "Ya Allah, datangkanlah kepadaku hamba-Mu yang paling Kamu cintai."[250] Lalu datanglah Ali bin Abi Thalib. Hadis ini juga disebutkan oleh Nasa'i dan Turmudzi di dalam kitab sahih mereka.[251] Mereka berdua juga termasuk ulama Anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar