Renungan Terbuka
“Yah… memang demikian” kata sang tokoh
tidak dapat menolak kata-kata Zaranggi. Karena ia sadar perbedaan
pendapat dalam banyak hal dalam Islam terjadi. Bahkan sampai kepada
saling syirik-menyirikkan atau sesat-menyesatkan. “Akan tetapi
(sambungnya) asal tidak bertentangan dengan Qur’an, kita dapat
mengambilnya. Lagi pula walaupun penentu utama keshalehan adalah batin,
akan tetapi hal itu dapat dipantau melalui amal-amal lahirnya. Dan
amal-amal lahir itu ibarat sinar matahari. Artinya karena sinar matahari
itu menunjukkan adanya matahari itu sendiri, maka amal-amal shaleh itu
dapat menunjukkan keimanan seseorang.”
Kini Zaranggi
betul-betul ingin membuktikan kebenaran Islam yang dibawa tokoh kita
ini. Maka dari itu, ia terus mendesak tokoh kita. ia berkata:
“Apa yang Tuan
sampaikan tidak dapat mengangkat kerelatifan dalam agama Islam yang
dipahami oleh umatnya. Dan tidak menutup kemungkinan akan adanya
penyelewengan-penyelewengan.”
“Kenapa
begitu?” Sergah tokoh kita yang sudah mulai tidak sabaran ini. Dan
segera ingin mengetahui alasan yang kelihatannya sengaja ditunda-tunda
oleh Zaranggi.
“Sebab pertama
(jawab Zaranggi) adalah, menurut saya dalam memahami kitab suci Tuan
tidak berbeda seperti memahami buku-buku atau kitab-kitab suci agama
lain. Yang saya maksudkan dalam artian kerelatifan dalam memahaminya.
Jadi, bisa saja satu hadits bertentangan dengan al-Qur’an menurut
sebagian orang dan tidak bertentangan menurut sebagian yang lain. Sebab kedua
adalah pemantauan terhadap batin melalui amal lahir sangat tidak
memadai. Sebab, tidak mungkin dalam pemantauan itu dapat dilakukan
sepanjang hidup mereka dan dalam segala keadaan mereka sebelum kemudian
hadits mereka dituliskan. Jadi, bisa saja mereka itu baik di pasar tapi
tidak baik di rumah. Atau baik kemarin tapi besok, minggu depan, bulan
depan, tahun depan, dan seterusnya atau tahun sebelumnya, mungkin
tergolong orang-orang yang tidak baik. Atau pemantau (penulis) hadits
itu sendiri bagaimana? Apakah mereka baik, jujur, dalam pekerjaan
mereka? Siapa yang menjamin mereka? Dan siapa yang menjamin orang yang
menjamin mereka itu dan seterusnya? Sebab ketiga adalah,
Anda mengatakan bahwa memantau batin melalui amal-amal lahir ibarat
memantau matahari lewat sinarnya. Padahal Anda juga mengatakan bahwa
munafik itu ada dan barangkali ia melakukan itu untuk merusak Islam dari
dalam. Kalau begitu sudah tentu para munafik itu selalu beramal baik
untuk menutupi niat buruknya. Sebab tak akan ada orang yang mengaku
pencuri ketika ia ingin mencuri. Sebab keempat adalah, Anda
tadi pernah menyebutkan istilah sahabat besar. Bagaimana kalau ada
hadits yang menyebutkan bahwa sebagian sahabat-sahabat besar atau sekian
ribu sahabat umpamanya, munafik? Apakah hadits itu dapat Anda katakan
bertentangan dengan al-Qur’an? Sebab Anda katakan tadi bahwa sebagian
orang-orang desa dan yang ada di sekeliling Nabi terdapat orang-orang
munafik, yang tidak diketahui oleh Nabi sekalipun. Sebab kelima
adalah, Anda mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh orang yang
tak baik atau shaleh, misalnya orang yang tidak shalat atau suka
berdusta, tidak bakalan diterima. Nah, kalau demikian halnya maka Anda
tidak akan menerima dari orang-orang yang suka membunuh bukan? Padahal
Anda sendiri pernah mengatakan kepada kami pada suatu hari bahwa setelah
Nabi wafat telah terjadi peristiwa yang sangat menyedihkan. Yaitu
adanya beberapa peperangan antara puluhan ribu sahabat dengan puluhan
ribu yang lainnya. Sedang perawi utama sebuah hadits adalah mereka.
Bagaimana Anda dapat mempertahankan konsep Anda?”
Tokoh kita sama
sekali tidak mengira dengan apa yang akan diucapkan oleh orang yang
bernama Zaranggi itu. ia salah tingkah, ia emosi dan tersinggung dengan
ceplas-ceplosnya pertanyaan Zaranggi yang mempermasalahkan dasar-dasar
nilai Islam yang tersebar. Dan yang lebih membuat tokoh kita itu seakan
ingin menampar orang yang di depannya itu adalah ketidaksungkanan
Zaranggi terhadap semua sahabat-sahabat Nabi yang diyakininya sebagai
penolong-penolong Islam, mujahid dan mendapat keridhaan Allah. Tapi di
lain pihak ia sadar bahwa ia tidak dapat melakukan apa-apa selain harus
berkonsentrasi terhadap pertanyaan Zaranggi. Sebab selain ia akan malu
sekali kalau mempertahankan Islam dengan otot dan paksaan juga dengan
kebodohan. ia melihat kejujuran dalam diri Zaranggi yang menurutnya ia
benar-benar ingin tahu agama Islam.
Tanpa ia
sadari, ia yang dulunya yakin berjalan di atas al-Qur’an, sekarang
merasa ragu. Pertanyaan Zaranggi itu benar-benar telah menyadarkannya
bahwa siapa tahu, barangkali selama ini ia berjalan di atas al-Qur’an
yang bukan al-Qur’an. Artinya, ia berjalan di atas al-Qur’an yang
relatif, yaitu al-Qur’an yang ia dan madzhabnya atau golongannya pahami.
Sebab, menurut kata hatinya, tidak mungkin al-Qur’an dengan al-Qur’an
menyesatkan. Apalagi saling menyuruh pengikutnya untuk berbunuh-bunuhan.
Padahal kenyataannya sesama kaum muslimin saling menyesatkan. Bahkan
muslimin gelombang pertama, yaitu sahabat Nabi, saling bertumpah darah
dalam beberapa peperangan sepeninggal Nabi.
Tak kalah
terperanjatnya hati sang tokoh ketika Zaranggi mempermasalahkan
keabsahan pemilihan keshalehan atau kejujuran dari seseorang yang
menjadi perawi suatu hadits. Untung ia mempunyai banyak pengetahuan
tentang hadits, sehingga ia dapat menerima yang dikatakannya itu. Sebab
kalau tidak, barangkali ia akan mengusir Zaranggi dari rumahnya. Tapi
karena ia tahu bahwa yang dikatakan Zaranggi itu memang masuk akal dan
merupakan salah satu kelemahan ilmu hadits, maka ia tidak melakukan
pekerjaan yang hina itu. Dan di samping itu, ia, sesuai dengan ilmunya
yang cukup lumayan tentang hadits itu, memang mengetahui bahwa dalam
menilai perawi hadits terdapat berpuluh-puluh perbedaan. Seorang penilai
perawi hadits yang bermadzhab tertentu akan melemahkan seorang perawi
hadits yang bermadzhab lain. Apalagi penilaian terhadap seorang perawi
hadits tidak mungkin sempurna. Sebab, umur seorang penulis hadits atau
umur penilai perawi hadits tidak akan cukup untuk digunakan meneliti
seorang saja dari sekian perawi dari sebuah hadits. Apalagi untuk
meneliti semua perawi hadits yang berjumlah ribuan atau bahkan puluhan
ribu.
Sahabat. ia
sadar. Sekali lagi ia sadar dan baru sadar. Selama ini, selama ia
belajar hadits, selama ia meneliti dengan seksama perawi-perawi suatu
hadits memang ia mengenal suatu kaum perawi yang kebal terhadap
penelitian. Bahkan tidak boleh diteliti. Semua perawi hadits diteliti
dengan seksama. Tapi kalau sudah sampai ke kaum itu, kaum yang menukil
langsung dari Rasulullah, mikroskop yang digunakan para ahli peneliti
perawi hadits menjadi pecah berantakan. Sebab, teropong itu tidak mampu
meneropong kaum yang penuh fadhilah itu. Dan kini, ketika ia berhadapan
dengan orang yang masih suci pikiran dari aliran-aliran Islam, karena ia
memang masih kafir, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Namun ia agak
berlega hati karena ia ingat suatu ayat dalam surat al-Taubah ayat 100.
Oleh sebab itu, sembari menarik napas sedikit lega ia berharap akan
mampu menyelamatkan salah satu khazanah Islam. Yaitu mengenai sahabat.
Sebab, rasa-rasanya ia tidak mampu menjawab tuduhan Zaranggi yang
merelatifkan Islam yang dipahami umat. Bukan Islam sebagaimana ia. Maka
dengan lirih tapi dengan penuh rasa tanggung jawab ia berucap:
“Tuan Zaranggi!
Saya merasa kagum terhadap pertanyaan-pertanyaan Tuan. Dan saya sadar
akan keterbatasan atau, barangkali tepatnya, atas kesalahan saya dalam
memilih alur pemikiran Islam dari alur-alur yang ada. Memang Nabi telah
mengisyaratkan akan adanya jalur-jalur yang banyak, sedangkan yang benar
hanya satu. Saya berjanji akan memperdalam lagi dan akan kembali ke
sini untuk mempertanggungjawabkan pekerjaan saya ini suatu hari, insya
Allah. Dan untuk ini, saya minta maaf yang sebesar-besarnya.”
Orang-orang
terperangah. Orang yang selama ini mereka kenal sebagai orang yang
cekatan dalam menjawab berbagai pertanyaan yang menyangkut Islam, kini
tersimpuh lemah di hadapan Zaranggi. Zaranggi tak bisa dipersalahkan
walaupun ia, yang berbekal sedikit filsafat itu, mempertanyakan hal-hal
yang sangat mendasar dalam Islam. ia tidak bertanya apa dan bagaimana
keadilan, sosial, kemanusiaan, peranan kaum pria dan wanita dalam
masyarakat dan semacamnya menurut Islam. Bahkan dengan apa Islam
memAndang semua itu yang biasanya bagi seorang Islam yang segolongan
dengan tokoh kita ini, pertanyaan semacam itu adalah pertanyaan yang
tabu untuk mereka tanyakan.
“Namun (lanjut
sang tokoh) mengenai sahabat Nabi yang mana mereka dalam kaitannya
dengan hadits Islam merupakan mata rantai pertama dalam susunan
perawi-perawi hadits, adalah merupakan suatu kaum yang telah mendapat
keridhaan Allah. Hal mana terdapat dalam firman-Nya dalam surat
al-Taubah ayat 100, yang artinya,
“Mereka para
pendahulu dari kaum muhajirin dan anshar, dan yang mengikuti mereka
dengan sebaik-baiknya maka mereka diridhai Allah dan mereka juga ridha
terhadap-Nya.” (Q.S. al-Taubah : 100)
Jadi, dengan
ayat ini posisi mereka di dalam Islam adalah sangat terhormat. Dengan
jasa mereka pulalah Islam sampai kepada kita, maka umat Islam harus
berterima kasih terhadap mereka, bukan malah mempertanyakan keadaan
mereka.”
Setelah selesai
sang tokoh menyampaikan rasa penyesalan dan maafnya, hal mana sangat
dikagumi oleh Zaranggi atas keterbukaan dan kejujurannya itu, walaupun
di sisi lain Zaranggi belum puas karena ternyata yang selama ini ia
ingin ketahui dari agama Islam, tidak mendapatkan jawaban yang
memuaskan. Sebab Zaranggi sendiri mengira bahwa Islam sangat dapat
diAndalkan. Hal itu ia ketahui karena beberapa filosof besar dari
kalangan kaum muslimin. Tapi Zaranggi tidak menyadari bahwa tokoh kita
ini adalah termasuk dari golongan orang-orang yang melarang menggunakan
akal dalam agama. Alias suatu golongan yang kembali pada al-Qur’an dan
al-Hadits secara leterlek. Artinya tidak membolehkan akal untuk menakwil
suatu ayat atau hadits. Bahkan orang-orang yang suka menakwil dikatakan
oleh mereka sebagai orang-orang yang sakit. Karena, katanya, mereka
mengikuti yang mutasyabihat.
“Terima kasih
atas janji dan kesediaan Tuan dalam menjanjikan jawaban untuk kami (kata
Zaranggi). Sekali lagi terima kasih. Dan saya pribadi kagum terhadap
kejujuran dan keterbukaan serta penghormatan Anda pada norma-norma
ilmiah, dan tidak menjadi marah kepada saya sebagaimana pernah saya
alami sebelumnya.”
Memang, karena
pertanyaan Zaranggi yang kelihatannya kurang sopan terhadap Islam dan
tokoh-tokoh Islam, walaupun sebenarnya pertanyaan-pertanyaan itu
mengandung kejujuran seorang pencari kebenaran hakiki, pada suatu hari
ia pernah dimarahi oleh seorang tokoh lain yang memang sudah mulai
kepepet dengan pertanyaan-pertanyaan Zaranggi.
Dari
gelagatnya, jawaban terakhir tokoh kita ini, bagi Zaranggi adalah
merupakan jawaban yang asal comot saja, tanpa dipikir lebih jauh. ia
dapat memperkirakan bahwa pertanyaannya yang berikut akan membuat tokoh
kita ini tidak dapat menjawab lagi. “Namun (kata Zaranggi dalam hati)
biar ia cari nanti jawabannya dan kemudian ia memberikan jawabannya
kepada saya. Toh ia bersedia untuk itu. Dan saya akan mendapat kepuasan
dalam menatap agama Islam.” Karena pikirannya itu, Zaranggi memohon
supaya ia dapat menanyakan beberapa hal lagi. Maka dari itu ia
melanjutkan perkataannya:
“Tuan! Bolehkan saya meneruskan pertanyaan saya dalam diskusi ini Tuan?”
“Yah… boleh saja Tuan Zaranggi. Apa itu?” kata sang tokoh.
“Begini Tuan
(kata Zaranggi yang kemudian ia teruskan) Tuan tadi mengatakan bahwa
sahabat-sahabat Nabi dan yang mengikuti mereka itu telah mendapat ridha
Tuhan sesuai dengan ayat yang Tuan bawakan tadi. Akan tetapi di sini ada
keganjilannya Tuan.”
“Apa
keganjilannya Tuan Zaranggi?” Sang tokoh mulai penasaran lagi. Sebab
permasalahan itu adalah satu-satunya permasalahan yang ia yakini dapat
mempertahankannya. Tapi ternyata, lagi-lagi masih saja dipertanyakan
kebenarannya. Maka, ia benar-benar memperhatikan apa-apa yang dijadikan
alasan Zaranggi ketika ia berucap:
“Eee… sebelum
saya ajukan alasan-alasan, ada yang ingin saya sampaikan. Yaitu
seandainya saya seorang muslim maka selayaknyalah saya berterima kasih
kepada generasi Islam pertama. Yaitu yang dikatakan sahabat-sahabat Nabi
itu. Tapi karena saya belum mengimani agama Islam saya berhak bertanya
mengenai mutu mereka itu. Bahkan saya rasa, saya wajib
mempertanyakannya. Sebab Islam yang ada ini tidak bisa tidak akan
dicoraki oleh mutu mereka. Sebab dari merekalah generasi penerus
memahami Islam. Maka dari itu kecerdasan, kejujuran dan lain-lainnya
dari setiap individu mereka sangat menentukan kemurnian Islam di masa
datang .setelah mereka. Barangkali hal mereka sudah berlalu, tapi justru
karena keberlaluan mereka itulah mereka harus dinilai karena
sebab-sebab tadi. Dan bagi saya amatlah janggal untuk menyamaratakan
kedudukan mereka. Sebab selama ini belum ada suatu umat yang tidak ada
pencurinya, orang-orang jahatnya atau orang-orang bodohnya sekalipun
baik. Bahkan biasanya yang paling banyak adalah orang-orang yang bukan
intelek. Dan justru dari Tuan dan kitab Tuan sendiri saya dapat
mengatakan bahwa sahabat-sahabat Nabi Tuan tidak berbeda dengan
umat-umat yang lain dari segi adanya orang-orang yang tidak baik dalam
lingkungannya.”
“Apa yang Anda
ketahui dari saya dan kitab saya?” Potong tokoh kita yang semakin tidak
sabaran ini. Sambil mencari-cari gerangan apa yang telah dikatakannya,
sebagaimana disinggung Zaranggi tadi.
“Alasan pertama
(kata Zaranggi), Anda tadi menukil beberapa ayat yang intinya
menyatakan dan memberitahukan kepada Nabi bahwa di sekeliling beliau ada
orang-orang munafik, yaitu orang-orang yang sama-sama melakukan apa
yang mesti dilakukan oleh orang-orang muslim. Dan karena Nabi dalam ayat
itu, tidak mengetahui siapa mereka, apalagi orang-orang muslim yang
lain. Dan dari ayat itu juga bisa diambil pengertian bahwa orang-orang
munafik itu begitu taat dan shalehnya sehingga Nabi sendiri tidak dapat
membaca mereka. Barangkali karena kecanggihan mereka itulah ayat-ayat
yang Anda nukil tadi mengatakan bahwa mereka sangat keterlaluan dalam
kemunafikan mereka. Alasan kedua adalah, dalam kenyataan
sejarah Islam yang menyedihkan, kata Anda, adalah adanya beberapa
peperangan yang terjadi di kalangan sahabat-sahabat Nabi sepeninggal
beliau. Dan sudah tentu ratusan atau ribuan korban telah jatuh dalam
kejadian-kejadian itu. Menurut saya, mustahil golongan yang sama-sama
benar, berperang. Dan kalau logika saya ini masuk, maka setiap dua
golongan yang bertikai (bertentangan) mestilah yang satu dari mereka
salah, atau semuanya salah. Sebab sesama golongan sesat bisa saja
berperang. Dan peperangan itu, kata Anda, telah terjadi dalam beberapa
kali. Kalau demikian halnya maka Islam ini telah ditransfer oleh
orang-orang yang sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebab
mereka bukan lagi pencuri, pembohong atau orang-orang yang makan berdiri
dan semacamnya, sehingga hadits mereka adalah lemah atau tertolak. Akan
tetapi mereka adalah pembunuh. Dan bahkan mereka adalah pembunuh yang
membanggakan diri. Sebab dalam peperangan apapun, membunuh adalah salah
satu kemenangan yang membanggakan. Kalau yang membawa Islam pertama kali
sedemikian keadaannya maka seshaleh apapun perawi berikutnya masih
sulit untuk diterima kebenarannya. Apalagi sudah saya katakan bahwa
perawi-perawi berikutnya pun tidak dapat dikatakan shaleh dengan
sebenar-benarnya–seratus persen–sebab sebagai-mana maklum, kata agama
Anda, yang tahu masalah lahir dan batin adalah hanya Tuhan.
Dengan dua
dalil ini saja, kalau agama Anda dan kitab Anda benar, maka barangkali
ada suatu pemahaman lain tentang ayat yang Anda nukil tadi, yaitu yang
mengatakan bahwa mereka atau para sahabat itu telah diridhai Tuhan.”
Kepepet! Wah tokoh kita kepepet lagi, dan tak bisa berkata apa-apa. Karena ia terdiam, maka Zaranggi meneruskan kata-katanya.
“Tuan! Ada satu
lagi, tapi sebelum saya utarakan apakah Tuan tidak marah kalau saya,
dari kata-kata Anda, mengajukan suatu keganjilan yang dilakukan sahabat
besar seperti yang Anda ucapkan?” Sejenak Zaranggi berhenti dan ia
menunggu jawaban sang tokoh yang walaupun agak terlambat, akhirnya ia
mempersilahkan.
“Silahkan saja
Tuan Zaranggi!” kata sang tokoh yang sedikit tersendat. Zaranggi tak
perduli lagi, dia terus saja nyelonong dengan iskal-iskalnya
(Pertanyaan-pertanyaan).
“Baik, terima
kasih. Sebenarnya keganjilan itu ada di antara dua alternatif. Kesalahan
Anda dalam memantau sejarah al-Qur’an, atau memang, seperti yang saya
ucapkan, adalah suatu keganjilan yang dilakukan sahabat Nabi.”
“Eh… maaf (potong sang tokoh), coba Anda terangkan secara lebih jelas, apa maksud Anda sebenarnya.”
“Begini Tuan (jawab Zaranggi) Anda mengatakan bahwa Islam berdasarkan al-Qur’an dan hadits Nabi. Bukankah begitu?”
“Benar” jawab tokoh kita.
“Akan tetapi
(lanjut Zaranggi), ketika saya tanyakan kepada Anda apa al-Qur’an itu,
Anda mengatakan bahwa ia adalah kumpulan firman-firman Tuhan yang
diwahyukan kepada Nabi dan disusun oleh–atau disusun atas ide–Utsman bin
Affan sebagai salah satu sahabat besar. Bukankah begitu?”
“Benar” kata sang tokoh membenarkan.
“Nah, sekarang saya mau bertanya. Apakah Nabi tidak menyusunnya?” tanya Zaranggi.
“Tidak” kata
sang tokoh. Dan ia tak mungkin menjawab bahwa Nabi telah menyusunnya.
Sebab, yang ia kenal al-Qur’an yang ada sekarang ini adalah mushhaf
Utsmani bukan mushhaf Muhammadi.
“Nah kalau
begitu, yakni kalau Nabi tidak mengumpulkan, berarti salah satu dasar
dari agama Islam, yakni hadits, tidak menyuruh untuk menyusunnya. Lalu
kenapa sahabat besar beliau menyusunnya? Bukankah hal itu bertentangan
dengan sunnah sendiri? Dan juga bahkan bertentangan dengan kehendak
Tuhan. Sebab ketika Nabi tidak menyusunnya berarti tak ada perintah dari
Tuhan, sebab Nabi adalah duta (wakil/utusan) Tuhan?”
“Oh… tidak, tidak, tidak Tuan Zaranggi, tidak demikian permasalahannya” sergah tokoh kita.
“Kenapa?” tanya Zaranggi.
“Sebab, hal itu baik dan tak ada larangannya” jawab sang tokoh pendek.
“Tapi kan tak ada dalil bolehnya Tuan?” Zaranggi mendesak terus.
“Walhasil baik
dan tak ada larangannya” jawab sang tokoh. Memang tokoh kita ini akan
menjawab ada. Sebab dia teringat sebuah hadits yang menyuruh kaum
muslimin mengikuti sunnah Nabi dan para Khulafa’u al-Rasyidin. Akan
tetapi terpikir olehnya sendiri bahwa hal itu tidak mungkin, sebab akan
ada sesuatu selain al-Qur’an dan Hadits, sebagai dasar Islam. Yang tentu
akan dijadikan masalah oleh Zaranggi, yaitu soal Khulafa’u al-Rasyidin
itu. Lebih-lebih sekarang ia dipertemukan kepada dua perbuatan yang
berbeda yang datang dari Nabi dan Khulafa’u al-Rasyidin.
“Bukan begitu
Tuan (kata Zaranggi), di sini saya melihat suatu keanehan. Sebab bagi
pengertian saya, yang namanya kitab suci, tidak mungkin tidak tersusun
dan tetap berserakan di antara dedaunan, kulit-kulit kayu atau tulang.”
“Yah… barangkali Nabi belum sempat menyusunnya” sang tokoh beralasan dengan sedikit ragu terhadap jawabannya itu.
“Sebenarnya
saya tidak berhak untuk mempermasalahkan agama Tuan. Mau benar atau
tidak. Akan tetapi semua yang saya lakukan ini adalah semata-mata saya
ingin tahu kebenaran agama Tuan. Jadi maaf, kalau dari pertanyaan saya
ini terkesan kurang sopan terhadap agama Tuan.” Kembali Zaranggi
menjelaskan maksud baiknya. Sebab, dia khawatir sang tokoh di depannya
akan mulai tidak sabaran dan mengusirnya, seperti yang ia alami beberapa
tahun yang lalu.
“Oh… tidak
apa-apa, itu biasa dan orang yang ingin tahu Islam mestilah ia
menanyakannya secara tuntas” kata sang tokoh membesarkan hati sambil
memberikan gambaran bahwa Islam bukanlah agama yang asal paksa. ia
adalah agama besar dan suci. Yah… tapi malang sang tokoh tak dapat
membuktikan semua itu pada Zaranggi.
“Bolehkah saya lanjutkan pertanyaan saya sedikit lagi Tuan?” pinta Zaranggi.
“Ya, ya, silahkan” sang tokoh mempersilahkan.
“Begini Tuan
(jelas Zaranggi), bagi pengertian saya, seorang Nabi pun tidak berhak
untuk menyusun kitab suci semaunya sendiri. Kalau al-Qur’an itu memang
benar dari Tuhan, maka siapa pun tidak boleh ikut campur dalam urusan
itu. Lalu mengapa Anda katakan bahwa barangkali Nabi belum sempat?”
[bersambung...]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar