Pembicaraan tidak selalu ber arti pemahaman antara dua jiwa Kata-kata yang berasal dari bibir-bibir dan lidah-lidah tidak selalu bisa membawa sepasang hati bersama Ada sesuatu yang lebih agung dan lebih murni dari apa yang diutarakan mulut.

Minggu, Juli 29, 2012

Zaranggi [Part. I]


Renungan Terbuka

Cerita ini terjadi pada beberapa abad yang lalu. Bermula dari pertemuan seorang ulama muslim dengan seorang kafir, yang kemudian berkelanjutan dengan dialog yang perlu kita renungkan. Sebagaimana yang kita ketahui dalam sejarah Islam, terdapat beberapa aliran pada waktu itu, dan bahkan sekarang. Salah satu dari perbedaan itu adalah bagaimana cara seorang muslim sejati menilai suatu “Kebaikan” dan “Keburukan”. Perbedaan itu sebenarnya menyangkut masalah fundamental keIslaman. Kubu Imam Ali as. dan Khawarij merupakan sumber utama perbedaan itu. Dan dari kedua kubu itulah kemudian menyusup masuk kedalam golongan-golongan lain, yang walaupun tidak memakai nama golongan keduanya. Pengikut Ahlulbait dan Khawarij.

Sebagian kaum muslimin mengatakan bahwa “Kebaikan” dan “Keburukan” hanya dapat ditentukan oleh Sunnah. Yaitu sunnah Allah (Al-Qur’an) dan sunnah-Nabi (Hadits). Akal tidak mempunyai dan tidak boleh mempunyai saham dalam menentukan keduanya. Sebab, akal sangat terbatas kemampuannya. Maka dari itu barangsiapa menggunakan akalnya dalam agama, maka ia sesat dan berada diluar jalur Islam. Seperti orang-orang yang bertanya “Mengapa ayat itu atau hadits itu demikian”. Mereka mengatakan bahwa kita harus menerima dan tidak boleh menggugat apa-apa yang ada dalam ayat dan hadits.
Lain dengan apa yang diyakini oleh kelompok muslimin yang lain. Yang mana sangat mengkristal dalam golongan Pengikut Ahlulbait. Walaupun seabad setelah itu keyakinan tersebut mengkristal pula dalam diri golongan Mu’tazilah. Keyakinan itu adalah suatu keyakinan yang mengatakan bahwa akal manusia dapat mengetahui sebagian kebaikan dan keburukan walaupun tanpa melalui Syariat. Dan akal mempunyai saham untuk itu. Seperti dalam menentukan agama apakah yang paling baik. Hal ini akan kami jelaskan secara lebih rinci pada bab yang menyangkut “Posisi al-Qur’an Terhadap Keimanan”, Insya Allah. Mereka mengatakan bahwa akal boleh bertanya mengapa suatu ayat atau hadits sedemikian rupa.
Dalil dari golongan kedua ini akan kami rinci dalam bab tersendiri, Insya Allah. Namun harus diketahui sebagai inti dari keyakinan golongan ini bahwasanya pertanyaan akal terhadap syariat itu dilakukan demi mencapai syariat yang sebenarnya, bukan syariat yang semu atau diatasnamakan. Sebab, banyak sekali kaum yang sesat yang, sengaja atau tidak, telah bersembunyi di harakat-harakat atau lafat-lafat al-Qur’an dan hadits. Mereka menyeru dengan gigih supaya kaum muslimin kembali ke al-Qur’an dan hadits sebagaimana mereka. Sementara mereka meyakini bahwa tidak akan ada orang yang mampu memahami maksud sebenarnya dari al-Qur’an dan hadits. Lalu, kemanakah mereka menyeru? Ke al-Qur’ankah atau semi al-Qur’an? Ke makna dan maksudnya atau keharakat atau titik komanya?
Kembali ke al-Qur’an dan hadits bukan merupakan pekerjaan mudah yang bisa dicapai dengan hanya belajar agama dalam beberapa tahun. Lebih-lebih dengan hanya melihat dan membeli buku di trotoar jalan. Sebab, ternyata, sesama penganut al-Qur’an saling menyesatkan dan memasukkan kedalam dhalalah, dan yang paling ngeri ke neraka. Yang lebih aneh lagi, dalam pada itu, mereka mengatakan bahwa neraka dan surga adalah urusan Allah.
Memang aneh kalau kita lihat kehidupan orang-orang yang hanya berloncatan dari harakat ayat yang satu ke harakat ayat yang lainnya sambil mengikat erat akalnya. Biasanya tidak lebih, hanya sekedar Ba… Ba… Ba, Bi… Bi… Bi… dan Bu… Bu… Bu… Mereka tidak lagi menatap kedalam ayat-ayatnya dengan pancaran obor akalnya. Apalagi untuk menatap hadits-hadits, yang kata mereka keluar dari sekedar manusia seperti kita. Sungguh kultur Islam yang sebenarnya terporakporAndakan dengan itu semua. Bahkan mereka, dengan membawa kantongan harakat-harakat itu, dengan penuh semangat, siap berjuang sampai titik darah penghabisan. Dan memaksa golongan lain mengikuti mereka. Walaupun mereka tahu bahwa agama tidak dapat dipaksakan.
Tokoh ulama yang akan diceritakan dalam tulisan ini adalah yang mewakili golongan pertama. Yaitu yang mengharamkan menggunakan akal dalam agama. Tokoh ini mewajibkan dirinya untuk menyebarkan agama Islam di negerinya, Persia, setelah ia belajar Islam dinegeri arab. Sebab waktu itu, walaupun bangsa Persia sudah tergolong kaum muslimin, namun sementara itu ada di beberapa bagian lainnya, yang belum mendapatkan penjelasan agama Islam secara merata, dan masih dalam kekafiran. Salah satunya adalah sebuah kota yang sekarang bernama Hamadan. Dengan semangat jihad dan pengabdian, tokoh kita ini tidak surut karena rintangan. Ia mulai menginjakkan kakinya di kota Hamadan itu lalu mulai menyiarkan Islam.
Dengan kehadiran tokoh tersebut, yang penuh wibawa dan tanpa pamrih serta dengan bekal kitab yang diangkut dengan beberapa ekor unta, membuat suasana kota Hamadan sedikit berubah. Orang-orang yang memang sudah masuk Islam membicarakannya di masjid-masjid. Sementara yang lain, yang masih meragukan kebenaran Islam (kafir), membicarakannya di pasar-pasar. Walhasil situasi kota Hamadan hampir dipenuhi dengan pembicaraan mengenainya.
Pada suatu pagi, datanglah seorang yang nampak pAndai dirumah tokoh itu. Dan memang pada pagi itu pula datang beberapa orang lainnya. Sebab, sang tokoh itu setiap pagi sampai menjelang zhuhur selalu menerima tamu yang, khususnya ingin memperdalam Islam. Orang yang nampak pAndai itu memang salah seorang terpAndang dalam ilmu pengetahuan di kala dan di kota itu.
Seperti biasa, sang tokoh berpakaian rapi dan berwarna putih bersih dengan sorban melilit dikepala, selalu tersenyum ramah dalam menerima tamu-tamunya. Ruang tamunya yang sedikit luas terpenuhi dengan hamparan hambal. Para tamu segera mengambil posisi sendiri-sendiri ketika memasuki ruangan itu. Memang didepan pintu ada yang menjaga yang bertugas menerima tamu. Dia adalah salah satu murid terdekat sang tokoh. Mungkin memang karena namanya, orang yang nampak pAndai itu sedikit melebihi orang-orang pada umumya dalam pengetahuan dan mempunyai kelincahan lidah dalam pembicaraan. “Zaranggi”, adalah nama yang cukup lucu dalam bahasa Persia. “Zaranggi” artinya “cerdik”.
Pada pagi itu dengan penuh semangat Zaraggi duduk tepat dihadapan sang tokoh yang sembari menyiapkan beberapa bukunya melirik ke arahnya dan tersenyum. Dan, Zaranggi pun membalas senyuman sang tokoh.
Setelah ruangan hampir penuh, barulah majelis Tanya-jawab itu dibuka. Dengan penuh welas asih dan dengan ucapan basmalah serta beberapa kutipan ayat al-Qur’an sang tokoh membuka majelis. Kemudian ia berucap:
“Saudara-saudara sekalian, seperti biasa, mari kita bersihkan hati kita dari segala macam keburukan dan kedengkian serta kemalasan dalam mencari kebenaran. Semoga pada pagi yang cerah ini menjadi pertanda tercerahnya kebenaran agama suci Islam bagi hati kita sekalian. Dan saya harap Anda jangan sungkan-sungkan dalam bertanya. Silahkan!”
Sang tokoh memandangi satu persatu tamunya dengan penuh perhatian. Dan terakhir pandangannya tertumpu pada orang yang duduk didekatnya. Lalu dia bertanya dengan penuh persahabatan.
“Siapakah nama Tuan?”
Yang ditanya balas menjawab dengan ramah pula.
“Nama saya Zaranggi Tuan.”
“Terima kasih. Apakah Anda punya pertanyaan?” Tanya sang tokoh.
“Benar,” ia menjawab, “Apakah saya boleh bertanya apa saja mengenai agama Tuan?” lanjutnya.
“Ya, boleh saja dan saya senang sekali. Apakah pertanyaan Anda itu Tuan?” Tanya sang tokoh.
“Terimakasih. Pertanyaan saya yang pertama adalah apa nama agama Tuan, dan apa saja ajaran umumnya, serta apa dasar-dasarnya?” Tanya Zaranggi.
Dengan penuh hidmat dan hati-hati sang tokoh menjawab: “Agama kami adalah ‘Islam”. Ajaran umumnya adalah menganjurkan kebaikan dan melarang berbuat munkar (keburukan), sehingga dunia ini dipenuhi dengan rasa aman (salamah) dan tentram. Dasar-dasarnya ada dua macam. Yang pertama, yang bersangkutan dengan lahiriah manusia. Yaitu membaca syahadatain, shalat lima waktu dalam sehari, membayar zakat bagi yang mampu, puasa di bulan Ramadhan dan pergi haji bagi yang mampu. Yang ini disebut ‘rukun Islam’. Sedangkan yang kedua adalah yang menyangkut hati nurani manusia. Yaitu, Iman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab Allah (Al-Qur’an), utusan-utusan Allah (Rasulullah), Hari Kebangkitan setelah kematian dan mengimani takdir Allah. Yang kedua ini disebut dengan ‘Rukun Iman’.”
“Bisakah Anda merinci dengan lebih jelas lagi tentang maksud masing-masing rukun Islam dan rukun Iman itu?” Zaranggi memohon.
“Oh tentu,” kata sang tokoh yang kemudian melanjutkan uraiannya terhadap satu persatu dari masing-masing rukun dari kedua rukun tersebut. Dan Zaranggi mendengarkannya secara seksama dan penuh rasa ingin tahu.
Setelah sang tokoh merinci poin-poin rukun Islam dan rukun Iman, Zaranggi bertanya.
“Sesuai dengan penjelasan Tuan, rasa-rasanya tersirat suatu pengertian bahwa yang masuk Islam atau mengamalkan rukun Islam belum tentu masuk Iman. Bukankah demikian?”
“Benar, memang demikian kenyataannya, dan mereka disebut munafik. Yaitu yang mengamalkan Islam tapi tidak mengimaninya dalam hati” jawab sang tokoh.
“Apa benar munafik itu ada Tuan? Sebab dengan demikian, mereka berlelah-lelah mengerjakan sesuatu yang tidak mereka yakini?” Tanya Zaranggi dengan sedikit keheranan.
“Menurut sejarah dan al-Qur’an (jawab sang tokoh), mereka itu benar-benar ada. Bahkan sejak zaman Nabi. Yang menunjukkan hal itu adalah adanya satu surat dalam al-Qur’an yang diberi nama ‘Surat Munafiqun’ yang artinya ‘orang-orang munafik’. Atau dalam ayat 101 surat al-Taubah. Di sini bahkan dikatakan bahwa Nabi tidak mengetahui keadaan mereka itu. Ayat yang dikasudkan tadi itu mempunyai inti demikian:
“Dan sebagian orang-orang desa yang ada di sekelilingmu adalah orang-orang munafik. Dan begitu pula sebagian orang-orang Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikan. Engkau (Muhammad) tidak mengetahui mereka. Sedang kami mengetahui mereka.” (Q.S. al-Taubah : 101)
“Lalu, untuk apa mereka melakukan itu Tuan?” tanya Zaranggi keheranan.
“Yah, kami tidak tahu Tuan. Mungkin saja mereka mempunyai maksud-maksud tersembunyi, misalnya untuk merusak Islam dari dalam atau untuk mendapatkan kepentingan duniawi lainnya” jawab sang tokoh.
“Apa betul mereka tidak ketahuan Tuan?” lagi-lagi Zaranggi bertanya penuh keheranan.
“Betul, yah… maklumlah namanya saja sudah munafik, lain dimulut lain pula dihati. Dalamnya laut dapat diterka tapi dalamnya hati siapa yang tahu. Masalah hati hanya Allahlah yang tahu” sang tokoh menjawab sambil menghela nafas panjang.
“Siapa Allah yang dapat mengetahui isi hati itu Tuan?” tanya Zaranggi.
“Allah itu adalah Tuhan Pencipta kita dan alam semesta ini, Tuan Zaranggi” Jawabnya.
“Dari mana Anda tahu Tuan bahwa alam ini ada penciptanya dan Dia adalah Allah?” selidik Zaranggi.
“Dari al-Qur’an” jawab sang tokoh pendek.
“Apakah Ia satu-satunya Tuhan bagi sekalian alam ini Tuan? Sebab dalam agama kami ada tiga Tuhan” tanya Zaranggi.
“Benar Tuan Zaranggi. Dialah satu-satunya Tuhan bagi sekalian alam ini. Dan mustahil adanya dua Tuhan atau lebih” jawab sang tokoh dengan tegas.
“Dari mana Anda tahu itu Tuan?” tanya Zaranggi yang memang nampak ingin tahu argumen tokoh kita ini.
“Dari al-Qur’an dan al-Hadits” jawab tokoh kita dengan mantap.
“Apakah tidak ada pembuktian lain selain al-Qur’an dan al-Hadits Tuan? Sebagaimana filosof-filosof Yunani atau Parsi. Walaupun hasil pembuktian mereka memang ada yang berbeda” tanya Zaranggi yang memang banyak tahu tentang ilmu pengetahuan.
“Tidak ada Tuan. Para filosof berusaha mengenal-Nya dengan akal mereka. Sedangkan akal sangatlah terbatas kemampuannya. Oleh sebab itu dalam agama kami dilarang menggunakan akal dalam mengenali-Nya, dan juga dalam menentukan baik buruknya sesuatu kami harus kembali kepada apa yang dikatakan al-Qur’an dan al-Hadits saja” jawab sang tokoh memantapkan posisinya.
“Apakah agama Tuan mengunci mati akal?” tanya Zaranggi dengan sedikit keheranan. Sebab menurut orang-orang yang ia dengar, orang-orang muslim justru banyak yang pandai.
“Tidak” sergah sang tokoh. “Agama kami (lanjutnya) tidak mengunci mati akal. Akan tetapi yang menyangkut agama kami, mesti mengambil apa-apa yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits tanpa boleh bertanya kenapa demikian, misalnya. Sebab sudah kami katakan bahwa akal manusia terbatas. Artinya, tidak bisa menjangkau kebenaran hakiki (absolut). Berbeda dengan agama yang dapat menjangkaunya.”
“Baik” kata Zaranggi. “Lalu dengan apa Anda membenarkan agama Anda? Apakah dengan agama Anda pula? Dan tidak dengan akal?” Zaranggi mulai mendesak.
“Be… be… benar” jawab sang tokoh agak memaksa, karena tidak ada pilihan lain, dan sedikit tergagap. Sebab yang selama ini ia pelajari adalah dalam menentukan segala sesuatu harus dengan agama, tidak boleh dengan akal. Lha! Sekarang ditanya dengan apa mengatakan agama Islam benar? Susah menjawabnya.
“Tuan! Harap Anda ketahui, bahwa dalam agama kami dan agama-agama lain, masing-masing mengajarkan bahwa agama-agama itulah yang benar dan yang lainnya salah. Lalu mengapa Tuan tidak memilih agama kami saja dan meninggalkan Islam?” tanya Zaranggi sedikit memojokkan.
Muka tokoh kita mulai memerah. Lebih-lebih setelah beberapa tamu lainnya tertawa tertahan. Tapi apa boleh buat, memang dia sendirilah yang menyuruh orang-orang untuk bertanya apa saja.
“Tidak, tidak. Hal itu tidak mungkin kami lakukan” jawab sang tokoh sambil berpikir keras untuk mencari jalan keluar dari berondongan pertanyaan Zaranggi yang nampak ceplas-ceplos itu.
“Kenapa Tuan?” tanya Zaranggi lagi.
“Karena hal itu merupakan dosa yang paling besar” jawab sang tokoh yang memang nampak merupakan jawaban asal comot saja.
“Kalau keluar dari agama Tuan Anda katakan dosa atau dapat murka Tuhan, apakah Anda tidak berfikir bahwa kalau kami keluar dari agama kami, kamipun akan mendapat murka dari Tuhan kami?” tanyanya lagi.
Dan tokoh kita tak bisa menjawab.


[bersambung...]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar