Oleh: Sri-Edi Swasono | ||||
|
||||
Tulisan
Kwik Kian Gie (Kompas, 11/10) dan Sayidiman Suryohadiprojo (Kompas,
12/10) menyemarakkan kelas mata kuliah saya di Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Saya bangga dengan para mahasiswa yang menanggapi
tulisan kedua tokoh ini dengan patriotisme. Betapa pun
kinerja pro-poor, pro-growth, and pro-job, tidak berarti
perusahaan-perusahaan asing boleh merajalela di Indonesia. Inilah naluri
nasionalistik, haus kebanggaan nasional para pemuda kita. Tulisan Kwik dan Sayidiman berseberangan dengan pandangan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal yang menganggap kepemilikan modal tidak penting (Kompas, 7/10). Secara normatif imperatif, konstitusi kita menegaskan: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Salah satu bapak bangsa kita menegaskan pesan konstitusi ”Menguasai tidak harus memiliki”. Menguasai dapat dilakukan dengan regulasi oleh negara. Dengan kata lain, regulasi harus dapat memastikan dan menjamin peran strategis cabang-cabang produksi bagi negara dan tersedianya hajat hidup orang banyak bagi rakyat. Adagium menguasai tidak harus memiliki tentulah dalam konteks demokrasi ekonomi (Pasal 33 UUD 1945), bukan dalam konteks pasar bebas yang saat ini menjadi acuan kebijakan pemerintahan SBY-Boediono. Berlakunya pasar bebas seperti saat ini tak pernah terpikir akan dibiarkan tatkala adagium itu mengemuka awal 1950-an. Globalisasi ekonomi saat ini, yang mengubah liberalisme menjadi neoliberalisme rakus dan brutal, memang menuntut berlakunya aturan main global baru: yang memiliki akan menguasai. Pokok soal pesan konstitusi adalah ”dikuasai oleh negara”. Apabila tanpa dimiliki tidak bisa dikuasai, maka tidak ada pilihan lain: menguasai haruslah dengan memiliki sekaligus. Lebih dari itu, doktrin demokrasi ekonomi kita menegaskan, hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh ada di tangan orang-seorang (swasta). Tidak anti-asing Di luar normativisme konstitusi, Soekarno dan Hatta tidak antiasing, tidak pula antipinjaman luar negeri. Namun, kedua tokoh ini menyatakan bahwa investasi asing dan pinjaman luar negeri, di samping demi kemakmuran rakyat, haruslah meningkatkan kemandirian nasional, meningkatkan onafhankelijkheid. Pinjaman luar negeri sekadar pelengkap dan sementara. Soekarno dan Hatta tidak menghendaki investasi asing mendominasi ekonomi nasional, tidak mengendalikan (beheersen), apalagi mengangkangi (overheersen) ekonomi nasional. Bagi mereka, inilah makna kemerdekaan dan kedaulatan sejati, baik politik maupun ekonomi. Argumen yang bertitik tolak dari pandangan membuka kesempatan bagi investor asing seluas-luasnya agar tidak menghambat penciptaan nilai di Indonesia, tidak begitu saja diterima oleh para mahasiswa kita. Mereka mengenal perbedaan antara gross national product (GNP, citizen-based) dan gross domestic product (GDP, territorial-based). GNP lebih kecil dari GDP karena GDP sebagian adalah hasil dari kepemilikan asing, yang struktur pembagian nilai tambahnya tidak otomatis menguntungkan rakyat Indonesia. Inilah relevansinya membedakan ”pembangunan di Indonesia” dengan ”pembangunan Indonesia”. Apakah kita menjadi tuan di negeri sendiri atau sekadar menjadi kuli dan jongos globalisasi? BUMN sebagai cabang-cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak menjadi incaran asing. Sayang, sikap kita justru belum ditanya sudah mau, belum ditawar sudah menghidangkan. Seolah- olah Indonesia is for sale. Indosat adalah salah satu contoh kelengahan budaya tragis. Indosat adalah teritori Indonesia di angkasa! Ketika Indosat akan dijual ke perusahaan Singapura, saya mengingatkan pemerintah untuk menjualnya kepada pelanggan ponsel saja. Dengan menaikkan tarif pulsa dua kali lipat, maka kenaikan tarif pulsa ini merupakan cicilan pemilikan saham oleh pelanggan pengguna jasa ponsel, jadi Indosat dapat dimiliki sendiri oleh para pelanggan nasional. Sekarang Indosat terjual ke Qatar, maka setiap kita angkat ponsel, GNP Qatar meningkat. Oleh karena itu, BUMN-BUMN strategis seperti Bank BNI, Garuda, dan Semen Gresik dijual ke clientele atau pelanggan nasional sebagai pemerataan pemilikan (co-ownership) nasional. Mendesain globalisasi Indonesia yang kaya sumber daya manusia dan alam seharusnya mampu proaktif memosisikan diri: ikut mendesain globalisasi, tidak sebaliknya membiarkan diri jadi obyek globalisasi. Mengapa kita terus menari dengan kendang orang lain? Pihak asing telah membiayai penerbitan undang-undang neoliberalistik yang memorakporandakan kaidah-kaidah penuntun konstitusional kita, lalu kita mudah terdikte. Pertamina yang sangat strategis bagi negara pun mulai digerogoti. Pertamina harus sepenuhnya dimiliki negara. Lalu, Krakatau Steel sebagai industri dasar strategis diprivatisasi, langkah awal asingisasi. Untuk PLN pun ada undang-undang unbundling agar bisa dijadikan bancaan menuju privatisasi dan asingisasi, dan seterusnya. Kita merasa kekurangan modal karena kurang akal. BUMN-BUMN India di China memang banyak diprivatisasi, lalu kita kagum akan kemajuan ekonomi India dan China. Padahal, apa yang diprivatisasi di India dan China sejak awal di Indonesia menjadi usaha swasta. India dan China tidak sebodoh dan sekapitalistik itu. Cabang-cabang produksi yang strategis tetap dikuasai negara. Kepentingan rakyat (publik) harus kita posisikan sentral-substansial. Saat ini modal yang diposisikan sebagai sentral-substansial, posisi rakyat direduksi menjadi marginal-residual. Itu sebabnya Kwik bertanya growth nilai tambah untuk siapa? Bulan Juli 2010, seorang promovenda mengajukan disertasi S-3 di FHUI dengan judul ”Pasal 33 UUD 1945 sebagai Dasar Perekonomian Indonesia: Telah Terjadi Penyimpangan terhadap Mandat Konstitusi”. Tujuh guru besar Ilmu Hukum dan satu guru besar Ilmu Ekonomi menerima dan meluluskan promovenda sebagai doktor dalam bidang Hukum. Penyimpangan terhadap mandat konstitusi memperoleh konfirmasi ilmiah akademis. Tidak salah bila sesepuh kita Sayidiman Kartohadiprojo sampai menggunakan kalimat bertuah, ”Satu pengkhianatan nasional (telah terjadi) atas perjuangan kemerdekaan nasional.” Saya sempat menulis (Kompas, 2/9/2009) sedikit puja-puji untuk Presiden SBY atas pidato kenegaraan di DPR (14/8/2009) dan di DPD (19/8/2009), yang saya tafsirkan sebagai penegasan komitmen banting setir, menumbuhkan harapan akan datangnya masa besar (der grosse Moment) dan patriot besar (einen grossen Helden) pengabdi rakyat. Harapan saya surut, Presiden SBY kurang efektif mem-briefing para menterinya agar taat konstitusi. Presiden SBY dikecoh menteri-menteri ekonominya yang neoliberal, yang menyurutkan kredibilitas Presiden SOURCE |
Senin, Oktober 31, 2011
Indonesia Tidak untuk Dijual!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar