Pembicaraan tidak selalu ber arti pemahaman antara dua jiwa Kata-kata yang berasal dari bibir-bibir dan lidah-lidah tidak selalu bisa membawa sepasang hati bersama Ada sesuatu yang lebih agung dan lebih murni dari apa yang diutarakan mulut.

Minggu, Juli 29, 2012

Zaranggi [Part. III]



Renungan Terbuka

“Yah… memang demikian” kata sang tokoh tidak dapat menolak kata-kata Zaranggi. Karena ia sadar perbedaan pendapat dalam banyak hal dalam Islam terjadi. Bahkan sampai kepada saling syirik-menyirikkan atau sesat-menyesatkan. “Akan tetapi (sambungnya) asal tidak bertentangan dengan Qur’an, kita dapat mengambilnya. Lagi pula walaupun penentu utama keshalehan adalah batin, akan tetapi hal itu dapat dipantau melalui amal-amal lahirnya. Dan amal-amal lahir itu ibarat sinar matahari. Artinya karena sinar matahari itu menunjukkan adanya matahari itu sendiri, maka amal-amal shaleh itu dapat menunjukkan keimanan seseorang.”

Kini Zaranggi betul-betul ingin membuktikan kebenaran Islam yang dibawa tokoh kita ini. Maka dari itu, ia terus mendesak tokoh kita. ia berkata:
“Apa yang Tuan sampaikan tidak dapat mengangkat kerelatifan dalam agama Islam yang dipahami oleh umatnya. Dan tidak menutup kemungkinan akan adanya penyelewengan-penyelewengan.”
“Kenapa begitu?” Sergah tokoh kita yang sudah mulai tidak sabaran ini. Dan segera ingin mengetahui alasan yang kelihatannya sengaja ditunda-tunda oleh Zaranggi.
“Sebab pertama (jawab Zaranggi) adalah, menurut saya dalam memahami kitab suci Tuan tidak berbeda seperti memahami buku-buku atau kitab-kitab suci agama lain. Yang saya maksudkan dalam artian kerelatifan dalam memahaminya. Jadi, bisa saja satu hadits bertentangan dengan al-Qur’an menurut sebagian orang dan tidak bertentangan menurut sebagian yang lain. Sebab kedua adalah pemantauan terhadap batin melalui amal lahir sangat tidak memadai. Sebab, tidak mungkin dalam pemantauan itu dapat dilakukan sepanjang hidup mereka dan dalam segala keadaan mereka sebelum kemudian hadits mereka dituliskan. Jadi, bisa saja mereka itu baik di pasar tapi tidak baik di rumah. Atau baik kemarin tapi besok, minggu depan, bulan depan, tahun depan, dan seterusnya atau tahun sebelumnya, mungkin tergolong orang-orang yang tidak baik. Atau pemantau (penulis) hadits itu sendiri bagaimana? Apakah mereka baik, jujur, dalam pekerjaan mereka? Siapa yang menjamin mereka? Dan siapa yang menjamin orang yang menjamin mereka itu dan seterusnya? Sebab ketiga adalah, Anda mengatakan bahwa memantau batin melalui amal-amal lahir ibarat memantau matahari lewat sinarnya. Padahal Anda juga mengatakan bahwa munafik itu ada dan barangkali ia melakukan itu untuk merusak Islam dari dalam. Kalau begitu sudah tentu para munafik itu selalu beramal baik untuk menutupi niat buruknya. Sebab tak akan ada orang yang mengaku pencuri ketika ia ingin mencuri. Sebab keempat adalah, Anda tadi pernah menyebutkan istilah sahabat besar. Bagaimana kalau ada hadits yang menyebutkan bahwa sebagian sahabat-sahabat besar atau sekian ribu sahabat umpamanya, munafik? Apakah hadits itu dapat Anda katakan bertentangan dengan al-Qur’an? Sebab Anda katakan tadi bahwa sebagian orang-orang desa dan yang ada di sekeliling Nabi terdapat orang-orang munafik, yang tidak diketahui oleh Nabi sekalipun. Sebab kelima adalah, Anda mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tak baik atau shaleh, misalnya orang yang tidak shalat atau suka berdusta, tidak bakalan diterima. Nah, kalau demikian halnya maka Anda tidak akan menerima dari orang-orang yang suka membunuh bukan? Padahal Anda sendiri pernah mengatakan kepada kami pada suatu hari bahwa setelah Nabi wafat telah terjadi peristiwa yang sangat menyedihkan. Yaitu adanya beberapa peperangan antara puluhan ribu sahabat dengan puluhan ribu yang lainnya. Sedang perawi utama sebuah hadits adalah mereka. Bagaimana Anda dapat mempertahankan konsep Anda?”
Tokoh kita sama sekali tidak mengira dengan apa yang akan diucapkan oleh orang yang bernama Zaranggi itu. ia salah tingkah, ia emosi dan tersinggung dengan ceplas-ceplosnya pertanyaan Zaranggi yang mempermasalahkan dasar-dasar nilai Islam yang tersebar. Dan yang lebih membuat tokoh kita itu seakan ingin menampar orang yang di depannya itu adalah ketidaksungkanan Zaranggi terhadap semua sahabat-sahabat Nabi yang diyakininya sebagai penolong-penolong Islam, mujahid dan mendapat keridhaan Allah. Tapi di lain pihak ia sadar bahwa ia tidak dapat melakukan apa-apa selain harus berkonsentrasi terhadap pertanyaan Zaranggi. Sebab selain ia akan malu sekali kalau mempertahankan Islam dengan otot dan paksaan juga dengan kebodohan. ia melihat kejujuran dalam diri Zaranggi yang menurutnya ia benar-benar ingin tahu agama Islam.
Tanpa ia sadari, ia yang dulunya yakin berjalan di atas al-Qur’an, sekarang merasa ragu. Pertanyaan Zaranggi itu benar-benar telah menyadarkannya bahwa siapa tahu, barangkali selama ini ia berjalan di atas al-Qur’an yang bukan al-Qur’an. Artinya, ia berjalan di atas al-Qur’an yang relatif, yaitu al-Qur’an yang ia dan madzhabnya atau golongannya pahami. Sebab, menurut kata hatinya, tidak mungkin al-Qur’an dengan al-Qur’an menyesatkan. Apalagi saling menyuruh pengikutnya untuk berbunuh-bunuhan. Padahal kenyataannya sesama kaum muslimin saling menyesatkan. Bahkan muslimin gelombang pertama, yaitu sahabat Nabi, saling bertumpah darah dalam beberapa peperangan sepeninggal Nabi.
Tak kalah terperanjatnya hati sang tokoh ketika Zaranggi mempermasalahkan keabsahan pemilihan keshalehan atau kejujuran dari seseorang yang menjadi perawi suatu hadits. Untung ia mempunyai banyak pengetahuan tentang hadits, sehingga ia dapat menerima yang dikatakannya itu. Sebab kalau tidak, barangkali ia akan mengusir Zaranggi dari rumahnya. Tapi karena ia tahu bahwa yang dikatakan Zaranggi itu memang masuk akal dan merupakan salah satu kelemahan ilmu hadits, maka ia tidak melakukan pekerjaan yang hina itu. Dan di samping itu, ia, sesuai dengan ilmunya yang cukup lumayan tentang hadits itu, memang mengetahui bahwa dalam menilai perawi hadits terdapat berpuluh-puluh perbedaan. Seorang penilai perawi hadits yang bermadzhab tertentu akan melemahkan seorang perawi hadits yang bermadzhab lain. Apalagi penilaian terhadap seorang perawi hadits tidak mungkin sempurna. Sebab, umur seorang penulis hadits atau umur penilai perawi hadits tidak akan cukup untuk digunakan meneliti seorang saja dari sekian perawi dari sebuah hadits. Apalagi untuk meneliti semua perawi hadits yang berjumlah ribuan atau bahkan puluhan ribu.
Sahabat. ia sadar. Sekali lagi ia sadar dan baru sadar. Selama ini, selama ia belajar hadits, selama ia meneliti dengan seksama perawi-perawi suatu hadits memang ia mengenal suatu kaum perawi yang kebal terhadap penelitian. Bahkan tidak boleh diteliti. Semua perawi hadits diteliti dengan seksama. Tapi kalau sudah sampai ke kaum itu, kaum yang menukil langsung dari Rasulullah, mikroskop yang digunakan para ahli peneliti perawi hadits menjadi pecah berantakan. Sebab, teropong itu tidak mampu meneropong kaum yang penuh fadhilah itu. Dan kini, ketika ia berhadapan dengan orang yang masih suci pikiran dari aliran-aliran Islam, karena ia memang masih kafir, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Namun ia agak berlega hati karena ia ingat suatu ayat dalam surat al-Taubah ayat 100. Oleh sebab itu, sembari menarik napas sedikit lega ia berharap akan mampu menyelamatkan salah satu khazanah Islam. Yaitu mengenai sahabat. Sebab, rasa-rasanya ia tidak mampu menjawab tuduhan Zaranggi yang merelatifkan Islam yang dipahami umat. Bukan Islam sebagaimana ia. Maka dengan lirih tapi dengan penuh rasa tanggung jawab ia berucap:
“Tuan Zaranggi! Saya merasa kagum terhadap pertanyaan-pertanyaan Tuan. Dan saya sadar akan keterbatasan atau, barangkali tepatnya, atas kesalahan saya dalam memilih alur pemikiran Islam dari alur-alur yang ada. Memang Nabi telah mengisyaratkan akan adanya jalur-jalur yang banyak, sedangkan yang benar hanya satu. Saya berjanji akan memperdalam lagi dan akan kembali ke sini untuk mempertanggungjawabkan pekerjaan saya ini suatu hari, insya Allah. Dan untuk ini, saya minta maaf yang sebesar-besarnya.”
Orang-orang terperangah. Orang yang selama ini mereka kenal sebagai orang yang cekatan dalam menjawab berbagai pertanyaan yang menyangkut Islam, kini tersimpuh lemah di hadapan Zaranggi. Zaranggi tak bisa dipersalahkan walaupun ia, yang berbekal sedikit filsafat itu, mempertanyakan hal-hal yang sangat mendasar dalam Islam. ia tidak bertanya apa dan bagaimana keadilan, sosial, kemanusiaan, peranan kaum pria dan wanita dalam masyarakat dan semacamnya menurut Islam. Bahkan dengan apa Islam memAndang semua itu yang biasanya bagi seorang Islam yang segolongan dengan tokoh kita ini, pertanyaan semacam itu adalah pertanyaan yang tabu untuk mereka tanyakan.
“Namun (lanjut sang tokoh) mengenai sahabat Nabi yang mana mereka dalam kaitannya dengan hadits Islam merupakan mata rantai pertama dalam susunan perawi-perawi hadits, adalah merupakan suatu kaum yang telah mendapat keridhaan Allah. Hal mana terdapat dalam firman-Nya dalam surat al-Taubah ayat 100, yang artinya,
“Mereka para pendahulu dari kaum muhajirin dan anshar, dan yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya maka mereka diridhai Allah dan mereka juga ridha terhadap-Nya.” (Q.S. al-Taubah : 100)
Jadi, dengan ayat ini posisi mereka di dalam Islam adalah sangat terhormat. Dengan jasa mereka pulalah Islam sampai kepada kita, maka umat Islam harus berterima kasih terhadap mereka, bukan malah mempertanyakan keadaan mereka.
Setelah selesai sang tokoh menyampaikan rasa penyesalan dan maafnya, hal mana sangat dikagumi oleh Zaranggi atas keterbukaan dan kejujurannya itu, walaupun di sisi lain Zaranggi belum puas karena ternyata yang selama ini ia ingin ketahui dari agama Islam, tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Sebab Zaranggi sendiri mengira bahwa Islam sangat dapat diAndalkan. Hal itu ia ketahui karena beberapa filosof besar dari kalangan kaum muslimin. Tapi Zaranggi tidak menyadari bahwa tokoh kita ini adalah termasuk dari golongan orang-orang yang melarang menggunakan akal dalam agama. Alias suatu golongan yang kembali pada al-Qur’an dan al-Hadits secara leterlek. Artinya tidak membolehkan akal untuk menakwil suatu ayat atau hadits. Bahkan orang-orang yang suka menakwil dikatakan oleh mereka sebagai orang-orang yang sakit. Karena, katanya, mereka mengikuti yang mutasyabihat.
“Terima kasih atas janji dan kesediaan Tuan dalam menjanjikan jawaban untuk kami (kata Zaranggi). Sekali lagi terima kasih. Dan saya pribadi kagum terhadap kejujuran dan keterbukaan serta penghormatan Anda pada norma-norma ilmiah, dan tidak menjadi marah kepada saya sebagaimana pernah saya alami sebelumnya.”
Memang, karena pertanyaan Zaranggi yang kelihatannya kurang sopan terhadap Islam dan tokoh-tokoh Islam, walaupun sebenarnya pertanyaan-pertanyaan itu mengandung kejujuran seorang pencari kebenaran hakiki, pada suatu hari ia pernah dimarahi oleh seorang tokoh lain yang memang sudah mulai kepepet dengan pertanyaan-pertanyaan Zaranggi.
Dari gelagatnya, jawaban terakhir tokoh kita ini, bagi Zaranggi adalah merupakan jawaban yang asal comot saja, tanpa dipikir lebih jauh. ia dapat memperkirakan bahwa pertanyaannya yang berikut akan membuat tokoh kita ini tidak dapat menjawab lagi. “Namun (kata Zaranggi dalam hati) biar ia cari nanti jawabannya dan kemudian ia memberikan jawabannya kepada saya. Toh ia bersedia untuk itu. Dan saya akan mendapat kepuasan dalam menatap agama Islam.” Karena pikirannya itu, Zaranggi memohon supaya ia dapat menanyakan beberapa hal lagi. Maka dari itu ia melanjutkan perkataannya:
“Tuan! Bolehkan saya meneruskan pertanyaan saya dalam diskusi ini Tuan?”
“Yah… boleh saja Tuan Zaranggi. Apa itu?” kata sang tokoh.
“Begini Tuan (kata Zaranggi yang kemudian ia teruskan) Tuan tadi mengatakan bahwa sahabat-sahabat Nabi dan yang mengikuti mereka itu telah mendapat ridha Tuhan sesuai dengan ayat yang Tuan bawakan tadi. Akan tetapi di sini ada keganjilannya Tuan.”
“Apa keganjilannya Tuan Zaranggi?” Sang tokoh mulai penasaran lagi. Sebab permasalahan itu adalah satu-satunya permasalahan yang ia yakini dapat mempertahankannya. Tapi ternyata, lagi-lagi masih saja dipertanyakan kebenarannya. Maka, ia benar-benar memperhatikan apa-apa yang dijadikan alasan Zaranggi ketika ia berucap:
“Eee… sebelum saya ajukan alasan-alasan, ada yang ingin saya sampaikan. Yaitu seandainya saya seorang muslim maka selayaknyalah saya berterima kasih kepada generasi Islam pertama. Yaitu yang dikatakan sahabat-sahabat Nabi itu. Tapi karena saya belum mengimani agama Islam saya berhak bertanya mengenai mutu mereka itu. Bahkan saya rasa, saya wajib mempertanyakannya. Sebab Islam yang ada ini tidak bisa tidak akan dicoraki oleh mutu mereka. Sebab dari merekalah generasi penerus memahami Islam. Maka dari itu kecerdasan, kejujuran dan lain-lainnya dari setiap individu mereka sangat menentukan kemurnian Islam di masa datang .setelah mereka. Barangkali hal mereka sudah berlalu, tapi justru karena keberlaluan mereka itulah mereka harus dinilai karena sebab-sebab tadi. Dan bagi saya amatlah janggal untuk menyamaratakan kedudukan mereka. Sebab selama ini belum ada suatu umat yang tidak ada pencurinya, orang-orang jahatnya atau orang-orang bodohnya sekalipun baik. Bahkan biasanya yang paling banyak adalah orang-orang yang bukan intelek. Dan justru dari Tuan dan kitab Tuan sendiri saya dapat mengatakan bahwa sahabat-sahabat Nabi Tuan tidak berbeda dengan umat-umat yang lain dari segi adanya orang-orang yang tidak baik dalam lingkungannya.”
“Apa yang Anda ketahui dari saya dan kitab saya?” Potong tokoh kita yang semakin tidak sabaran ini. Sambil mencari-cari gerangan apa yang telah dikatakannya, sebagaimana disinggung Zaranggi tadi.
“Alasan pertama (kata Zaranggi), Anda tadi menukil beberapa ayat yang intinya menyatakan dan memberitahukan kepada Nabi bahwa di sekeliling beliau ada orang-orang munafik, yaitu orang-orang yang sama-sama melakukan apa yang mesti dilakukan oleh orang-orang muslim. Dan karena Nabi dalam ayat itu, tidak mengetahui siapa mereka, apalagi orang-orang muslim yang lain. Dan dari ayat itu juga bisa diambil pengertian bahwa orang-orang munafik itu begitu taat dan shalehnya sehingga Nabi sendiri tidak dapat membaca mereka. Barangkali karena kecanggihan mereka itulah ayat-ayat yang Anda nukil tadi mengatakan bahwa mereka sangat keterlaluan dalam kemunafikan mereka. Alasan kedua adalah, dalam kenyataan sejarah Islam yang menyedihkan, kata Anda, adalah adanya beberapa peperangan yang terjadi di kalangan sahabat-sahabat Nabi sepeninggal beliau. Dan sudah tentu ratusan atau ribuan korban telah jatuh dalam kejadian-kejadian itu. Menurut saya, mustahil golongan yang sama-sama benar, berperang. Dan kalau logika saya ini masuk, maka setiap dua golongan yang bertikai (bertentangan) mestilah yang satu dari mereka salah, atau semuanya salah. Sebab sesama golongan sesat bisa saja berperang. Dan peperangan itu, kata Anda, telah terjadi dalam beberapa kali. Kalau demikian halnya maka Islam ini telah ditransfer oleh orang-orang yang sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebab mereka bukan lagi pencuri, pembohong atau orang-orang yang makan berdiri dan semacamnya, sehingga hadits mereka adalah lemah atau tertolak. Akan tetapi mereka adalah pembunuh. Dan bahkan mereka adalah pembunuh yang membanggakan diri. Sebab dalam peperangan apapun, membunuh adalah salah satu kemenangan yang membanggakan. Kalau yang membawa Islam pertama kali sedemikian keadaannya maka seshaleh apapun perawi berikutnya masih sulit untuk diterima kebenarannya. Apalagi sudah saya katakan bahwa perawi-perawi berikutnya pun tidak dapat dikatakan shaleh dengan sebenar-benarnya–seratus persen–sebab sebagai-mana maklum, kata agama Anda, yang tahu masalah lahir dan batin adalah hanya Tuhan.
Dengan dua dalil ini saja, kalau agama Anda dan kitab Anda benar, maka barangkali ada suatu pemahaman lain tentang ayat yang Anda nukil tadi, yaitu yang mengatakan bahwa mereka atau para sahabat itu telah diridhai Tuhan.”
Kepepet! Wah tokoh kita kepepet lagi, dan tak bisa berkata apa-apa. Karena ia terdiam, maka Zaranggi meneruskan kata-katanya.
“Tuan! Ada satu lagi, tapi sebelum saya utarakan apakah Tuan tidak marah kalau saya, dari kata-kata Anda, mengajukan suatu keganjilan yang dilakukan sahabat besar seperti yang Anda ucapkan?” Sejenak Zaranggi berhenti dan ia menunggu jawaban sang tokoh yang walaupun agak terlambat, akhirnya ia mempersilahkan.
“Silahkan saja Tuan Zaranggi!” kata sang tokoh yang sedikit tersendat. Zaranggi tak perduli lagi, dia terus saja nyelonong dengan iskal-iskalnya (Pertanyaan-pertanyaan).
“Baik, terima kasih. Sebenarnya keganjilan itu ada di antara dua alternatif. Kesalahan Anda dalam memantau sejarah al-Qur’an, atau memang, seperti yang saya ucapkan, adalah suatu keganjilan yang dilakukan sahabat Nabi.”
“Eh… maaf (potong sang tokoh), coba Anda terangkan secara lebih jelas, apa maksud Anda sebenarnya.”
“Begini Tuan (jawab Zaranggi) Anda mengatakan bahwa Islam berdasarkan al-Qur’an dan hadits Nabi. Bukankah begitu?”
“Benar” jawab tokoh kita.
“Akan tetapi (lanjut Zaranggi), ketika saya tanyakan kepada Anda apa al-Qur’an itu, Anda mengatakan bahwa ia adalah kumpulan firman-firman Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi dan disusun oleh–atau disusun atas ide–Utsman bin Affan sebagai salah satu sahabat besar. Bukankah begitu?”
“Benar” kata sang tokoh membenarkan.
“Nah, sekarang saya mau bertanya. Apakah Nabi tidak menyusunnya?” tanya Zaranggi.
“Tidak” kata sang tokoh. Dan ia tak mungkin menjawab bahwa Nabi telah menyusunnya. Sebab, yang ia kenal al-Qur’an yang ada sekarang ini adalah mushhaf Utsmani bukan mushhaf Muhammadi.
“Nah kalau begitu, yakni kalau Nabi tidak mengumpulkan, berarti salah satu dasar dari agama Islam, yakni hadits, tidak menyuruh untuk menyusunnya. Lalu kenapa sahabat besar beliau menyusunnya? Bukankah hal itu bertentangan dengan sunnah sendiri? Dan juga bahkan bertentangan dengan kehendak Tuhan. Sebab ketika Nabi tidak menyusunnya berarti tak ada perintah dari Tuhan, sebab Nabi adalah duta (wakil/utusan) Tuhan?”
“Oh… tidak, tidak, tidak Tuan Zaranggi, tidak demikian permasalahannya” sergah tokoh kita.
“Kenapa?” tanya Zaranggi.
“Sebab, hal itu baik dan tak ada larangannya” jawab sang tokoh pendek.
“Tapi kan tak ada dalil bolehnya Tuan?” Zaranggi mendesak terus.
“Walhasil baik dan tak ada larangannya” jawab sang tokoh. Memang tokoh kita ini akan menjawab ada. Sebab dia teringat sebuah hadits yang menyuruh kaum muslimin mengikuti sunnah Nabi dan para Khulafa’u al-Rasyidin. Akan tetapi terpikir olehnya sendiri bahwa hal itu tidak mungkin, sebab akan ada sesuatu selain al-Qur’an dan Hadits, sebagai dasar Islam. Yang tentu akan dijadikan masalah oleh Zaranggi, yaitu soal Khulafa’u al-Rasyidin itu. Lebih-lebih sekarang ia dipertemukan kepada dua perbuatan yang berbeda yang datang dari Nabi dan Khulafa’u al-Rasyidin.
“Bukan begitu Tuan (kata Zaranggi), di sini saya melihat suatu keanehan. Sebab bagi pengertian saya, yang namanya kitab suci, tidak mungkin tidak tersusun dan tetap berserakan di antara dedaunan, kulit-kulit kayu atau tulang.”
“Yah… barangkali Nabi belum sempat menyusunnya” sang tokoh beralasan dengan sedikit ragu terhadap jawabannya itu.
“Sebenarnya saya tidak berhak untuk mempermasalahkan agama Tuan. Mau benar atau tidak. Akan tetapi semua yang saya lakukan ini adalah semata-mata saya ingin tahu kebenaran agama Tuan. Jadi maaf, kalau dari pertanyaan saya ini terkesan kurang sopan terhadap agama Tuan.” Kembali Zaranggi menjelaskan maksud baiknya. Sebab, dia khawatir sang tokoh di depannya akan mulai tidak sabaran dan mengusirnya, seperti yang ia alami beberapa tahun yang lalu.
“Oh… tidak apa-apa, itu biasa dan orang yang ingin tahu Islam mestilah ia menanyakannya secara tuntas” kata sang tokoh membesarkan hati sambil memberikan gambaran bahwa Islam bukanlah agama yang asal paksa. ia adalah agama besar dan suci. Yah… tapi malang sang tokoh tak dapat membuktikan semua itu pada Zaranggi.
“Bolehkah saya lanjutkan pertanyaan saya sedikit lagi Tuan?” pinta Zaranggi.
“Ya, ya, silahkan” sang tokoh mempersilahkan.
“Begini Tuan (jelas Zaranggi), bagi pengertian saya, seorang Nabi pun tidak berhak untuk menyusun kitab suci semaunya sendiri. Kalau al-Qur’an itu memang benar dari Tuhan, maka siapa pun tidak boleh ikut campur dalam urusan itu. Lalu mengapa Anda katakan bahwa barangkali Nabi belum sempat?”


[bersambung...]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar