Renungan Terbuka
Terperanjat juga sang tokoh kita ini
mendengar kata-kata Zaranggi. Tapi ia belum paham benar apa maksud
Zaranggi. Maka, dengan sedikit heran, karena ia memang berusaha
menutupinya, ia bertanya:
“Kenapa Nabi tidak boleh menyusunnya?”
“Lho… Anda
tadi, di waktu menjelaskan rukun Islam dan rukun Iman, mengatakan bahwa
Nabi itu adalah wakil Tuhan, bukankah begitu?”
“Benar” jawab sang tokoh pendek.
“Nah… kalau
begitu, karena ia wakil Tuhan, maka bolehkah ia mengatur dan menyusun
sendiri firman-firman Tuhan itu Tuan? Bolehkah wakil Tuhan mengatur dan
menyusun firman Tuhan?” Zaranggi terus mendesak.
“Katakanlah
tidak boleh, tapi dalam penyusunan itu tak akan mempengaruhi isinya dan
tujuan diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia, Tuan”
sang tokoh berusaha menjelaskan posisi al-Qur’an.
“Aneh… aneh
juga agama Tuan ini (desah Zaranggi). Kenapa Tuhan Anda tidak melakukan
penyusunan itu dan mengesahkannya pada manusia.”
“Yah… katakanlah itu sebagai tugas manusia,” sang tokoh ingin lebih meyakinkan Zaranggi.
“Tuan! Dari
mana Anda tahu bahwa itu adalah tugas manusia. Sebab, jangankan perintah
untuk itu, dalil pembolehannya saja, dari agama, Anda tadi tidak dapat
menunjukkan kepada saya. Lalu dari mana Anda dapat memahami itu?”
Zaranggi terus mendesak tokoh kita. Dan tokoh kita tidak memberikan
jawaban. Akhirnya Zaranggi meneruskan pertanyaannya.
“Atau begini
Tuan! (Zaranggi berusaha memberikan argumen lagi). Menyusun kitab tentu
tidak mudah, sebab mana yang harus diletakkan di depan, di tengah dan di
belakang. Dan dalam hal ini tidak ada petunjuk dari Tuhan Tuan.
Sekarang saya mau bertanya, bagaimana kalau surat-surat itu tersusun
tidak sesuai dengan apa yang Tuhan Anda kehendaki. Dan saya yakin
susunan manusia itu tidak akan sama dengan yang ia kehendaki. Sebab,
sebagaimana Anda katakan tadi, dalam hal tersebut tidak ada petunjuk
dari-Nya.”
“Sudah saya
katakan tadi (sang tokoh mengingatkan Zaranggi) bahwa tidak adanya
petunjuk itu berarti penyusunannya itu terserah kepada kita. Dan hal itu
berarti tidak merubah essensi al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia.”
“Baiklah! (kata
Zaranggi). Sekarang, saya mau bertanya apakah boleh seorang menulis
al-Qur’an dalam bentuk lain dari al-Qur’an yang ada ini, Tuan. Artinya
surat-surat yang di depan ditukar tempatnya dengan surat-surat yang ada
di tengah atau di belakang?”
“Ah… itu tidak boleh dilakukan Tuan!” kata sang tokoh dengan sedikit gusar.
“Kenapa?” tanya Zaranggi.
“Karena akan menimbulkan ketidakseragaman di antara kaum muslimin,” jelas sang tokoh.
“Apakah ketidakseragaman itu tidak baik Tuan?” Zaranggi terus bertanya.
“Yah… kurang baik atau bahkan tidak baik sama sekali,” jawab sang tokoh.
“Lho… (Zaranggi
terkejut), apakah Tuhan Tuan tidak menyadari tentang hal ini Tuan,
sehingga tidak menyusunnya, sehingga orang-orang akan memahami, seperti
yang Anda katakan, bahwa tidak samanya susunan manusia dengan Tuhan
tidak merubah essensi al-Qur’an? Atau berangkat dari namanya saja, yaitu
kitab suci, yang menAndakan suci dari segala-galanya, akan menjadi
tidak suci lagi kalau ada campur tangan manusia.”
“Kenapa begitu?” tanya tokoh kita yang semakin kebingungan ini.
“Sebab bagi
saya kitab suci termasuk berarti suci dari campur tangan manusia yang
hina ini. Kitab suci haruslah hanya disusun oleh Tuhan sendiri. Dan
al-Qur’an sulit untuk dipercaya oleh kami sebagai firman-Nya yang murni,
seAndainya Ia lalai mewahyukan kepada Nabi-Nya untuk menyusun kitab-Nya
itu. Lebih-lebih firman-Nya atau sunnah Nabi-Nya tidak ada yang
menyuruh untuk itu, sesuai dengan apa yang tadi Anda katakan. Bagi saya
kalau memang agama Islam ini benar, tidak adanya perintah dalam
firman-Nya dan sunnah digabung dengan mustahilnya Tuhan membiarkan
firman-Nya berserakan di daun-daun, kulit-kulit kayu, tulang-tulang dan
lain-lain, menunjukkan bahwa ia telah menyusun semua firman-Nya itu
dengan membimbing Nabi-Nya. Tapi yah… sekarang belum bisa kami yakini
kebenaran Islam ini sebelum janji untuk menyelesaikan diskusi ini dapat
Anda penuhi nantinya.”
Dengan perasaan
malu tapi ia berusaha untuk tetap tenang tokoh kita ini terpaksa
berjanji untuk kesekian kalinya pada Zaranggi. Ia berkata:
“Apa yang Anda katakan, semuanya tadi ada rada benarnya.
Saya kagum
kepada kecemerlangan Tuan. Semoga saya dapat segera membantu Tuan dalam
hal ini setelah saya memperdalam lagi. Dan sekali lagi maafkanlah kami
dalam keterbatasan kami ini. Dan karena sekarang sudah tengah hari saya
pikir untuk hari ini kita cukupkan sekian dulu. Untuk besok dan
seterusnya, sementara, tidak ada pertemuan, sampai saya kembali nanti.
Dan sekali lagi saya ucapkan maaf untuk ini serta terima kasih saya
ucapkan untuk kedatangan dan perhatiannya selama ini,” kata tokoh kita ini.
Setelah
bersalam-salaman dengan penuh akrab, pertemuan pada hari itu, yang mana
sebagai hari terakhir, telah berakhir. Dan tinggallah sang tokoh dengan
beberapa muridnya untuk melakukan shalat zhuhur berjamaah. Setelah
shalat sang tokoh sejenak melamun dan memikirkan kejadian besar yang
baru pertamakali ia alami selama ia menyebarkan agama Islam. ia sedih
dan menyesal serta memohon beribu-ribu ampunan dari Tuhan, ia minta
petunjuk kepada Allah agar ia membimbingnya ke jalan yang benar (Shirath
al-mustaqim).
Setelah itu ia
menghadap murid-muridnya yang nampak semakin tegang melihat gurunya
tidak bisa menjawab beberapa pertanyaan Zaranggi tadi. Dengan suara
lirih dan penuh kasih sayang tokoh kita ini mengatakan:
“Murid-muridku!
Gurumu ini adalah ibarat setetes dari lautan luas pengetahuan Islam.
Yakinkanlah bahwa kelemahan itu ada pada gurumu ini. Bukan pada Islam.
Memang sekarang aku baru sadar bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian
muslimin, yaitu memperdalam logika dan filsafat, yang kami di pesantren
dulu menganggap hal itu telah mengotori agama karena telah memasukkan
unsur akal ke dalamnya, ternyata sangat bermanfaat untuk mempertahankan
Islam. Bahkan tanpa akal, seperti yang terjadi tadi, kita tidak dapat
mempertahankan kesuciannya. Terus terang, kami dulu waktu belajar di
pesantren, kami merasa bahagia (bangga) dan sangat bersyukur kepada
Allah karena ia telah membimbing kami kepada Islam murni. Artinya,
karena kami hanya berpegang kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Kami tidak
menerima segala macam takwilan yang bersifat akli terhadap keduanya.
Kami mengira hanya dengan kembali kepada keduanya kita akan selamat dan
tidak akan terpecah seperti yang diisyaratkan dalam hadits (yaitu yang
menjadi 73 bagian).”
“Ee… maaf guru,” celetuk salah seorang murid.
“Ah… tak apa, ada apa?” kata sang guru.
“Bolehkah saya menanyakan satu hal?” jawab sang murid.
“Boleh saja. Tanyakanlah!” si guru mempersilahkan.
“Guru! Apakah
dalam al-Qur’an atau hadits tidak ada yang menganjurkan menggunakan akal
dan mencerdaskannya dalam agama atau dalam mencari Tuhan?” ia
menanyakan hal itu karena dalam dialog tadi, ketika ditanya mengenai
apakah Tuhan ada dan Esa, ia perhatikan, gurunya hanya berdalil dengan
al-Qur’an. Maka dari itu ketika dikejar, al-Qur’an pun, akhirnya, tak
dapat dipertahankan sebagaimana Anda ketahui tadi.
“Ada, bahkan
banyak (jawab gurunya). Misalnya ada yang mengatakan bahwa sebenarnya
kalau engkau menggunakan akal maka akan mengerti kebenaran ada-Nya;
Allah akan tunjukkan bukti kebenaran-Nya pada kita melalui alam
ciptaan-Nya dan dari diri kita sendiri; Sesungguhnya penciptaan langit
dan bumi dan seisinya adalah bukti-bukti bagi orang yang berilmu. Bahkan
dikatakan dalam suatu ayat yang mengecam orang-orang bodoh, seperti, “Sesungguhnya kebanyakan mereka tidak menggunakan akalnya (bodoh)”.
“Guru! (tanya
sang murid lagi). Lalu mengapa guru katakan bahwa dalam Islam tidak
boleh menggunakan akal dalam agama, khususnya dalam mengenal-Nya?”
“Itulah yang
sedang kupikirkan. Dulu guruku dalam hal-hal tertentu menggunakan akal
dan mencemooh orang yang tidak menggunakannya. Akan tetapi dalam bab-bab
lain, misalnya ke-Esaan-Nya, al-Qur’an makhluk apa bukan, perjumpaan
kita dengan-Nya di surga, rukun Iman ke-6, mukjizat merusak tatanan
sunnah Allah apa tidak, orang shaleh bisa saja dimasukkan Allah ke
neraka kalau ia berkehendak, dan lain-lain, guruku tidak mau menerima
uraian golongan lain yang menggunakan akal di samping al-Qur’an. Guruku
mengatakan bahwa agama tidak bisa di akal-akali. Berapa banyak perbedaan
di antara kaum muslimin. Barangkali inilah yang dimaksud Nabi dengan
perpecahan 73 golongan itu. Yah… (desah sang guru sambil menatap
kejauhan yang seakan tak berbatas) yang mana yang benar, susah sekali
mencarinya.”
“Guru! (kata
sang murid lagi), masihkah ada perbedaan seAndainya kita kembali ke
al-Qur’an dan hadits, sebagaimana yang diamalkan di pesantren guru?”
“Oh… ada, masih ada,” jawab sang guru dengan serta merta.
“Barangkali hanya furu’ guru?” sang murid melanjutkan pertanyaannya.
“Ah… tidak.
Tidak muridku (jawab sang guru). Bahkan sampai ke’ syirik-mensyirikkan.
Hal mana syirik adalah dosa yang paling besar dan menyangkut masalah
keimanan. Dan walaupun sebagiannya adalah masalah furu’, akan tetapi
kalau sudah sampai bid’ah-membid’ahkan, ini adalah masalah besar. Sebab
setiap bid’ah adalah dhalalah, dan setiap dhalalah tempatnya di neraka.
Jadi, shalat orang yang ada bid’ahnya, menurut yang membid’ahkan, bukan
hanya shalatnya tidak diterima, akan tetapi bahkan menyebabkan mereka
masuk neraka.”
“Guru! (lanjut
sang murid), dulu guru pernah berkata bahwa di pesantren guru adalah
termasuk golongan yang. kembali ke al-Qur’an dan hadits secara murni.
Masihkah di sana ada perbedaan pendapat dalam agama, guru?”
“Wah… banyak,
banyak sekali (jawab sang guru), kami hanya bersepakat dalam masalah
bid’ah, khurafat, tahyul dan masalah-masalah kesyirikan. Akan tetapi
dalam masalah ekonomi, sosial, politik dan lain-lain kami mempunyai
setumpuk perbedaan.”
“Tapi itu kan tidak termasuk haram-mengharamkan guru,” kata sang murid.
“Wah… siapa
bilang (sergah si guru). Misalnya masalah bunga. Kita berbeda pendapat
mengenainya. Ada yang tetap mengharamkan walaupun bunganya untuk
kepentingan umum dan ada yang tidak. Atau katakanlah pada sebagian yang
lain tidak dengan kata haram-mengharamkan. Akan tetapi seringkali kita
dengar, misalnya, kurang Islami, dalam keadaan begini, Islam tidak boleh
begini atau begitu, yang itu salah yang ini benar dan lain-lain, yang
kata-kata itu acapkali saling kita lemparkan di antara sesama kita.”
“Kok bisa
begitu guru?” kata salah seorang murid yang sejak tadi bengong saja.
“Bukankah mereka sudah kembali ke al-Qur’an dan hadits?” lanjutnya.
“Yah… sekarang
aku baru sadar (kata sang guru), sejak perdebatanku dengan Zaranggi
tadi, aku mulai mengerti bahwa al-Qur’an dan hadits yang dipakai adalah
al-Qur’an dan al-Hadits yang kita pahami. Bukankah jelas sekali bahwa
al-Qur’an dan hadits yang kita pahami belum tentu benar? Seandainya kita
kembali ke al-Qur’an atau hadits, tapi yang benar-benar sesuai dengan
keduanya, maka dapat dipastikan bahwa kita tidak akan bercerai-berai
seperti sekarang ini. Karena di dalam al-Qur’an tidak terdapat
kontradiksi sehingga bisa menimbulkan perpecahan ini.”
“Guru! (salah
seorang dari mereka menyambung), apakah mungkin al-Qur’an dapat dipahami
sebenar-benarnya, sehingga kalau kita kembali kepadanya pasti tidak
akan bercerai-berai?”
“Itulah salah
satu yang akan saya cari jawabannya. Sebab, saya sekarang memahami, dari
kejadian tadi, bahwa karena mengingat agama Islam ini adalah agama
akhir zaman, dan ia diturunkan untuk dijadikan pedoman, maka
sesungguhnya mestilah al-Qur’an ini dapat dipahami sebenar-benar
pemahaman.”
“Guru! (kata
salah seorang muridnya yang lain), dulu guru pernah mengatakan bahwa
Qur’an itu mengandung ayat-ayat yang jelas dan mutasyabihat. Sedang yang
mutasyabihat (samar) tidak diketahui takwilnya kecuali Allah?” (Q.S.
Ali Imran: 7).
“Yah… dulu
memang demikian (jawab sang guru). Tapi sekarang tidak lagi. Sebab,
kalau al-Qur’an, walau sebagiannya, tidak dipahami kecuali Allah, maka
buat apa al-Qur’an diturunkan untuk manusia? Bukankah al-Qur’an ini
diturunkan supaya manusia mengambil petunjuk daripadanya? Nah, kalau
sebagian ayatnya yang mutasyabihat tadi tidak dapat dipahami, lalu buat
apa ayat itu diturunkan?”
“Maaf guru!
(lanjut sang murid tadi), bukankah dengan mengatakan demikian berarti
guru telah keluar dari makna ayat tadi, karena di ayat itu, untuk
ayat-ayat yang mutasyabihat dikatakan bahwa, ‘…tidak ada yang tahu
takwilnya kecuali Allah’?”
“Muridku (jawab
sang guru dengan bijaksana) al-Qur’an itu ada titik komanya. Kaum
muslimin berbeda pendapat dalam meletakkan koma pada ayat itu. Dan dulu
aku meletakkan seperti yang engkau katakan itu. Akan tetapi, sekarang,
setelah dialog tadi, dan karena alasan-alasan tadi, yaitu al-Qur’an
diturunkan untuk diikuti yang mana sudah tentu harus dipahami terlebih
dahulu, maka saya yakin bahwa koma pada ayat itu tidak terletak setelah
Allah. Dan makna ayat itu sedikit berubah. Coba perhatikan! (katanya).
Kalau komanya setelah Allah, maka ayat itu akan menjadi ‘…tidaklah ada
yang tahu takwilnya kecuali Allah, dan orang-orang yang berpengetahuan
mengatakan bahwa; semua dari Allah’. Akan tetapi kalau komanya
diletakkan setelah orang-orang yang berpengetahuan, akan menjadi sebagai
berikut, ‘…tidaklah ada yang tahu takwilnya kecuali Allah dan
orang-orang yang berpengetahuan, yang mana mereka mengatakan semua dari
Allah’. Sekarang aku yakin (tambahnya), bahwa peletakan koma yang kedua
itulah yang benar.”
“Lalu, (kata sang murid seterusnya) siapakah orang-orang yang berpengetahuan atau al-rasyikhun itu guru?”
“Itulah yang harus saya selidiki. Dan saya rasa dalam hadits akan dapat dijumpai,” jawab sang guru dengan penuh harap.
“Guru! (lanjut
sang murid), barangkali perbedaan pendapat itu adalah rahmat. Sebab,
dulu guru pernah membacakan sebuah hadits pada kami bahwa Nabi pernah
bersabda: Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat.”
“Wah… itu dulu
(kata sang guru) sekarang kita harus pikirkan lagi tentang hadits itu.
Apakah hadits itu shahih atau tidak, atau bahkan mengandung makna yang
lain”.
“Kenapa begitu guru?” si bengong terus bertanya dan semakin penasaran.”
“Muridku! (kata
sang guru) apakah mungkin dikatakan sebagai suatu rahmat kalau
segolongan dengan segolongan yang lain saling mensyirikkan,
membid’ahkan, menyesatkan, mentidakIslamikan, menyalahkan dan
sebagainya? Apakah agama yang satu dan suci mengandung hal-hal semacam
itu? Tidak, tentu tidak, agama Islam hanya satu suara. Kalau haram ya
haram, kalau bid’ah ya bid’ah dan seterusnya. Agama Islam tidak akan
suci lagi kalau dinodai semacam tadi, apalagi di banggakan dengan
kata-kata rahmat tadi.”
“Guru! (kata sang murid), apakah mungkin Islam satu suara dan kaum muslimin menyuarakannya?”
“Bukan mungkin
lagi (kata sang guru) tapi bahkan mesti. Dan bagi saya tak perduli
orang-orang, baik kafir atau muslim, mengikutinya atau tidak.”
“Lalu, bagaimana caranya guru?” tanyanya lagi.
“Saya pikir, sebagai langkah pertama, kita harus cari siapa yang dimaksud dengan ‘Orang-orang yang berpengetahuan’
dalam ayat tadi,” jawab sang guru dengan mantap. Tapi pada wajahnya
yang sudah mulai keriput itu nampak bahwa ia dalam keadaan sedih dan
cemas. Yah… cemas karena takut tidak dapat menemukan yang akan ia cari
itu.
Begitulah, pada
pagi hari pada beberapa hari setelah dialog dengan Zaranggi, sang guru
atau sang tokoh kita ini disertai murid-muridnya pergi meninggalkan kota
Hamadan. Padang pasir panas dan ganas yang terbentang luas di hadapan
mereka tidak menjadi penghalang bagi kepergian mereka. Yah…mereka pergi
untuk mencari, mencari dan mencari, sesuatu yang dapat menyelamatkan
mereka dari gurun akhirat (mahsyar) yang jauh lebih panas dan
menyeramkan. Di hari yang pada hari itu tidak lagi kita dapat
memperbaiki kekeliruan kita seperti tokoh kita ini.[]
[tamat...]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar