Pembicaraan tidak selalu ber arti pemahaman antara dua jiwa Kata-kata yang berasal dari bibir-bibir dan lidah-lidah tidak selalu bisa membawa sepasang hati bersama Ada sesuatu yang lebih agung dan lebih murni dari apa yang diutarakan mulut.

Jumat, Desember 03, 2010

Menelusuri Kejahatan Zionis Israel di Abad 20

Saat resolusi nomor 3379 pada tahun 1975 diputuskan Majlis Umum PBB dengan suara mayoritas, hanya sedikit orang yang berpikir bahwa lembaga-lembaga PBB setelah itu terpaksa akan mengeluarkan puluhan ratifikasi dan resolusi anti-politik rasis Zionis Israel, setiap tahunnya. Resolusi nomor 3379 menyebut Zionis Israel sebagai rezim yang setara dengan rasialisme.



Pada tahun itu, PBB kembali mempelajari puluhan kasus dan kejahatan anti-Zionis Israel pada abad 20. Resolusi yang menegaskan kesetaraan Zionis Israel dengan rasialisme, menjadi data resmi lembaga internasional yang tentunya mengundang perhatian dunia.

Zionis Israel di penghujung abad 19 menyatakan eksistensinya yang didukung penuh Eropa. Pada abad 20, Zionis Israel memperkokoh keberadaannya sebagai anak emas politik dan militer AS di kawasan sensitif dan strategis Timur Tengah. Dalam pengusutan kembali kasus-kasus brutal Zionis Israel di kawasan, pembantaian massal di desa Deir Yassin dan Kafr Qassem di awal pembentukan rezim penjajah Zionis Israel menjadi perhatian khusus.

Pada tanggal 9 April 1948, hanya beberapa pekan setelah pengumuman deklarasi rezim penjajah Zionis Israel, terjadi penyerangan ke desa Deir Yassin oleh satuan teror yang bernama Irgun di bawah pimpinan Menachem Begin. Serangan brutal di awal pembentukan rezim Zionis itu menggugurkan 254 laki-laki, perempuan dan anak-anak. Pembantaian massal itu tercantum dalam ingatan sejarah yang tak mudah dilupakan begitu saja.

Wakil Palang Merah saat itu, Jacques de Reynier yang saat itu diutus menyaksikan langsung desa Deir Yassin, mengatakan, "Ratusan jasad sudah kaku. Dapat dipastikan bahwa para serdadu Zionis Israel menembaki warga setempat dengan senjata otomatis dan mengakhirinya dengan granat. Semua ini menggambarkan pemandangan yang keji." Ia juga mengatakan, "Bahkan ditemukan tumpukan jasad berserakan di rumah-rumah, jalan dan ladang."

Tak diragukan lagi, Rezim Zionis Israel dibentuk berlandaskan pembantaian massal, pendudukan, ekspansi dan rasialisme. Rezim kejam ini juga mampu bercokol di kawasan karena dukungan penuh Barat.

Peristiwa lainnya yang juga mencermimkan arogansi dan brutalitas Zionis Israel adalah pembantaian massal di dua kamp Palestina, Sabra dan Shatila. Pembantaian massal di dua kamp itu menjadi catatan sejarah yang tak dapat dihapus oleh Zionis Israel. Sabra dan Shatila adalah dua kamp besar yang terdiri dari 12 kamp para pengungsi Palestina di Lebanon, tepatnya di selatan Beirut. Pada tanggal 16 hingga 18 September 1982, dunia kembali dikejutkan kekejian Zionis Israel di Sabra dan Shatila. Pembantaian massal kali ini dipimpin oleh Ariel Sharon. Satuan serdadu Zionis Israel ini menerjang perbatasan Lebanon dan memasuki jantung kota untuk menduduki ibukota Lebanon.

Setelah itu, Zionis Israel yang berkonspirasi dengan pasukan Palangis yang juga antek-antek Tel Aviv, membasmi para pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila, pagi dini hari pada tanggal 16 September 1982. Serangan itu tercatat sebagai pembantaian massal keji.

Menurut data yang ada, 2.297 warga tewas dalam pembunuhan massal yang dipimpin oleh Ariel Sharon. Jasad laki-laki, perempuan dan anak-anak berserakan di mana-mana yang saat itu menjadi sorotan televisi dan mengundang perhatian luas opini umum. Saat itu, pendudukan Zionis Israel memasuki umur 30 tahun. Akan tetapi wajah Rezim Zionis benar-benar terpuruk dan tercoreng di mata dunia. Dalam kurun 24 jam, dua kamp besar Palestina, Sabra dan Shatila, berubah menjadi puing-puing bangunan. Jasad-jasad manusia terkapar di mana-mana di samping bangkai kucing dan anjing. Ini semua mencerminkan brutalitas dan arogansi Zionis Israel.

Tony Clifton yang saat itu menjadi reporter AS menulis buku "God Cried", mengatakan, "Hal yang membuatku bergemetar adalah jasad-jasad Palestina yang terbakar. Setelah itu diketahui bahwa jasad-jasad itu dibakar dengan bensin. Semua jasad itu gosong dan hanya gigi putih yang tersisa."

Ghazi Khurshid, penulis asal Arab, dalam bukunya Terorisme Zionis di Palestina Pendudukan menulis, "Di jalan kamp ada jasad lima perempuan dan anak-anak yang jatuh di atas gundukan tanah. Salah satu jasad tercabik-cabik dan di sampingnya terdapat kepala anak perempuan yang terpisah dari badannya. Tidak jauh dari tempat itu, ada seorang perempuan yang gugur syahid sambil memeluk bayi yang juga gugur syahid. Ibu dan bayi itu gugur karena peluru-peluru yang dimuntahkan serdadu Zionis Israel."

David Hirts dalam bukunya The Gun and the Olive Branch menceritakan kesaksiannya atas kamp Sabra dan Shatila. Disebutkannya, "Pasukan Palangis setelah berkoordinasi dengan tentara Israel, memasuki kamp Sabra dan Shatila. Satuan pertama mencakup 15 personel yang dilengkapi dengan senjata otomatis. Mereka juga membawa pisau. Pembunuhan massal berlangsung selama 24 jam.. Mereka masuk ke rumah-rumah dengan paksa dan membantai warga Palestina. Pasukan Palangis menutup mata pengungsi Palestina dan mengulitinya, bahkan mengeluarkan isi perut. Mereka juga menyakiti anak-anak bahkan membenturkan kepala mereka ke tembok. Dalam serangan keji itu, organ pengungsi Palestian seperti tangan dan jari-jari, dipotong-potong, bahkan berserakan di jalan-jalan kamp."

Setelah itu, bulldozer meratakan kamp itu sehingga ribuan warga Palestina terkubur dalam satu tempat. Perilaku Zionis Israel benar-benar mencerminkan kekejian luar biasa, bahkan para pengungsi Palestina di negara lain pun dimusnahkan dengan cara sadis.

Berita dan gambar kekejian yang terjadi di kamp Sabra dan Shatila tersebar luas hingga mendorong opini publik dan lembaga-lembaga internasional harus bereaksi keras. Di Italia, para pegawai Bandara Roma menuntut supaya memboikot perusahanan maskapai Zionis Israel, El Al. Di Perancis, para guru meliburkan kelas-kelas mereka dan menulis surat ke Presiden Perancis saat itu, Francois Mitterrand, untuk menuntut penghentian hubungan diplomatik dengan Zionis Israel.

Tiga bulan setelah pembunuhan massal di Sabra dan Shatila, Sidang Umum PBB yang ditekan opini umum saat itu, akhirnya mengecam aksi brutal Zionis Israel itu dan mengeluarkan resolusi yang isinya menegaskan pembantaian massal Israel atas bangsa Palestina. Resolusi didukung dengan suara mayoritas, 98 suara sepakat, 19 suara menentang dan 23 suara abstain. Dampak pembunuhan massal di kamp Sabra dan Shatila itu berujung pada pencopotan jabatan Ariel Sharon dan pengadilan di Komite Investigasi Israel. Akan tetapi pengadilan dan pencopotan jabatan itu hanya diyakini sebagai sandiwara Tel Aviv untuk mengurangi tekanan opini umum.

10 tahun setelah pembantaian massal itu, pengadilan tinggi Belgia mengeluarkan perintah untuk menangkap Ariel Sharon. Wajah Zionis Israel kian dikenal keji. Akan tetapi lemahnya PBB membuat dunia Barat bungkam. Dunia pun dari hari ke hari terus menyaksikan kekejian Zionis Israel. Dalam hasil jajak pendapat yang digelar Gallup, opini umum di negara-negara anggota Uni Eropa pada tahun 2003 menilai Zionis Israel sebagai rezim anti-perdamaian. 500 ribu warga Eropa dari 12 negara anggota Uni Eropa pada tahun itu juga mmenyebut Zionis Israel sebagai rezim penentang hak asasi manusia, haus perang dan perusak stabilitas di kawasan.

Pada Tanggal 26 April tahun 1996, operasi militer Rezim Zionis menyerang Lebanon yang berlangsung enam belas hari. Dalam operasi militer ini, tentara Zionis dari darat, laut, dan udara menyerang kawasan selatan Lebanon dan ibu kota negara ini, Beirut. Akibat serangan Zionis itu, selain sebagian besar kawasan pemukiman sipil dan sentra-sentra ekonomi hancur, 180 warga Lebanon juga tewas, dan ratusan lainnya luka-luka.

Dalam perang 33 hari pada tahun 2006, Zionis Israel menyerang Lebanon yang menyebabkan ribuan warga terlantar dan gugur syahid. Pada tahun 2008, Zionis Israel kembali menunjukkan sikap brutalnya dengan menyerang Jalur Gaza yang saat itu diblokade. Perang Gaza dikenal dengan perang 22 hari. Dengan perjuangan dan kegigihan bangsa Palestina, khususnya rakyat Gaza, militer Zionis Israel tidak dapat membumihanguskan Jalur Gaza. Ini semua mencerminkan kebengisan Zionis Israel yang tidak dapat ditoleransi.

Gambar anak-anak yang menjadi korban perang 22 hari dan 33 hari menyayat hati opini publik. Korban-korban yang dirawat di rumah sakit dengan fasilitas yang terbatas dan puing-puing bangunan yang rusak akibat perang sudah menjadi pemandangan umum dampak brutalitas Zionis Israel. Di mata dunia, Israel kian terkucilkan.

Dalam mereaksi perang Gaza selama 22 hari, PBB membentuk komite investigasi yang dipimpin oleh Hakim Richard Goldstone untuk mengusut kriminalitas perang 22 hari dan para pelakunya. Dalam laporan setebal 600 halaman, Goldstone menyebut Zionis Israel sebagai penjahat perang. Dengan demikian, Perdana Menteri Zionis Israel saat itu, Ehud Olmert dan Menteri Peperangan saat itu, Ehud Barak menjadi pihak-pihak yang bertanggung jawab penuh atas perang 22 hari itu.

Lebih dari itu, sejumlah pengadilan di Inggris, Perancis, Spanyol dan Belgia mengeluarkan perintah penangkapan atas para pejabat Zionis Israel dengan tudingan penjahat perang.

Pada tahun 2009, Dan Meridor yang saat itu menjabat sebagai wakil perdana menteri Israel membatalkan kunjungan ke London karena khawatir ditangkap. Padahal Dan Meridor direncanakan ikut serta dalam acara tahunan yang digelar Pusat Riset dan Hubungan London-Tel Aviv. Ini menunjukkan bahwa para pejabat Zionis tidak merasa aman meski di negara Barat.
 sumber :(IRIB/AR/SL)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar