Kosmologi
yang benar adalah fondasi yang harus dibangun oleh setiap insan
beragama. Dengan metode epistemologis apakah kosmologi ini
bisa dibangun? Mungkinkan pengetahuan empiris dapat memecahkan
masalah-masalah prinsipal kosmologis? Dimanakah posisi tasawwuf
dalam perfeksi dan perjalanan spiritual manusia? Artikel ini
akan menjawabnya dengan penjelasan yang lugas dan sesederhana
mungkin.
Definisi Agama
Bicara soal agama, tidak bisa
tidak kita harus memahami terlebih dahulu devinisi agama. Dalam
bahasa Arab agama disebut ‘Din’ yang secara bahasa berarti ketataan,
pahala dsb. Dalam istilah, Din berarti keyakinan kepada Sang
Pencipta manusia dan alam semesta serta ajaran-ajaran amaliah yang sesuai
dengan keyakinan ini. Atas dasar ini orang yang tidak meyakini
adanya Sang Pencita dan menganggap segala fenomena alam ini sebagai
kejadian spontan atau semata-mata terjadi karena interaksi alam natural
disebut sebagai orang yang tak beragama (ateis). Sebalik orang
yang meyakini adanya Sang Pencipta semesta alam disebut sebagai orang yang
beragama, sekalipun keyakinannya atau ritus-ritus agamanya mengalami
penyimpangan dan khurafat. Maka dari itu, agama terbagi menjadi hak
dan batil.
Agama
yang hak adalah agama yang mengandung keyakinan yang sesuai dengan
kenyataan serta membawa petunjuk kepada perilaku-perilaku yang memiliki
jaminan yang valid untuk menggapai kebenaran.
Ushul
dan Furu’
Dengan pengertian terminologis agama
tadi jelaslah bahwa agama setidaknya terdiri dari dua elemen.
Pertama, akidah atau keyakinan-keyakinan yang dilandasi dengan
prinsip dan dasar yang valid. Kedua, hukum atau
perintah-perintah amaliah yang sesuai dengan dasar-dasar
akidah. Dengan demikian, tepatlah kiranya jika elemen akidah
setiap agama disebut ‘ushul’ (pokok-pokok) sedangkan elemen hukum
amaliahnya disebut furu’ (cabang). Dua istilah ini oleh para ulama
Islam juga lazim disebut akidah Islam dan hukum Islam.
Kosmologi dan
Ideologi
Istilah kosmologi dan ideologi
artinya tak jauh berbeda satu dengan yang lain. Arti kosmologi
antara lain ialah serangkaian keyakinan dan pandangan universal yang
tersistematis mengenai manusia dan alam semesta, atau secara umum mengenai
‘ke-ada-an’ (wujud). Sedangkan arti ideologi antara lain ialah
serangkaian pandangan universal yang tersistematis mengenai perilaku
manusia.
Sesuai
dua pengertian ini bisa dikatakan bahwa rangkaian akidah dan ushul setiap
agama adalah kosmologi agama ini sendiri, sementara sistem universal
hukum-hukum amaliahnya adalah ideologinya, dan keduanya diterapkan sesuai
ushul dan furu’ agama ini. Patut diingat bahwa istilah ideologi
tidak mencakup hukum-hukum parsial sebagaimana kosmologi juga tidak
mencakup keyakinan-keyakinan parsial. Selain itu, kata ideologi juga
sering diterapkan pada pengertian umum yang mencakup
kosmologi.
Kosmologi Teisme dan Kosmologi
Materialisme
Di tengah umat manusia terdapat aneka
ragam kosmologi. Toh demikian, dengan pertimbangan diterima atau
tidaknya alam immateri atau supranatural semuanya bisa dibagi dalam
dikotomi kosmologi ketuhanan (teisme) dan kosmologi materialisme.
Penganut kosmologi materialisme dulu disebut zindiq atau mulhid (ateis),
sedangkan sekarang lazim disebut materialis. Ada banyak paham yang
membidani lahirnya materialisme, dan diantaranya yang paling kesohor ialah
Materialisme Dialektik yang menjadi elemen filosofis ajaran
Marxisme.
Dari
keterangan di atas jelas bahwa penerapan istilah kosmologi lebih luas
daripada istilah keyakinan atau akidah agama, karena kosmologi juga
meliputi paham-paham ateisme dan materialisme sedangkan akidah agama tidak
mencakupnya. Ini serupa dengan istilah ideologi yang sebenarnya
hanya mencakup rangkaian hukum-hukum agama.
Agama Samawi dan
Ushulnya
Tentang proses munculnya berbagai
agama para ahli sejarah agama dan sosiolog berbeda pendapat. Namun,
berdasarkan apa yang bisa dipahami dari teks-teks keislaman (nash), agama
muncul sejak manusia itu ada. Manusia pertama adalah Nabi Adam as
yang merupakan nabi penyeru Tauhid (monoteisme), sedangkan keberadaan
agama–agama yang mengandung paham-paham syirik (politeisme) tak lain
adalah akibat penyelewengan, distorsi, dan tendensi-tendensi individual
maupun kelompok.
Agama-agama monoteisme yang merupakan
agama samawi dan hakiki memiliki tiga prinsip universal yang
kolektif. Pertama, keyakinan kepada Tuhan Yang Esa.
Kedua, keyakinan kepada kehidupan yang abadi untuk setiap manusia
di alam akhirat serta ganjaran dan pahala untuk setiap perbuatannya ketika
hidup di alam dunia. Ketiga, keyakinan kepada
pengutusan para Nabi oleh Allah SWT untuk menuntun umat manusia
kepada kesempurnaan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tiga
prinsip ini pada hakikatnya adalah jawaban untuk beberapa pertanyaan
fundamental untuk setiap orang yang arif dan bijak yaitu, apa dan siapakah
kausa prima atau sumber pertama wujud alam semesta ini? Apakah akhir
dari kehidupan ini? Dan apakah yang bisa dijadikan sebagai jalur
terbaik untuk menjalani program hidup? Adapun kandungan program yang
dapat dipelajari dari jalur wahyu yang terjamin kebenarannya tak lain
ialah ideologi religius yang terbangun berlandaskan kosmologi
teisme.
Keyakinan-keyakinan prinsipal
memiliki berbagai konsekwensi, korelasi, akses, dan rincian-rincian yang
keseluruhannya membentuk konsetalasi keyakinan religius.
Perselisihan dalam hal-hal inilah yang menumbuh-biakkan berbagai aliran
keagamaan, mazhab, dan sekte. Perselisihan mengenai status kenabian
sebagian nabi serta penentuan kitab suci yang valid, misalnya, telah
memicu perselisihan antara agama-agama Yahudi, Kristen, dan Islam.
Perselisihan ini kemudian membawa akses berupa perselisihan-perselihan
lain dalam keyakinan dan tradisi yang sebagian diantaranya tidak sejalan
dengan keyakinan-keyakinan prinsipal. Contohnya adalah keyakinan
trinitas dalam agama Kristen yang jelas-jelas berseberangan dengan paham
monoteisme, walaupun umat Kristiani tetap berusaha mengemas keyakinan
trinitas ini dengan penjelasan-penjelasannya sendiri. Dalam
Islampun, umat Nabi Besar Muhammad saww juga terpecah menjadi Ahlussunnah
dan Syiah akibat perselisihan mengenai mekanisme penentuan para pengganti
Rasul saww. Syiah meyakini bahwa yang berhak menentukannya hanyalah
Allah SWT, sementara Ahlussunnah meyakini bahwa yang menentukannya adalah
umat Islam sendiri.
Alhasil,
Tauhid, kenabian, dan hari kebangkitan adalah keyakinan yang paling
fundamental dan prinsipal dalam semua ajaran agama
samawi.
Masalah Masalah Prinsipal
Kosmologis
Ketika manusia berniat memecahkan
berbagai persoalan fundamental kosmologis dan mengenal ushuluddin yang
benar, pertanyaan yang pertama kali mencuat ialah apakah jalan pemecahan
masalah-masalah ini? Bagaimanakah pengetahuan-pengetahuan yang
fundamental bisa diserap dengan benar? Di tengah berbagai metode yang ada,
metode manakah yang valid untuk memperoleh pengatahuan-pengetahuan ini?
Semua
pertanyaan ini dibahas secara rinci dalam epistemologi, yaitu satu
disiplin ilmu yang menganalisis dan mengevaluasi berbagai pengetahuan dan
metode penalaran manusia dalam memperoleh pengetahuan. Kita di sini
akan membicarakan masalah ini sekadarnya.
Berbagai Jenis
Pengetahuan
Dari satu aspek tertentu
pengetahuan-pengetahuan manusia bisa diklasifikasikan ke dalam empat
kategori:
Pertama, pengetahuan empiris. Pengetahuan
ini diperoleh manusia dengan mengandalkan organ-organ inderawi, kendati
akal juga berperan dalam eksepsi dan generalisasi pengetahuan-pengetahuan
empiris. Pengetahuan empiris difungsikan dalam ilmu-ilmu empiris
semisal kimia, fisika, dan biologi.
Kedua, pengetahuan rasional.
Pengetahuan ini dibentuk oleh konsepsi-konsepsi yang diserap oleh akal
pikiran. Dalam pengetahuan ini peranan akal sangat fundamental
kendati adakalanya persepsi-persepsi empiris masih digunakan sebagai
sumber serapan konsepsi atau digunakan sebagai bagian dari premis dalam
silogisme. Ruang gerak pengetahuan ini meliputi ilmu logika, ilmu
filsafat, dan ilmu matematika.
Ketiga, pengetahuan yang diterima
begitu saja (ta’abbudi). Pengetahuan ini memiliki aspek
sekunder dengan pengertian bahwa ilmu ini didapat berdasarkan
pengetahuan-pengetahuan sebelumnya yang sudah dibuktikan sebagai sumber
yang valid dan punya otoritas. Dengan kata lain pengetahuan ini diperoleh
dari berita yang disampaikan oleh pembawa kabar yang terbukti bisa
dipercaya. Contoh kongretnya adalah pengetahuan yang diperoleh para
penganut agama dari pemuka agamanya. Pengetahuan ini adakalanya
membentuk keyakinan yang jauh lebih kuat daripada keyakinan-keyakinan yang
diperolehnya dari pengalaman-pengalaman empiris.
Keempat,
pengetahuan intuitif (syuhudi). Tak seperti tiga
kategori pengetahuan di atas, pengetahuan ini bersentuhan langsung dengan
obyeknya tanpa perantara gambaran subyetif. Karena itu, ilmu atau
pengetahuan ini tidak mungkin salah. Namun demikian, biasanya apa
diklaim sebagai ilmu syuhudi atau irfani pada hakikatnya adalah
interpretasi subyektif dari sesuatu yang telah disaksikan.
Interpretasi inilah yang bisa salah.
Berbagai Jenis
Kosmologi
Berdasarkan klasifikasi di atas,
kosmologi bisa dibagi dalam empat bagian sebagai
berikut:
Pertama, kosmologi ilmiah. Maksudnya
ialah manusia membangun kosmologi universalnya mengenai alam semesta
berdasarkan hasil-hasil ilmu pengetahuan empiris.
Kedua, kosmologi filosofis yang dicapai
melalui proses argumentasi-argumentasi rasional.
Ketiga, kosmologi yang diperoleh melalui
keimanan kepada para pemimpin agama sehingga semua kata-kata mereka
diyakini sebagai kebenaran.
Keempat, kosmologi irfani yang diperoleh
melalui jalur intuisi atau mukasyafah, syuhud, dan isyraq.
Pertanyaannya sekarang ialah apakah
semua masalah fundamental kosmologis bisa dipecahkan secara seimbang
melalui semua bagian kosmologi di atas? Ataukah ada satu diantaranya
yang harus diprioritaskan atas yang lain?
Evaluasi dan Tinjauan
Kritis
Seperti diketahui, ruang gerak
pengetahuan empiris hanya terbatas pada fenomena-fenomena alam materi.
Maka dari itu, hasil-hasil ilmu empiris tidak bisa mengenal
fondasi-fondasi kosmologi dan menyelesaikan masalah-masalah kosmologis
yang letaknya berada di luar peta ilmu pengetahuan empiris. Ilmu
empiris tidak bisa mengisbatkan atau menafikannya. Hasil-hasil riset di
laboratorium, misalnya, tidak akan bisa mengkonfirmasikan atau menolak
keberadaan Tuhan. Ini tak lain karena pengalaman empiris sama sekali
tidak akan bisa menjangkau alam immateri dan oleh sebab itu pengalaman ini
jelas tidak akan bisa mengisbatkan atau menafikan sesuatu yang berada di
luar zona alam materi.
Dengan
demikian, kosmologi empiris lebih menyerupai fatamorgana. Karenanya,
kata-kata ‘kosmologi’ dalam pengertian yang sebenarnya tidak bisa
diterapkan pada pandangan-pandangan universal empiris. Kita hanya
bisa menyebutnya sebagai Ilmu Pengetahuan Alam Materi. Jadi,
ilmu ini tidak akan bisa menjawab berbagai persoalan prinsipal menyangkut
kosmologi.
Pengetahuan-pengetahuan
ta’abbudi juga demikian. Sebagaimana yang dijelaskan tadi,
pengetahuan ta’abbudi bersifat sekunder dalam pengertian bahwa pengetahuan
ini bisa diyakini setelah sumbernya bisa dibuktikan valid
sebelumnya. Jadi, sebelumnya harus bisa dibuktikan kenabian
seseorang yang menjadi nara sumber pengetahuan itu. Sebelum ini pun
harus pula dibuktikan keberadaan Tuhan, Zat yang mengutus nabi untuk
membawa kabar (baca: pengetahuan). Dan keberadaan Pengutus nabi
serta kenabian orang yang diutus-Nya jelas tidak bisa dibuktikan dengan
pesan (baca: pengetahuan) yang dibawa oleh nabi. Misalnya,
keberadaan Tuhan tidak bisa kita buktikan dengan pernyataan
Al-Quran:“Tuhan itu ada”. Dengan demikian, metode ta’abbudi juga tidak
bisa menyelesaikan masalah-masalah prinsipal kosmologis.
Adapun
berkenaan dengan motode irfani, syuhudi, intiusi, atau yang juga disebut
mistis kita perlu memberikan penjelasan secara agak detail melalui
beberapa poin sbb:
Pertama, Kosmologi adalah pengetahuan
yang terdiri dari konsepsi-konsepsi subyektif (mafahim dzihniah),
sementara dalam intuisi sama sekali tidak ada mafahim
dzihniah.
Kedua, untuk menjelaskan dan
menginterpretasi apa yang diketahui seseorang dengan jalan intuisi
sangatlah memerlukan kepiawaian yang besar dalam berpikir, dan ini tidak
akan bisa dicapai kecuali dengan latar belakang jerih payah berpikir dan
analisis-analisis filosofis yang panjang. Jika tidak, maka seseorang
yang mengalami intuisi akan terjebak pada penggunaan kata-kata yang ambigu
sehingga bisa menjadi penyebab timbulnya kesesatan dan
penyelewenangan.
Ketiga, dalam banyak kasus, hakikat yang
diketahui seseorang melalui intuisi bisa mengundang kebingungan bagi orang
ini sendiri manakala dia mencoba memberikan refleksi dan interpretasi
subyektif.
Keempat, diketahuinya hakikat-hakikat yang
setelah diinterpretasikan oleh pikiran bisa kita sebut kosmologi
bergantung kepada proses penempuhan jalan suluk, sedangkan penerimaan
metode suluk ini sendiri juga memerlukan teori-teori dasar dan
masalah-masalah prinsipal dalam kosmologi. Jadi, masalah-masalah ini
harus terpecahkan terlebih dahulu sebelum dimulai perjalanan suluk,
sedangkan pengetahuan-pengetahuan intiusi berada pada tahap yang paling
akhir. Suluk, irfan, atau yang disebut tasawwuf hanya akan bisa dialami
oleh seseorang jika dia benar-benar ikhlas berusaha menempuh jalan Allah
SWT, dan usaha ini hanya bisa ditempuh oleh yang orang yang memiliki
pengetahuan sebelumnya tentang Allah dan jalan pengabdian
kepada-Nya.
Kesimpulan
Setelah
semua metode di atas terbukti tidak bisa difungsikan dalam penyelesaian
masalah-masalah prinsipal kosmologis, maka tinggallah satu jalan yang bisa
dijadikan alternatif, dan itu ialah jalan penalaran rasional. Dengan
begitu, maka kosmologi yang yang valid dan realistis ialah kosmologi
filosofis.
Sungguhpun demikian, ini bukan
berarti bahwa untuk menemukan kosmologi yang benar semua
persoalan-persoalan filosofis harus bisa dipecahkan. Sebaliknya,
pemecahan beberapa persoalan filosofis yang sederhana dan mendekati
aksiomatis sudah cukup untuk membuktikan keberadaan Tuhan yang merupakan
masalah yang paling fundamental dalam kosmologi. Selain itu,
menjadikan metode penalaran rasional (ta’aqqul) sebagai
satu-satunya alternatif bukan berarti bahwa metode-metode lain
tidak bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah-masalah kosmologis,
karena banyak sekali argumentasi-argumentasi rasional yang bisa
dikemukakan melalui premis-premis yang didapat dari ilmu-ilmu empiris dsb.
(Artikel ini disadur dari buku Amuzashe Aqaid yang ditulis Ayatullah
Misbah Yazdi untuk para pemula pelajar akidah.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar