Iman bukan pengetahuan.
Iman adalah produk pengetahuan, yaitu pengetahuan yang demonstratif.
Pengetahuan tanpa dalil masih perlu diproses akal atau piranti kognitif
lainnya. Hanya pengetahuan yang terbuktikan yang siap hadir di kalbu.
Namun, kesiapan (objektif) pengetahuan ini tidak cukup membuat kalbu
menyambut kehadirannya. Ada sebagian dokter jantung yang merokok dan
tahu dampak buruk tindakan itu. Hanya kalbu yang tulus dan insaf yang
bisa menerima kehadiran pengetahuan argumentatif. Ketika itulah lahir
iman di kalbu.
——————————————-
LOGIKA TINDAKAN; Membangun Sistem Nilai Religius
Ammar Fauzi Heryadi
Tidak sekedar berbuat, lalu mati
Tapi, Anda mesti tahu ! Mengapa?
Alfred Lord Tennyson (1892)
Dalam pengertian
Arestotelian, logika didefinisikan dengan sejumlah kaidah yang
me-ma’sum-kan manusia dalam proses berfikir. Kata “berfikir” tersebut di
akhir tadi, menegaskan bahwa kaidah-kaidah logika yang dikuak
Arestoteles mengatur satu dimensi kehidupan manusia, yaitu kehidupan
teoritis.
Secara adil,
Arestoteles menyusun logika kehidupan praktis manusia, secara lebih
khusus, dalam magnum opus-nya, Nikomachucian Ethica. Rangkaian
kaidah-kaidah praktis dirajut dalam bingkai “The Golden Means” yang
menekankan keseimbangan di antara dua titik ekstrimitas. Tentu, teori
itu bukan yang terbaru pada masanya. Guru gurunya, Sokrates, malah sibuk
dan menyibukkan masyarakat Athena dengan mencari-cari kaidah praktis,
ketimbang mendiskusikan arche atau isu-isu teoritis lainnya.
Dengan demikian, sudah
dilakukan upaya-upaya menemukan kaidah-kaidah kehidupan praktis manusia
yang tidak kalah pentingnya dengan kaidah-kaidah kehidupan teoritisnya.
Kalau kehidupan teoritis berkutat di permasalahan “Bagaimana menemukan
kebenaran?”, maka kehidupan praktis bertawaf di permasalahan “Bagaimana
menemukan kebaikan?”. Di sinilah logika praktis mendapatkan ruang
geraknya.
Permasalahan awal yang
muncul di sini adalah, “Apakah kehidupan praktis manusia?”. Lebih
sederhana lagi, “Apakah tindakan manusia?”.
Tindakan Sengaja
Tindakan adalah proses
yang dijalani manusia, sebagai pelaku, dalam mencapai suatu tujuan. Ada
tiga anasir di dalam tindakan; proses, pelaku dan tujuan. Sebagai sebuah
proses, tindakan punya titik awal dan titik akhir. Titik akhir tindakan
adalah tujuan itu. Lalu, apakah titik awal tindakan?
Tindakan manusia akan lahir setelah melalui empat jenjang;
1. Pengetahuan (hudzuri
dan husuli). Bahwa manusia mengetahui tujuan tindakannya dan hal-hal
yang mengarah kepada tujuan tersebut.
2. Motivasi.
Pengetahuan itu disusul oleh dorongan hasrat (keinginan) dirinya untuk
mencapai tujuan yang diketahuinya. Hasrat itu beragam, sebanyak
sumbernya; tuntutan-tuntutan fisiologis, kecenderungan-kecenderungan
instingsial, kecondongan-kecondongan intuitif, tendensi-tendensi
emosional, yang semuanya adalah serpihan-serpihan dari sebauh naluri,
yaitu ingin kekal dan ingin sempurna yang disingkat menjadi cinta diri,
sebagai naluri induk yang terpatri pada diri manusia. Maka, sesorang
hanya akan menginginkan sesuatu yang sesuai dengan tuntutan naluri cinta
diri. Dan sebaliknya, ia tidak akan terdorong untuk melakukan tindakan
yang mengancam kelanggengan hidupnya, mengurangi atau menjauhkan suatu
kesempurnaan dari dirinya. (al-maidah, 105- al-hasyr 18).
3. Kehendak. Tatkala
manusia tahu dan termotivasi (oleh cinta diri) untuk bertindak, ketika
itu pula ia akan menghendaki tindakan itu secara puas, suka rela dan
bebas.
4. Kemampuan. Tindakannya bersifat aktif, bukan pasif.
Dengan demikian,
pertama: asal-usul tindakan manusia adalah pengetahuan, motivasi,
kehendak dan kemampuan. Inilah yang disebut tindakan sengaja
(ikhtiyari). Jadi, tindakan sengaja adalah tindakan yang disadari,
diingini dan dikehendaki pelakunya serta bersifat aktif. Sementara,
tindakan yang minus satu dari empat jenjang di atas adalah tindakan tak
sengaja. Ngantuk, ngigau, degup jantung, minum secara terpaksa,
mendengar secara pasif (terdengarnya sesuatu), adalah sebagian corak
tindakan tak sengaja. Maka, ada dua macam tindakan manusia; tindakan
sengaja dan tindakan tak sengaja.
Kedua: ada keterkaitan
di antara, paling tidak, dua jenjang pertama. Mula-mula manusia tahu dan
menyadari suatu kekurangan pada dirinya atau suatu kesempurnaan di luar
dirinya, lalu naluri cinta dirinya membangkitkan hasrat untuk mengatasi
kekurangan itu atau mengejar kesempurnaan tersebut. Oleh karena itu,
manusia bertindak karena cinta dirinya atau egoisme.
Ketiga: berdasarkan
poin kedua tadi, bahwa manusia bertindak demi memenuhi egoismenya. Maka,
tujuan tindakannya adalah kepentingan diri sendiri. Tegasnya, titik
akhir atau tujuan tindakan manusia adalah kepentingan diri sendiri
(self-interested). .
Keempat: tindakan
sengaja bermuatan nilai baik atau buruk. Semua contoh di atas tadi tidak
punya nilai (zero value). Ngigau dan kawan-kawannya itu tidak baik,
juga tidak buruk.
Permasalahan yang
muncul di sini adalah “Apakah tindakan sengaja yang baik dan tindakan
sengaja yang buruk?”. Singkatnya, “Apakah kebaikan dan keburukan?”.
Kebaikan dan Keburukan
Kebaikan adalah
tindakan yang tersanjung. Dan, keburukan adalah tindakan yang terhujat.
Tentu, pengertian ini tidak lebih dari syarhul ism (lexical; penjelasan
harfiah). Tapi juga, terlalu dini berusaha mencari pengertian yang lebih
cermat sebelum menuntaskan permasalahan berikut ini; “Adakah kebaikan
dan adakah keburukan?”
Dari pengertian di atas
tadi jelas bahwa kebaikan dan keburukan adalah nilai praktis bagi
tindakan. Jika dituangkan ke dalam bentuk statemen, maka kebaikan dan
keburukan akan merebut posisi predikat. Misalnya, menolong adalah baik,
keadilan adalah baik. Sikap acuh adalah buruk, kezaliman adalah buruk.
Masalahnya, “Bagaimana
manusia mengetahui tindakan ini baik dan tindakan itu buruk?”. “Mengapa
keadilan itu dinilai baik, sementara kezaliman itu dinilai buruk?”.
Ada yang memandang
bahwa kebaikan adalah tindakan yang dikehendaki dan diperintah oleh si
penyampai. Sedangkan keburukan adalah tindakan yang tidak dikehendaki
atau dilarangnya. Jadi, keadilan itu baik karena sesuai dengan kehendak
dan selera si penyampai. Begitupula, kezaliman itu buruk karena tidak
sesuai dengan kehendak dan seleranya. Kebaikan atau keburukan hanya
produk selera dan kehendak subjektif. Kedua nilai ini tidak ada
kaitannya dengan realitas objektif, tetapi bergantung penuh kepada
selera subjektif. Dan, manusia, dengan perangkat pengetahuan yang
dimilikinya, tidak bisa mengetahui kebaikan atau keburukan suatu
tindakan. Maka, ‘keadilan adalah baik’ atau ‘kezaliman adalah buruk’
adalah dua statemen afirmatif (khabariyah) yang tidak berfakta, dan
tentunya tidak pula bisa dinilai benar atau salah. Oleh karena itu,
statemen di atas semestinya dituangkan ke dalam bentuk normatif
(insyaiyah); “Bersikap adillah!” dan “Jangan berlaku zalim!”. Dengan
demikian, pandangan ini menyatakan bahwa kebaikan dan keburukan tidak
ada objektifitasnya, tidak ada fakta riel di luar. Kebaikan dan
keburukan bukan kualtias atau atribut faktual yang disandang oleh
tindakan atau entitas. Dan, akal manusia dengan sendirinya tidak bisa
mengetahuinya secara objektif, karena kebaikan dan kebuirukan bergantung
pada kehendak dan selera si penyampai. Pandangan ini menjawab negatif
atas dua pertanyaan di atas.
Siapakah penyampai itu?
Kehendak dan selera siapakah yang menentukan nilai tindakan? Adalah
pertanyaan singkat yang membedah-bedah tubuh pandangan nonkognitif di
atas. Kaburnya personifikasi penyampai melahirkan sub-sub, mulai dari
imperativisme, preskriptivisme, hingga volunterisme teologis.
Kekaburan itu lebih
kabur lagi tatkala kehendak dan hasrat penyampai tidak atau belum
tertangkap audeins (pelaku). Ketika itu tidak ada tindakan yang bisa
dinilai baik buruknya oleh si pelaku (?!).
Akhirnya, pandangan ini
secara naif menyelaraskan dirinya dengan relatifitas nilai. ketika
kebaikan dan keburukan ditentukan oleh kehendak dan hasrat penyampai,
ketika itu pula kedua nilai tindakan itu menjadi tidak menentu dengan
beragamnya penyampai dan berubah-ubahnya kehendak dan hasrat serta
berbedanya ruang dan waktu. Ini artinya memberangus nilai-nilai itu
sendiri.
Sebagai lampiran saja,
dengan dasar apa harus dipatuhi kehendak subjektifnya? Yang perlu
disadari di sini adalah bahwa kalimat normatif itu bisa kompromi dengan
kalimat afirmatif. Ambil sebuah misal dari anjuran dokter! “Pak!
Minumlah obat ini supaya sembuh!”. Kalimat normatif ini hendak
menjelaskan hubungan kasualitas (dzarurah bilqiyas; keniscayaan saling)
antara meminum obat dengan kesembuhan pasien. Artinya, selama tindakan
meminum (sebab) itu tidak dilakukan, niscaya akibatnya (kesembuhan)
tidak akan terjadi. Maka, tindakan meminum mesti dan harus dilakukan
pasien untuk mendapatkan kesembuhan. Jadi, dokter dengan kalimat
normatif itu tidak dalam rangka memprakarsai, menetapkan kesembuhan pada
tindakan meminum obat. Ia hanya ingin menjelaskan suatu fakta, yaitu
hubungan riel dan objektif yang ada di antara tindakan meminum obat dan
kesembuhan pasien. Sebagai fakta, hubungan ini sudah ada dan nyata.
Ditetapkan atau tidak, hubungan itu adalah kenyataan yang riel.
Tentunya, kalimat itu juga bermuatan nilai benar dan salah, yaitu sesuai
atau tidaknya kalimat tersebut dengan fakta di luar.
Dengan pendekatan di
atas, maka “Berbuat-adillah!”, “Jangan berbuat zalim!” dan kalimat
normatif lainnya menjelaskan fakta; hubungan kausalitas yang khas, riel
dan objektif antara tindakan-tindakan itu dengan dampak-dampaknya
sebagai tujuan pelaku. ‘Berbuat-adillah!’ menjelaskan bahwa keadilan
adalah tindakan yang berdampak positif, yaitu mengarahkan pelaku kepada
tujuan yang diinginkannya. Tindakan yang berdampak positif inilah
sebagai kebaikan. Maka, ‘Berbuat-adillah!” ungkapan lain dari ‘Keadilan
adalah baik’. Tentu, sebagaimana ‘keadilan adalah baik’ berfakta;
bermuatan nilai teoritis (benar; sesuai dengan realitas objektifnya, dan
salah; tidak sesuai dengan realitas objektif), ‘Berbuat-adillah’ juga
berfakta. Fakta atau realitas objektif kedua ungkapan itu adalah relasi
kausalitas (dharurah bilqiyas) yang ada di antara tindakan adil dan
tujuan pelakunya. Jadi, uraian ini menjawab positif atas pertanyaan
“Adakah kebaikan?”. Kebaikan itu ada, ia tidak punya ketergantungan
kepada hasrat dan kehendak subjektif. Dikehendaki atau dibenci, kebaikan
itu ada, yaitu relasi keniscayaan antara tindakan dengan dampak/tujuan
yang diinginkan pelaku.
Perlu diingat kembali
bahwa manusia bertindak karena cinta dirinya (egoisme) dan demi
keuntungan diri sendiri (self-interest), dan bahwa keuntungan pribadi
itu adalah tujuan tindakan sengaja. Keuntungan atau tujuan adalah
sesuatu yang dapat memenuhi tuntutan naluri cinta diri. Di sini, ada
relasi khas di antara naluri cinta diri dan sesuatu itu. Akal bisa
memahami relasi khas itu dengan cara komparasi. Jika relasi itu berupa
pemenuhan dan pemuasan sesuatu atas naluri cinta diri, maka tindakan
yang mengarahkan si pelaku kepada sesuatu yang memuaskan itu adalah
tindakan baik. Namun, jika relasi itu berupa pengurangan dan pengecewaan
atau peniadaan, maka tindakan yang mengarahkan pelaku kepada sesuatu
yang mengurangkan dan mengecewakan itu adalah tindakan buruk.
Jadi, keadilan itu baik
(kalimat afirmatif), karena dampak tindakan ini positif; membawa pelaku
kepada tujuan dan keuntungan pribadinya, yaitu sesuatu yang memuaskan
naluri cinta diri. Di sini, tampak jelas adanya kompromi di antara
kalimat afirmatif dan kalimat normatif. “Berbuat-adillah!” bisa
diungkapkan secara afimatif menjadi “Keadilan adalah baik”, begitupula
sebaliknya. Maka, sekali lagi, akal menjawab positif atas pertanyaan
“Adakah kebaikan”.
Dengan uraian ini,
jelas bahwa kebaikan dan keburukan adalah makna yang ditemukan akal dari
komparasi dan pengamatannya terhadap hubungan khas antara tindakan
manusia dan dampak atau tujuannya. Manusia, dengan akalnya, mampu
mengetahui, secara objektif, baik atau buruknya suatu tindakan lewat
komparasi dan pengamatan tersebut. Demikianlah uraian ini menjawab
permasalahan “Bagaimana manusia mampu mengetahui baik buruknya
tindakan?”.
Permasalahan selanjutnya adalah, “Apakah tujuan manusia?”, “Apakah keuntungan yang diharapkan manusia di balik tindakannya?
Sebuah Pandangan
Tentunya, tujuan dan
keuntungan adalah domain yang membuka lebar site-site pemaknaan, seiring
dengan hasrat manusia yang berbeda-beda, sebanyak tampilan naluri cinta
diri pada setiap kepala. Kendati demikian, semua tujuan atau keuntungan
bisa disederhanakan dalam satu kata; kesempurnaan. Maka, segala tujuan
yang diharapkan manusia pasti kesempurnaan.
Tiga abad silam, situs
emosionalisme/emotivisme telah diluncurkan Adam Smith. Di dalamnya, ia
menekankan tenggang rasa atau cinta sesama (altruisme) sebagai alasan
dan motivasi bertindak. Motivasi inilah yang bisa memuaskan dan menjaga
perasaan sesama. Maka, kepuasan orang lain adalah kesempurnaan dan
tujuan tindakan manusia.
Jadi, tindakan yang
bermotivasi cinta sesama adalah baik dan tersanjung, karena tindakan
yang demikian membantu pelaku untuk mencapai tujuannya, yaitu
membahagiakan perasaan orang lain. Kasih sayang, menghormati, tolong
menolong, berbuat baik, adalah tindakan-tindakan baik, karena dapat
menyenangkan memuaskan orang lain. Sebaliknya, tindakan yang bermotivasi
cinta diri, egoisme, menmentingkan diri sendiri, pasti terhujat dan
buruk, karena dengan motivasi ini, ia tidak akan bisa menjaga perasaan
orang. Ini artinya menentang tujuan pelaku.
Smith menegaskan bahwa
tindakan sengaja ini mesti bersifat sosial, pelakunya di dalam interaksi
sosial. Maka, tindakan dan kehidupan individual manusia kekosongan
nilai, tidak ada kebaikan atau keburukan di dalamnya. Lalu, logika apa
yang diterapkan dalam kehidupan individual? Mungkin anak-anak Smith yang
menuntaskannya.
Sayangnya, ia tidak
menjelaskan alasan memilih motif emosional (tenggang rasa, kasih sayang,
dll.) diangkat sebagai norma pencapaian tujuan, sementara ada
motif-motif lain seperti insting dan naluri/fitrah pada diri manusia.
Bahkan, ia pun tidak sempat menuturkan alasannya mengklaim kepuasan
orang lain sebagai tujuan pelaku.
Ajaibnya, ia malah
menganjurkan tindakan yang bermotif tengang rasa, padahal Ridhonnaas
ghoyatun la tudrok. Kepuasaan setaip orang adalah penantian yang tidak
akan bisa dipenuhi. Ketika Bertrand Russell membedakan manusia dengan
binatang berdasarkan hasrat batinnya yang tak terbatas, Smith masih
‘berkhayal’ sanggup mengisi hasrat demikian itu dengan kemampuannya
yang, tentunya, terbatas. Ingat! Hasrat itu bukan satu warna tok!
Banyaknya sejumlah sidik jari manusia. Kalau tenggang rasa itu masih
mungkin di hadapan merah dan orange (?!), maka ia menjadi mustahil di
hadapan hitam dan putih, untuk tidak bersikap munafik.
Konyolnya, ia bahkan
menuding motif cinta diri, yang merupakan naluri induk motif-motif lain,
termasuk motif cinta sesama, sebagai awal keburukan. Jika anak-anak
Smith itu ditanya “Mengapa anda berjabatan tangan dengan wanita yang
bukan muhrim?” Ia tangkas menjawab, “Karena cinta sesama, menjaga
perasaannya supaya tidak terlukai”. Romantis sekali! Namun, jika
dicecar, “Mengapa perasaannya tidak boleh terlukai?”. Mungkin sebagian
mereka akan berbisik-bisik satu sama lain, “Ya, kalau perasaan dia
terluka, perasaan-ku juga terluka”. Sementara sebagian lainnya tampil
intetektual, “Bukan itu, tapi karena kemanusiaan, setiap manusia
(termasuk aku) ingin perasaan dirinya terjaga”. Adapula yang tampil
alim; “Bukan itu, tapi karena agama-Ku, mazhab-Ku, atau akhlak-Ku
menganjurkannya”. Ternyata, mereka semua terjerat kata ‘ingin diri’ dan
ku-ku-ku itu. Sedangkan kata kemanusiaan tidak berarti tatkala induk
ayam mengurung anak-anaknya dengan kedua sayapnya dari intaian elang.
Cinta sesama masih bisa kita lihat pada binatang.
Akhirnya, pada titik
yang paling mengenaskan, tidak ada satupun dari mereka yang boleh
mengomentari kritik apapun, dari siapapun, apalagi mentilawahkan
ayat-ayat sang bapak, karena akan melukai semua orang yang berbeda
pandangan. Mereka hanya punya dua pilihan, satu dari Apicurus, sang
skeptis sejati, untuk bungkam mulut sambil esktasi dalam ataraxia, dan
satu lagi dari mutasawwif untuk mengeram di menara gading sambil menanti
nirvana.
Aditujuan
Dari penyadaran di
atas, kita temukan bahwa cinta sesama dan kepuasan selain tidak bisa
dipatok jadi norma nilai tindakan. Cinta diri masih lebih pantas untuk
diangkat sebagai norma dan tujuan, karena ia menjadi landasan, bukan
hanya untuk cinta sesama, tetapi untuk emosi dan insting lainnya. Aljam’
mahma amkan aula. Cinta sesama hanya mampu menempatkan dirinya sebagai
media-tujuan. Dengan demikian, ada dua macam tujuan; pertama, aditujuan,
yaitu tujuan akhir di balik semua tindakan sengaja, dan kedua,
media-tujuan, yaitu tindakan sengaja yang mendekatkan pelaku kepada
aditujuan.
Maka, pertanyaan yang
mesti dicermati adalah “Apakah aditujuan hidup manusia?”. Tidak syak
lagi, bahwa akal manusia mampu mengetahui baik buruknya suatu tindakan
lewat komparasi dan pengamatannya terhadap relasi tindakan tersebut
dengan tujuan (baca: aditujuan) pelakunya.
Tanpa lutayya wallati,
aditujuan itu adalah kesempurnaan terbesar. Sekali lagi, kesempurnaan
adalah kata yang memberikan peluang pemaknaan beragam. Manakah pemaknaan
yang benar? Manakah kesempurnaan terbesar manusia? Pertanyaan ini bukan
lagi praktis, tapi lebih merupakan teoritis. Di sinilah kita temukan
garis sambung antara tindakan dengan pemikiran, atau -meminjam istilah
Syariati- antara ideologi dengan pandangan dunia.
Merujuk kepada
data-data teologis, bahwa kesempurnaan yang hakiki, mutlak dan tak
terbatas adalah Tuhan (Q. 22/64). Dialah dzat yang maha esa, maha kaya,
dan pemurah wujud kepada makhluk-Nya (Q.35/15). Dialah rabbul alamiin,
maha pengatur, maha pemelihara, pemilik mutlak alam semesta, penguasa
dan pemerintah mutlak alam jagat raya. Maka, perjumpaan dengan Tuhan
adalah kesempurnaan terbesar manusia (Q.53/42-Q.84/6).
Secara subjektif,
manusia cinta diri sendiri. Cinta diri adalah naluri induk bagi
kecenderungan dan tendensi batin lainnya. Ia adalah sumber hasrat,
keinginan dan dorongan batin lainnya untuk bertindak dan berusaha meraih
apa saja yang dituntutnya. Naluri ini tidak pernah puas dengan
kenikmatan terbatas (Q.70/19-21). Ia selalu menuntut yang lebih dari
kepuasaan terakhir yang digenggamnya. Seabrek kenikmatan yang diraih
tidak membuatnya tuwuk. Tuntutannya malah semakin menjadi-jadi, hingga
menembus langit-langit keterbatasan. Ia membangkitkan penantian dan
hasrat yang tak terhingga. Ia cenderung kepada kesempurnaan yang absolut
(Q.100/8). Maka, perjumpaan dengan kesempuranaan demikian itu adalah
kepuasaan terbesar bagi naluri cinta diri setiap manusia.
Jadi, manusia secara
objektif dan subjektif, dapat melacak kesempurnaan terbesarnya, yaitu
perjumpaan dengan sumber wujudnya. Permasalahannya adalah bisakah
manusia merealisasikan perjumpaan itu? Bisakah ia meraih kepuasan dan
kesempurnaan terbesar yang diketahuinya itu? Adalah percuma mencari dan
menentukan sesuatu sebagai aditujuan kalau ternyata tidak bisa diraih.
Tidak realistis.
Jelas, bahwa mengetahui
saja, tanpa bisa menikmati hanya akan menyisakan penantian merana,
hasrat buta dan putus asa. Naluri cinta diri sebagai sarana vital
kehidupan manusia menjadi sia-sia, fungsinya menjadi sumber penderitaan
mendalam. Di sini, hikmah dan kepedulian Tuhan menjawab positif
permasalahan, bahwa manusia bisa menemukan dan menggenggam kesempurnaan
terbesar yang dikuaknya. Dengan kata lain, ia dapat meraih kesempurnaan
terbesar dan perjumpaannya dengan sumber wujud. Jadi, manusia tahu
aditujuannya, dan ada naluri yang memotivasi pencapaian aditujuan, serta
mampu merealisasikannya. Tentunya, pencapaian demikian ini adalah
tindakan sengaja yang bernilai baik dan tersanjung.
Dengan demikian,
perjumpaan dan kedekatan dengan Tuhan (liqoo-ulloh) adalah aditujuan dan
kesempurnaan nec plus ultra wujudnya. Dan, tindakan sengaja yang
dampaknya mendongkrak pelaku menjadi lebih dekat dan berjumpa dengan
Tuhan, adalah tindakan baik. Sebaliknya, tindakan sengaja yang dampaknya
menjauhkan pelaku dari perjumpaan itu adalah tindakan buruk.
Permasalahannya adalah bagaimana manusia berjumpa dengan kesempurnaan terbesarnya?
Kehidupan Egoistis
Mengamati cinta diri
pada tataran fungsional dan aplikatifnya, naluri ini menjadi sumber
pergesekan dan benturan, sebanyak komponen umat manusia. Cinta diri
menciptakan tuntutan, hasrat, kebutuhan, kebebasan yang seluas-luasnya
pada image manusia. Cinta diri mendorong setiap empunya melibatkan apa
saja di sekitarnya yang bisa memenuhi kebutuhan dan memuaskan
tututannya. Sehingga, menjadi mustahil bertahan hidup dalam kesendirian
dan keterasingan. Kodratnya menghukum dirinya sebagai political animal,
sehingga ia terpaksa mengadakan kontrak sosial dengan selainnya, dan tak
segan-segan melibatkan sesamanya demi kepentingan cinta diri sendiri.
Dari cara yang paling sopan, sampai modus yang paling sadis, layaknya
Hanibalisme, Vandalisme, hingga Homo momini lupus dalam bentuknya yang
transparan seperti Macheavellisme, atau bentuk yang licik dan
terselubung semisal Demokrasi, Liberal, Perdamaian, HAM, dll. Maka, ada
perebutan kepentingan yang mau tidak mau mesti dijalani umat manusia,
dimanapun, kapanpun.
Perebutan itu bukan
hanya antarkomponen umat, tetapi antarumat dan komponennya sendiri.
Jelas, ada adu dua kepentingan hidup; kepentingan pribadi dan
kepentingan umum. Berkorban demi kepentingan umum menjadi tidak berarti,
karena naluri cinta dirinya tidak membiarkan kehilangan kesempurnaan
sedikitpun dari dirinya. Berdasarkan cinta diri, setiap manusia
selalunya mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum.
Dilema sosial dan egosentrisme ini tidak akan bisa diselesaikan oleh
atau dinisbahkan kepada institusi sosial atau perangkat kekuasaan,
karena keduanya produk sekawanan manusia yang masing-masing juga cinta
diri. Segala chaos yang terjadi di dunia ini adalah berkah kekuatan dan
kebebasan egoisme, sebuah naluri yang terpatri dalam kodrat manusia.
Sejarah peradabannya tidak pernah memberikan laporan yang bisa menekan
tensi anxiety, selain manipulasi dan pembodohan fakta. Ketika Demokrasi,
Modernitas dan Globalisasi dianggap peradaban manusia terunggul, umat
manusia, secara sadar atau terpaksa, tengah menyimak variabel pemalsuan
riwayat hidup mutakhirnya.
Cinta Diri dan Agama
Apakah manusia
ditakdirkan menjalani sepanjang hidupnya di atas garis kesengsaraan yang
disebabkan cinta dirinya sendiri? Adalah standar ganda alami yang
mengistimewakan semut, lebah atau bahkan serigala di atas manusia?
Haruskah manusia hancur karena kodrat dan nalurinya sendiri? Adalah
pertanyaan-pertanyaan yang menggeledah naluri cinta diri itu sendiri,
untuk segera sadar dan mengekang tuntutan, hasrat, kebutuhan dan
kebebasannya sampai pada batas yang bisa mempertahankan eksistensinya,
sebelum memutuskan memilih Nihilisme. Artinya, manusia dengan naluri
cinta dirinya didudukkan pada tiga pilihan; mengulur tuntutan, hasrat
dan kebebasan nalurinya tanpa batas yang berarti pemberangusan diri
sendiri, atau membuang tuntutan dan hasrat itu dengan mencerabut naluri
cinta diri sebersih-bersihnya dari dalam kodrat manusiawi, atau
menariknya sampai pada dinding-dinding (baca: Kapitalisme, Sosialisme,
dll.) yang bisa melindungi diri dari benturan dan kehancuran.
Mungkin bukan
kegegabahan membiarkan naluri cinta diri mengarahkan kecenderungannya
kepada pilihan ketiga. Naluri ini masih terpuaskan di bawah bayangan
teduh dinding itu, kendati harus menahan gelinjang sekian hasrat dan
ledakan sejumlah tuntutannya.
Namun, kalau hanya
terpuaskan secara temporal dan terbatas, maka segala kepuasan yang
didapatkan naluri di balik dinding itu tak ubahnya crack. Sitir Maulana
Rumi, betapa banyak yang mencapai harapannya, seketika itu mereka sadar
dengan kesulitan lain. Bagaimanapun dinding itu, dibangun sekokoh,
seindah dan semegah mungkin, kalau konsrtuktornya adalah manusia yang
cinta diri dan hanya untuk di dunia yang serba terbatas ini, niscaya
dinding itu keropos, rapuh dan pasti roboh. Bayangannya tidak akan lama
menaungi, keteduhannya segera pudar. Keindahan dan kemegahannya jadi
nihil dan tidak berarti bagi naluri yang cenderung mengejar kepuasan
yang tak terbatas; yaitu sebuah kepuasan yang realistis yang bisa
direalisasikannya. Di sini, tampak kegegabahan membiarkan naluri cinta
diri mengarahkan kecenderungannya kepada pilihan ketiga, apalagi kepada
dua pilihan konyol sebelumnya. Lalu, di manakah kepuasan tak terbatas
yang bisa diraih itu?, sampai kapan naluri berlindung di balik dinding
rapuh? Haruskah manusia hancur karena hancurnya dinding itu? Fa ainaa
tadzhabuun?
Di sini kita temukan
kembali benang sambung antara pandangan dunia sebagai sistem keyakinan
(belief system) dan ideologi sebagai sistem nilai (value system). Tuhan
yang maha bijaksana, Rabbul aalamiin, maha pemelihara dan pengatur jagat
raya, tidak akan menyia-nyiakan kehidupan makhluknya. Dialah dzat yang
maha peduli atas segala urusan dan perkara. Kekuasaannya lebih hebat
dari sekedar memelihara hidup masyarakat semut di kedalaman perut
gunung. Dia turunkan agama untuk manusia, tanpa melecehkan atau membasmi
naluri cinta dirinya. Agama bahkan mengembangkan naluri itu dengan
memaknai kepentingan secara lebih luas; kepentingan dunia dan akhirat.
Addunya mazro’atul akhiroh; dunia adalah ladang, dan akhirat adalah
hasil. Ada relasi khas yang sangat erat dan kuat antara dunia dan
akhirat, seerat produk dan pabriknya, sekuat sebab dan akibatnya.
Agama menekankan bahwa
kepentingan akhirat adalah khoirun wa abqo. Maka, tidak ada alasan lagi
untuk tidak berkorban demi masyarakat. Tidak ada alasan lagi untuk tidak
menghormati dan berkorban demi sesama. Karena, pengorbanan dan
penghormatannya itu bukan lagi kehilangan, tetapi demi keuntungan
dirinya yang besar, waridhwaanulllohi akbar. Agama memberikan konsep
tentang untung dan rugi dalam porsinya yang lebih besar daripada ukuran
materi dan perhitungan bisnis. Di dalamnya, kesulitan jadi jalan
kemudahan, kerugian demi sesama kaum muslim, sesama umat beragama,
sesama masyarakat, semua itu jadi jalan keuntungan, dan peduli terhadap
kepentingan oarng lain adalah jaminan kepentingan dirinya sendiri di
kehidupan yang lebih sempurna dan unggul. Agama menggugah naluri;
“janganlah kau mengira mati mereka yang mengorbankan nyawa di jalan
Allah, mereka bahkan hidup di sisi Tuhan sambil menikmati (limpahan)
rejeki-Nya”. Agama mampu membuka cakrawala kehidupan yang bisa ditatap
naluri lebih tajam, lebih dalam, lebih luas, sejauh jangkauan
tatapannya. Agama mampu mengoptimalkan tuntutan cinta diri yang tak
terbatas dan meledakkan hulu hasrat dan mengebor habis motivasi dari
dalam jiwa untuk bertindak enerjik dan mengejar keuntungan yang tak
terhingga. Kata Syahid Baqir Shadr ra.: Risalatul Islam Tsauriyyatul
Fikroh.
Di sinilah puncak
keindahan. Ada ijma di antara akal, naluri dan agama. Ada selisih kecil,
agama mengganti motivasi itu dengan sebutan ‘niat’. La musyahata fil
ishthilaah.
Dua Pilar Tindakan Baik
Jadi, motivasi atau
niat tindakan yang sesungguhnya adalah meraih keuntungan terbesar bagi
dirinya sendiri, yaitu liqo-ullah. Dan tindakan sengaja yang dilakukan
dengan motivasi selain perjumpaan dengan Tuhan, bukanlah kebaikan yang
baik dan tersanjung, kendati tindakan itu dinyatakan oleh akal sebagai
kebaikan. Hipokrasi, dalam bentuk riya atau penghianatan, adalah
keburukan yang terhujat, kendati dzahir tindakan itu (solat, sedekah,
setia kawan, dll) dinilai akal sebagai kebaikan. Secara dzahir, infak
dan sogok adalah sama. Yang membedakan keduanya adalah motivasi/niat.
Tidaklah pantas kaum
kafir itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui
kekafiran mereka sendiri, itulah orang-orang yang sia-sia tindakannya
dan mereka kekal di neraka. Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid
Allah merekalah yang beriman kepada Allah dan akherat, serta tetap
mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun)
selain kepada Allah, maka merekalah oang-orang yang diharapkan termasuk
golongan yang mendapat hidayah. Apakah (orang-orang) yang memberi
minuman kepada para panunai haji dan mengurus Masjidil haram, kamu
samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan akherat serta
berjuang di jalan Allah? Sungguh mereka tidak sama di sisi Allah, dan
Allah tidak akan memberikan hidayah kepada kaum zalim. (At-Taubah
9:17-19)
Maka, tindakan yang
baik terdiri atas dua pilar: pertama, secara objektif, diketahui akal
dapat mendekatkan pelakunya kepada aditujuannya, dan kedua, secara
subjektif, dimotivasi oleh cinta diri yang tak terbatas, yaitu
liqo-ulloh. Dengan ungkapan lain, tindakan itu menjadi tersanjung,
tatkala akal menilainya baik (husn fi’li: baiknya tindakan), dan
dilakukan berdasarkan motivasi perjumpaan dengan Tuhan sebagai
penyaluran naluri cinta dirinya yang tak terbatas (hus fa’ili: baiknya
pelaku).
Tentu, di sini perlu
dibubuhkan unsur motivasi ke dalam pengertian tindakan baik dan
tersanjung atau buruk dan terhujat yang tersebut sebelum dua tema di
atas. Maka, tindakan baik dan tersanjung adalah tindakan sengaja yang
lahir dari motivasi ‘liqo-ullah’ dan yang dampaknya dapat mengangkat
pelakunya menjadi lebih dekat dan berjumpa dengan Tuhan. Sebaliknya,
tindakan sengaja yang lahir tidak dari motivasi itu atau dampaknya
menjauhkan pelaku dari perjumpaan itu adalah tindakan terhujat.
Agama menyebut pilar
objektif tindakan dengan amilus-sholihat, yang selalu membuntuti Amanuu
sebagai ungkapan dari pilar subjektif tindakan. Ini menegaskan
kesimpulan bahwa kedua pilar itu tidak bisa dipisahkan dari tindakan
yang baik dan tersanjung. Kehilangan satu pilar adalah ketiadaan nilai
tindakan sengaja.
Pilar objektif adalah
dimensi dzahir tindakan sengaja, dan pilar subjektif adalah dimensi
batin. Memilih salah satunya, misalnya mendahulukan motivasi cinta
sesama dan tenggang rasa tanpa peduli dengan dimensi dzahir dan
implementasinya, ini sama artinya memisahkan kedua pilar itu, yang pada
gilirannya tindakan sengaja itu kehilangan nilai positifnya. Dimensi
lahir tindakan adalah perlu, seperlu dimensi batin.
Keserasian Dua Pilar
Baru saja ditegaskan
bahwa tindakan baik dan pelaku baik adalah dua pilar tindakan baik yang
tersanjung; yang mendekatkan pelaku kepada aditujuannya. Keduanya selalu
bersanding dan intim. Tentu harus ada kesesuaian di antara mereka. Kata
orang Latin, “Non omnis fert omnio tellus”. Tidak semua tanah
menghasilkan segala sesuatu. Padi tidak akan tumbuh di padang pasir.
Begitupula, tidak semua tindakan baik akan terjadi dengan segala niat
dan motivasi untuk mencapai aditujuan. Juga sebaliknya, tidak semua
motivasi baik jadi alasan melakukan segala tindakan. Katanya filsuf,
mesti ada sinkhiyyah; keserasian.
Maka, belajar dengan
motivasi persaingan duniawi, misalnya, adalah tindakan buruk. Atau,
motivasi pengalaman ruhani dengan sungkem kepada arca humanisme,
misalnya, juga tindakan buruk. Annatijah tabiah liakhasshil muqoddimah.
Rumah panggung akan ambruk hanya dengan keropos satu tiangnya.
Jadi, hanya tindakan
baik (pilar objektif) dengan motivasi baik (pilar subjektif) yang
tersanjung, yaitu punya dampak mendekatkan pelaku kepada aditujuan.
Permasalahannya adalah
“Apakah dampak (mendekatkan) setiap tindakan baik dan setiap motivasi
itu satu?”. Atau, “Apakah setiap tindakan baik dan motivasi baik
melahirkan satu kebaikan ataukah beragam?”.
Gradasi Nilai dan Peran Motivasi
Kebaikan dan keburukan
adalah dua makna yang menyimpan gradasi (kebertanggaan). Oleh karena
itu, ada yang baik, lebih baik, lebih lebih baik, hingga yang terbaik.
Ada yang buruk, lebih buruk, lebih lebih buruk, hingga yang terburuk.
Perbedaan tingkat ini berpangkal dari perbedaan pilar subjektif
(tindakan-tindakan baik) juga dari perbedaan pilar objektif
(motivasi/niat). Dalam misal pilar subjektif, sedekah seratus rupiah
menjadi lebih bernilai ketimbang sedekah seribu rupiah, karena kualitas
motivasi dan niat pelaku sedekah pertama itu lebih tinggi, lebih tulus
dan lebih ikhlas dari niat pelaku kedua. Begitupula, menentang kebenaran
yang bermotif angkuh menjadi lebih terhujat daripada penentangan dengan
motivasi gurau, karena pengaruh motif angkuh lebih kuat dalam
menjauhkan pelakunya dari aditujuan.
Imam Ali as. Pernah
membagi muslimin di hadapan Tuhan kepada tiga kelompok, budak, pedagang
dan pecinta. Pembagian ini lebih mengacu kepada motif-motif mereka dalam
beribadah; budak dengan motif takut (neraka), pedagang dengan motif
salary (surga), dan pecinta dengan motif kerinduan, inilah motif yang
termulia.
Gradasi Nilai dan Peran Tindakan Baik
Peran pilar objektif
(tindakan-tindakan baik), tidak kurang pentingnya dengan peran pilar
subjektif atau motivasi/niat pelaku. Misalnya, solat wajib, ia tidak
sama nilainya dengan solat nafilah, kendati dilakukan oleh satu pelaku
dengan satu kualitas motivasi (niat qurbatan lillah), karena kewajiban
lebih besar pengaruhnya dalam pencapaian aditujuan. Sebaliknya, nilai
keburukan fitnah lebih besar daripada keburukan pembunuhan, karena
efeknya lebih besar dalam menjauhkan pelakunya dari aditujuan.
Dalam asumsi bahwa
suatu tindakan baik yang tidak bermotif ilahi, tidak pula bermotif
iblis, yang tidak berpengaruh positif ataupun negatif terhadap
pencapaian aditujuan pelakunya, maka tindakan tersebut kopong nilai
(zero value), ia tidak berpredikat baik dan buruk, seperti; makan karena
lapar saja, minum karena haus saja, tidur karena ngantuk saja.
Permasalahannya adalah
“apakah garis merah antara tindakan yang bernilai baik dan tersanjung
dengan tindakan yang kosong nilai?”. Atau, “hal apa yang bisa mengatrol
suatu tindakan baik dari titik nol ke titik satu?”
Anak Tangga Pertama
Telah disebutkan bahwa
tindakan yang baik adalah tindakan yang mendekatkan pelaku kepada
aditujuan dan dilakukan dengan motivasi qorbatan ilallah. Sementara,
perjumpaan dengan Tuhan melazimkan -pada tahapan belief system
sebelumnya- penerimaan kalbu akan realitas Tuhan sebagai kesempurnaan
mutlak, dzat yang maha esa, yang maha bijaksana, maha peduli, maha
pemelihara, maha pengatur, maha pemilik, maha penguasa, maha pemerintah
mutlak. Inilah iman. Adalah mustahil motivasi qurbatan ilallah itu
muncul dari luar iman.
Iman bukan pengetahuan.
Iman adalah produk pengetahuan, yaitu pengetahuan yang demonstratif.
Pengetahuan tanpa dalil masih perlu diproses akal atau piranti kognitif
lainnya. Hanya pengetahuan yang terbuktikan yang siap hadir di kalbu.
Namun, kesiapan (objektif) pengetahuan ini tidak cukup membuat kalbu
menyambut kehadirannya. Ada sebagian dokter jantung yang merokok dan
tahu dampak buruk tindakan itu. Hanya kalbu yang tulus dan insaf yang
bisa menerima kehadiran pengetahuan argumentatif. Ketika itulah lahir
iman di kalbu.
Maka, iman itu di
kalbu. Ia akan lahir dari dua kesiapan; satu, kesiapan objektif berupa
pengetahuan demonstratif, dan kedua, kesiapan subjektif berupa ketulusan
kalbu.
Dengan pengertian iman
diatas, naluri cinta diri yang tak terbatas itu hanya akan menyemburkan
motivasi/niat qurbatan ilallah jika disertai oleh iman. Tanpa iman, akan
terjadi kemandulan pada naluri itu; ia tidak bisa melahirkan niat
demikian itu. Si dokter itu akan menahan nafasnya hanya dengan ketulusan
hati untuk menerima pembuktian ilmiahnya atas dampak buruk rokok.
Maka, iman merupakan
garis merah antara tindakan baik yang tersanjung dan tindakan zero
value. Dan, seseorang bisa mengisi kekosongan nilai pada makannya dengan
seduhan niat qurbatan ilallah yang didasari oleh iman.
“Tindakan-tindakan
mereka yang kafir (tidak beriman) kepada Tuhan ibarat fatamorgana di
padang pasir, orang yang kehausan menduganya oase, tatkala
mendatanginya, ia tidak mendapatkan setetes airpun…. (Nur,39)
Jadi, boleh saja derma,
senyum manis, atau menghormati perasaan sesama dan kasih sayang kepada
orang lain adalah tindakan-tindakan baik bagi sebagian orang, namun
semua itu sia-sia bila tidak dimotivasi oleh iman dan qurbatan ilallah.
Atau, berfikir, diam, tidur dan tindakan individual lainnya dianggap
bebas nilai, tapi itu semua jadi berarti dengan sepuhan, sekali lagi,
iman.
Tangga Iman
Perlu ditegaskan bahwa
Iman itu berderajat. Derajat minimal iman adalah menerima dengan
kepuasan kalbu bahwa Laa ilaha illallah; tidak ada tuhan yang berhak
disembah selain Allah. Adalah kalimat tauhid yang mencakup rangkaian
keyakinan kepada Tuhan sebagai Rabul aalamiin, hanya Dia yang
memelihara, mengatur, memiliki, menguasai dan memerintah alam.
Sesorang yang mengimani
Tuhan dan memandangnya sebagai sumber siksa dan kekuasaan, ia akan
menundukkan diri di hadapan pemerintahan-Nya dengan motivasi takut dan
kuatir. Nilai ketundukkannya jelas berbeda dengan seseorang yang
mengimani Tuhan dan mengharapkan balasan pahala, ia akan tunduk di bawah
kepemerintahan-Nya dengan motivasi keberuntungan. Dan, nilai terbesar
ketundukkan tampak dari seorang hamba yang mengimani Tuhan tanpa
mempertimbangkan lagi siksa atau pahala, surga atau neraka.
Ketundukkannya kepada-Nya didasari oleh cinta dan rindu kepada dzat yang
maha sempurna.
Imam Ali as.
Mengumpamakan orang pertama itu dengan budak, dan orang kedua itu dengan
pedagang, serta orang ketiga dengan pecinta. Inilah tiga tangga iman
yang masing-masing bergradasi, sebayak gradasi makna takut, harap dan
cinta (borderline cases).
Permasalahannya,
“manakah tindakan-tindakan sengaja yang mendekatkan pelakunya kepada
aditujuannya?”. Pendeknya, “manakah tindakan yang baik dan tersanjung?”
Akal dan Agama
Di atas tadi, kita
cukup mencermati pilar subjektif tindakan tersanjung, yaitu kebaikan
pelaku. Bahwa derajat kebaikan pelaku itu banyak. kadar minimalnya
adalah iman, yaitu kepada rububiyyah takwiniyah (Kepengaturan cipta) dan
Rububiyyah Tasyri’iyyah (Kepengaturan tinta) Tuhan yang terbingkai di
dalam kalimat tauhid; bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Di sini, kita
akan menuntaskan pilar objektif tindakan tersanjung, yaitu kebaikan
tindakan.
Di sepanjang pembahasan
kita selalu menekankan bahwa akal mampu mengetahui, secara objektif,
dan melaporkan kepada manusia akan kebaikan tindakan-tindakan.
Permasalahannya, “manakah tindakan-tindakan sengaja yang benar-benar
mendekatkan pelakunya kepada aditujuannya?”, “manakah tindakan yang
dinilai baik oleh akal?”. Lebih jelas lagi, “mampukah manusia -dengan
akal dan indera- mengetahui seluruh tindakan baik, yang mengantarkan
kepada aditujuannya?”
Tidak syak lagi bahwa
akal dengan tegas menunjukkan sejumlah tindakan yang baik, seperti:
kerja sama, memilih pemimpin yang adil, mendirikan pemerintahan yang
bersih sebagai sarana penyempurnaan.
Dibantu oleh indera,
akal tak segan menjalani trial and error dan check and balance untuk
menemukan tindakan yang benar-benar baik; yang mengarahkan manusia
kepada aditujuannya.
Naif, jika menanti dari
akal lebih dari itu. Akal tidak ma’sum. Kesimpulam dan keputusannya
bisa disusupi kepentingan pribadi, angan-angan dan penantian-penantian
manusia. Akal tidak enggan untuk menebarkan perselisihan
produk-produknya.
Satu lagi yang perlu
disadari, bahwa akal dan empiris itu terbatas. Ia terlalu lemah untuk
menyelidiki seluruh efek material dan ma’nawi serta dampak duniawi dan
ukhrawi, individual dan sosial dari seluruh tindakan sengaja.
Mengatasi kekurangan
dan keterbatasannya, akal membutuhkan uluran tangan dzat yang maha tahu,
maha peduli dan maha bijaksana. Aantum a’lamu amillah. “Kalian yang
lebih tahu ataukah Kami?” Di sini, agama lagi-lagi hadir ditengah
kehidupan praksis manusia.
Di sini tampak jelas
fungsi agama. Ia adalah pelengkap dan penggugah akal, sebagaimana ia
dalam kaitannya dengan naluri. Maka, relasi antara akal dan agama tidak
mungkin pertentangan (tabayun). Agama bukan lawan akal. Ia adalah kawan
akal yang diperlukannya. Sebagai pelengkap, agama mampu menunjukkan
hal-hal di luar sentuhan akal dan indera. Maka, sebagian arahan agama
bersifat supra sensional dan supra rasional.
Media-tujuan, Sebuah Jalan
Jadi, manusia -pada
aspek subjektif dan aspek objektifnya- niscaya lemah. Dari dua aspek itu
pula, ia membutuhkan instrumen tambahan yang mesti adanya untuk
menutupi kelemahan dan kekurangannya. Jika ia tidak menemukannya dari
dalam dirinya, ia harus mencarinya dari luar. Itulah wahyu dan agama.
Agama adalah
penyempurna fungsi akal dalam menunjukkan tindakan-tindakan baik yang
mendekatkan manusia kepada aditujuan. Agama adalah hujjah atas manusia
untuk memilih dan melakukan tindakan-tindakan baik. Wama kunna
muadzzibina hatta nab’atsa rosula. Selama tidak ada arahan lengkap
sebagai hujjah yang cukup pada manusia, selama itu pula tindakannya
bebas nilai, maka iapun bebas tanggungjawab dan siksa.
Tentunya,
tindakan-tindakan itu menjadi bernilai baik dan dapat mendekatkan pelaku
kepada aditujuannya jika disertai motivasi iman atau niat qurbatan
ilallah. Agama menyebut tindakan-tindakan demikian ini sebagai ibadah.
Maka, ibadah merupakan media-tujuan, sebagai sebuah jalan menuju
aditujuan manusia. Wa ani’buduunii, haadza shirootum-mustaqiim.
Ibadah berarti segala
tindakan yang dilandasi oleh pengetahuan akan tindakan yang baik
(menurut akal dan atau wahyu) dan oleh keyakinan akan hak ketersembahan
Tuhan semata. Sebagai sebuah media-tujuan, agama menyebut ibadah dengan
shiroth mushtaqim. Ia adalah sebuah jalan yang lurus. Ihdinash
shiraathol mustaqim. Ya Allah ! Tunjukkanlah jalan yang lurus kepada
kami ! Amin!
Akhirnya, “Sampaikanlah
(wahai Muhammad)! Tahukah kalian akan orang-orang yang paling rugi
tindakannya? Merekalah yang sia-sia jerih payahnya di dunia, sementara
dirinya mengira telah bertindak sebaik-baiknya.” (al-Kahfi, 103-104).
[islamalternatif.net]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar