Pembicaraan tidak selalu ber arti pemahaman antara dua jiwa Kata-kata yang berasal dari bibir-bibir dan lidah-lidah tidak selalu bisa membawa sepasang hati bersama Ada sesuatu yang lebih agung dan lebih murni dari apa yang diutarakan mulut.

Senin, Januari 31, 2011

Apa Yang Mereka Katakan Tentang Imam Husain

                                                  Charles Dickens :
“If Husayn fought to quench his worldly desires, then I do not understand
why his sisters, wives and children accompanied him. It stands to reason
therefore that he sacrificed purely for Islam.”
“Seandainya Husain berjihad (ke Karbala) untuk memenuhi hasrat duniawinya, maka saya tidak mengerti, mengapa saudara-saudara perempuannya, isterinya, dan anak-anaknya, ikut serta menemaninya. Alasan yang masuk akal adalah bahwa dia berjuang semata-mata demi Islam.”
(Charles Dickens, English novelist, generally considered the greatest of the Victorian era, 1812-1870)

Thomas Carlyle :
“The best lesson which we get from the tragedy of Karbala is that Husaynand his companions were the rigid believers of God. They illustrated that
numerical superiority does not count when it comes to truth and falsehood.
The victory of Husayn despite his minority marvels me!”
“Pelajaran terbaik yang dapat kita peroleh dari tragedi Karbala adalah bahwa Husain dan sahabat-sahabatnya adalah orang-orang yang memiliki keimanan yang kuat kepada Tuhan-(nya). Mereka menggambarkan bahwa keunggulan kwantitas tidak lagi dianggap ketika telah tampak jelas kebenaran dan kebatilan. Kemenangan Husain adalah (ketika) dia tidak menghiraukan jumlah pasukannya yang sedikit, dan itulah yang membuat saya benar-benar kagum.”
(Thomas Carlyle, Scottish Historian and Essayist, leading figure in the Victorian era. 1795-1881)

Dr. K. Sheldrake :
“Husayn marched with his little company not to glory, not to power or
wealth, but to a supreme sacrifice and every member of that gallant band,
male and female, knew that the foes were implacable, were not only ready
to fight but to kill. Denied even water for the children, they remained
parched under a burning sun, amid scorching sands yet no one faltered for
a moment and bravely faced the greatest odds without flinching.”
“Bersama sahabat-sahabat setianya yang sedikit itu, Husain membangkang bukan untuk mencari kemenangan, bukan juga untuk merebut kekuasaan, apalagi untuk mendapatkan kekayaan, tetapi untuk pengorbanan yang paling tinggi. Rombongan yang gagah berani ini, laki-laki dan perempuan, sudah mengetahui bahwa kedatangan musuh bukan untuk berdamai, bahkan bukan sekadar untuk berperang, musuh memang dipersiapkan untuk membantai. Walau ditolak bahkan setetes air untuk anak-anak kecil, dipanggang di bawah terik matahari, dengan bentangan pasir panas yang membakar, namun tak seorang pun dari mereka yang tergoyahkan untuk sebuah momen dan keberanian menghadapi segala rintangan.”

Sir Muhammad Iqbal :
“Imam Husayn uprooted despotism forever till the Day of Resurrection.
He watered the dry garden of freedom with the surging wave of his blood,
and indeed he awakened the sleeping Muslim nation. If Imam Husayn had
aimed at acquiring a worldly empire, he would not have travelled the way
he did2. Husayn weltered in blood and dust for the sake of truth. Verily he,
therefore, became the bed-rock of the Muslim creed; la ilaha illa-Allah
(There is no god but Allah).”
“Imam Husain telah mencabut pemerintahan sewenang-wenang selamanya sampai Hari Kebangkitan kelak. Dia telah mengairi kebun yang kering dari kebebasan dengan gelombang gelora darahnya, dan sungguh dia telah membangkitkan keterlelapan kaum Muslim. Jika Imam Husain bertujuan untuk mendapatkan Kerajaan Duniawi, pastilah ia tidak akan melakukan perjalanan (ke Karbala) seperti yang telah ia lakukan. Husain telah berkubang darah dan debu demi Kebenaran. Sungguh dia, karenanya telah menjadi batu pijakan bagi keyakinan kaum Muslim: Laa ilaha illah Allah (Tiada tuhan kecuali Allah).”
(Sir Muhammad Iqbal, Muslim poet, philosopher and politician in British India)


Khwaja Moinuddin Chisti :
“He gave his head, but did not put his hand into the hands of Yazid.
Verily, Husayn is the foundation of la ilaha illa Allah. Husayn is lord and
the lord of lords. Husayn himself is Islam and the shield of Islam. Though
he gave his head (for Islam) but never pledged Yazid. Truly Husayn is the
founder of "There is no Deity except Allah.”
“Dia memberikan kepalanya, tetapi dia tidak memberikan tangannya di atas tangan Yazid. Sungguh, Husain adalah pondasi Laa ilaha illa Allah. Husain adalah pemimpin dan dialah pemimpin dari segala pemimpin. Husain sendiri adalah Islam dan dialah yang telah melindungi Islam. Walaupun dia telah memberikan kepalanya (demi Islam) tetapi dia tidak sudi memberikan janji setianya kepada Yazid. Itulah karenanya, (saya katakan) Husain adalah peletak pondasi “Tiada tuhan kecuali Allah!”
(Khwaja Moinuddin Chisti, the most famous Sufi saint of the Chishtī Order of the Indian Subcontinent.)

Antoine Bara :
“No battle in the modern and past history of mankind has earned more
sympathy and admiration as well as provided more lessons than the
martyrdom of Husayn in the battle of Karbala.”
Di dalam bukunya “Husayn in Christian Ideology” dia menulis:
“Tidak ada pertempuran di dalam peradaban modern maupun sejarah manusia pada masa lalu, yang telah mendapatkan perhatian dan simpati serta kekaguman yang lebih besar dan juga telah memberikan pelajaran yang lebih banyak daripada kesyahidan Husain di pertempuran Karbala.”

Mahatma Ghandi :
“I learned from Husayn how to be wronged and be a winner.”
“Saya belajar dari Husain bagaimana bersikap ketika diperlakukan secara tidak adil dan bagaimana menjadi pemenang!”
(Mahatma Ghandi, Indian Philosopher, internationally esteemed for his doctrine of nonviolent protest, 1869-1948)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar