Faktor sangat penting yang membakar
semangat para pejuang kemerdekaan kita yalah bahwa kemerdekaan politik
merupakan jembatan emas menuju pada kemakmuran yang berkeadilan dan
kesejahteraan rakyat.
Dua hari lagi bangsa Indonesia telah 66
tahun merdeka secara politik. Tetapi apakah para penguasa yang berbangsa
Indonesia mesti membela kepentingan bangsanya sendiri, terutama yang
miskin karena penjajahan ?
Belum tentu. Sebelum Indonesia dijajah,
kemerdekaan politik sudah ada dengan kekuasaan di tangan para raja dan
sultan. Namun begitu VOC datang, banyak sekali raja dan sultan yang
menjual kekayaan ekonomi beserta rakyatnya kepada VOC yang diperlakukan
bagaikan budak.
Penjajahan oleh VOC yang dilanjutkan
oleh pemerintah Belanda memang sangat menyengsarakan rakyat kita. Namun
dalam alam kemerdekaan politik, penjajahan yang dilakukan oleh bangsa
sendiri dengan kolaborasinya dengan bangsa asing tidak kalah dahsyatnya,
baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Secara kuantitatif, penjajah Belanda
hanya dapat menanam pohon dengan menggunakan manusia Indonesia bagaikan
budak. Mereka dipekerjakan melalui cultuurstelsel dalam
perkebunan-perkebunan. Buahnya yang diambil. Pohon-pohonnya dipelihara
dengan baik, yang setelah kemerdekaan sampai sekarang menjadi milik
negara dalam bentuk PTP yang sampai sekarang masih menguntungkan.
Sebaliknya, dalam era kemerdekaan,
banyak BUMN vital dijual kepada swasta, baik asing maupun domestik.
Namun yang domestik menjual haknya kepada asing lagi, karena malas,
tidak mempunyai modal dan tidak menguasai teknologi.
Dengan gejala globalisasi, Indonesia
yang lemah dalam segala bidang, tetapi secara membabi-buta harus ikut
arus itu, dampaknya menjadi gombalisasi buat bagian terbesar dari
bangsanya.
Globalisasi yang menjadi gombalisasi
inilah yang memberikan gambaran bahwa asing dengan teknologi canggihnya
menggunduli hutan kita, telah menguras ikan, pasir, mengeduk sumber daya
mineral. 92% dari minyak kita dieksploitir oleh perusahaan minyak
asing. Dengan khasak mata Timika bagaikan kota Amerika yang
pemerintahnya Freeport.
Kesemuanya ini hanya merupakan puncak gunung es.
Bagaimana sejarahnya sampai menjadi
seperti ini ? Para akhli Amerika yang mengetahuinya. Ternyata bagaikan
raja dan sultan di zaman pra kemerdekaan, elit bangsa kita sendiri yang
menjual kekayaan alam dan praktis kemerdekaan kita dalam bidang ekonomi.
Saya kutip buku John Pilger, “The New Rulers of the World”.
Halaman 37: “Dalam bulan November 1967,
The Time-Life Corporation mensponsori konperensi istimewa di Jenewa yang
dalam waktu tiga hari merancang pengambil alihan Indonesia. Para
pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia,
orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat
diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors,
Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco,
American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper
Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto
yang oleh Rockefeller disebut “ekonoom-ekonoom Indonesia yang top”.
Pihak Indonesia diwakili oleh pemerintah dengan menteri-menteri ekonomi
di bawah pimpinan Prof. Widjojo Nitisastro.
Di halaman 39 ditulis : “Pada hari
kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ‘Ini
dilakukan dengan cara yang spektakuler’ kata Jeffrey Winters, ‘Mereka
membaginya ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa
di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di
kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah
delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh
mereka dan para investor lainnya kepada wakil-wakil pemerintah
Indonesia”.
“Freeport mendapatkan bukit dengan
tembaga di Papua Barat. Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua
Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit
Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis
mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan.
Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru
disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk
lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi
Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang
anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia
dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.”
John Perkins
Sekarang kita kutip buku John Perkins
yang berjudul : “Confessions of an economic hitman” atau “Pengakuan
seorang perusak ekonomi”. Saya kutip yang relevan buat Indonesia.
Halaman 12 : “Penugasan pertama saya di
Indonesia, dan saya salah seorang dari sebuah tim yang terdiri dari 11
orang yang dikirim untuk menciptakan cetak biru rencana pembangunan
pembangkit listrik buat pulau Jawa.”
Halaman 13 : “Saya tahu bahwa saya harus
menghasilkan model ekonomterik untuk Indonesia dan Jawa”. “Saya
mengetahui bahwa statistik dapat dimanipulasi untuk menghasilkan banyak
kesimpulan, termasuk apa yang dikehendaki oleh analis atas dasar
statistik yang dibuatnya.”
Halaman 15 : “Pertama-tama saya harus
memberikan pembenaran (justification) untuk memberikan utang yang sangat
besar jumlahnya yang akan disalurkan kembali ke MAIN (perusahaan
konsutan di mana John Perkins bekerja) dan perusahan-perusahaan Amerika
lainnya (seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster, dan Brown
& Root) melalui penjualan proyek-proyek raksasa dalam bidang
rekayasa dan konstruksi. Kedua, saya harus membangkrutkan negara yang
menerima pinjaman tersebut (tentunya setelah MAIN dan kontraktor Amerika
lainnya telah dibayar), agar negara target itu untuk selamanya
tercengkeram oleh kreditornya, sehingga negara pengutang (baca :
Indonesia) menjadi target yang empuk kalau kami membutuhkan favours,
termasuk basis-basis militer, suara di PBB, atau akses pada minyak dan
sumber daya alam lainnya.”
Halaman 15-16 : “Aspek yang harus
disembunyikan dari semua proyek tersebut yalah membuat laba sangat besar
buat para kontraktor, dan membuat bahagia beberapa gelintir keluarga
dari negara-negara penerima utang (baca : Indonesia) yang sudah kaya dan
berpengaruh di negaranya masing-masing. Dengan demikian ketergantungan
keuangan negara penerima utang menjadi permanen sebagai instrumen untuk
memperoleh kesetiaan dari pemerintah-pemerintah penerima utang. Maka
semakin besar jumlah utang semakin baik. Kenyataan bahwa beban utang
yang sangat besar menyengsarakan bagian termiskin dari bangsanya dalam
bidang kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial lainnya selama
berpuluh-puluh tahun tidak perlu masuk dalam pertimbangan.”
Halaman 15 : “Faktor yang paling
menentukan adalah Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Proyek yang memberi
kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan PDB harus dimenangkan. Walaupun
hanya satu proyek yang harus dimenangkan, saya harus menunjukkan bahwa
membangun proyek yang bersangkutan akan membawa manfaat yang unggul pada
pertumbuhan PDB.”
Halaman 16 : “Claudia* dan saya
mendiskusikan karakteristik dari PDB yang menyesatkan. Misalnya
pertumbuhan PDB bisa terjadi walaupun hanya menguntungkan satu orang
saja, yaitu yang memiliki perusahaan jasa publik, dengan membebani utang
yang sangat berat buat rakyatnya. Yang kaya menjadi semakin kaya dan
yang miskin menjadi semakin miskin. Statistik akan mencatatnya sebagai
kemajuan ekonomi.”
*Claudia Martin adalah pejabat CIA yang memberi perintah-perintah kepada John Perkins”
Halaman 19 : “Sangat menguntungkan buat
para penyusun strategi karena di tahun-tahun enam puluhan terjadi
revolusi lainnya, yaitu pemberdayaan perusahaan-perusahaan internasional
dan organisasi-organisasi multinasional seperti Bank Dunia dan IMF.”
PERKEMBANGAN INFRA STRUKTUR HUKUM
Bagaimana perkembangan infra struktur
hukum kita sebagai perwujudan dari penjajahan ekonomi sejak tahun 1967 ?
Awalnya sekali tercantum dalam buku oleh Bradley Simpson yang berjudul :
“Economists with guns”. Saya kutip halaman 234 yang berbunyi sebagai
berikut :
“AS sangat dominan mempengaruhi
penyusunan undang-undang tentang investasi Indonesia. Seorang konsultan
dari Van Sickle Associates yang berdomisili di Denver (yang baru saja
menandatangani kontrak bagi hasil untuk pembangunan dan pengoperasian 2
perusahaan plywood) membantu ekonom Widjojo membuat undang-undang
tentang penanaman modal asing. Setelah draft-nya selesai, para pejabat
Indonesia mengirimkannya ke Kedubes AS di Jakarta dengan permohonan agar
Kedubes AS memberikan komentar untuk “perbaikkan-perbaikan yang
mencerminkan pendirian para investor AS.” Para akhli hukum dari
Kementerian Luar Negeri AS mengirimkan kembali draft undang-undangnya
dengan usulan baris demi baris. Mereka keberatan terhadap draft
undang-undangnya karena draft tersebut memberikan terlampau banyak
kewenangan kepada pemerintah (“too much discretionary authority to the
government.), dan karena itu merupakan hambatan buat para investor yang
potensial (“discouraging to potential investors”), karena sektor BUMN
diberi peluang untuk banyak bidang-bidang usaha yang diinginkan oleh
perusahaan-perusahaan besar asing yang ingin memasuki sektor-sektor
tersebut, terutama perusahaan-perusahaan ekstraktif. Widjojo mengubah
undang-undang yang bersangkutan, yang disesuaikan dengan usulan-usulan
dari AS, dengan menggunakan kata-kata yang akan menjamin liberalisasi
yang maksimal, yang disukainya juga, tetapi sambil menyogok (placating)
kaum nasionalis yang selalu waspada terhadap tanda-tanda dari tunduknya
Jakarta pada tekanan-tekanan dari Barat. Episode ini mengingatkan kita
dengan sangat jelas tentang struktur kekuasaan yang didiktekan oleh para
pendukung resim Soeharto dalam hal keputusan-keputusan sangat penting
yang dibuat oleh negara-negara merdeka.
Di tahun 1967 itu juga terbit UU no. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Saya kutip pasal 6 ayat 1 yang berisi
bahwa perusahaan patungan antara swasta Indonesia dan swasta asing boleh
memiliki dan menguasai bidang-bidang yang penting bagi negara dan
menguasai hadjat hidup rakyat banyak sebagai berikut :
- pelabuhan-pelabuhan;
- produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum;
- telekomunikasi;
- pelajaran;
- penerbangan;
- air minum;
- kereta api umum;
- pembangkitan tenaga atom;
- mass media. “
Porsi asing harus sangat kecil. Namun
hanya setahun kemudian asing sudah boleh menguasai semuanya sampai 49 %
yang tertuang dalam UU nomor 6 tahun 1968. Pasal 3 ayat 1 sudah
mengizinkan investor asing memasuki cabang-cabang produksi yang jelas
disebut “menguasai hajat hidup orang banyak” itu asalkan porsinya modal
asing tidak melampaui 49 %. Swasta Indonesia, atau para kapitalis
Indonesia sangat bebas boleh menguasainya.
Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 1994
Di tahun 1994 terbit Peraturan
Pemerintah nomor 20 yang antara lain berisi bahwa perusahaan patungan
tanpa menyebut berapa porsi asing “dapat melakukan kegiatan usaha yang
tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak
yaitu :
- pelabuhan,
- produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik untuk umum,
- telekomunikasi,
- pelayaran,
- penerbangan,
- air minum,
- kereta api umum,
- pembangkit tenaga atom dan mass media.
Infra Struktur Summit I
Posisinya hari ini yalah yang
dikumandangkan di Infra Struktur Summit oleh Menko Perekonomian ketika
dijabat oleh Aburizal Bakrie di Hotel Shangrilla. Intinya mengumumkan
kepada masyarakat bisnis dan korporasi di dunia bahwa Indonesia membuka
pintunya lebar-lebar buat investor asing untuk berinvestasi dengan motif
memperoleh laba dalam bidang infra struktur dan barang-barang publik
lainnya. Kepada masyarakat bisnis dan korporasi diberitahukan bahwa
tidak ada cabang produksi yang biasanya disebut public goods yang
tertutup bagi investor swasta, termasuk investor asing.
Infra Struktur Summit II
Dalam Infra Struktur Summit II yang
Menko Perekonomiannya dijabat oleh Boediono, pengumuman pendahulunya
diulangi lagi. Namun sekarang ditambah dengan penegasan bahwa tidak akan
ada perbedaan perlakuan sedikitpun antara investor asing dan investor
Indonesia.
Undang-Undang tentang Penanaman Modal nomor 25 tahun 2007
Undang-Undang tersebut menggantikan
semua perundangan dan peraturan dalam bidang penanaman modal.
Butir-butir pokoknya dapat dikemukakan sebagai berikut.
Pasal 1 yang mendefinisikan “Ketentuan
Umum” dan yang mempunyai banyak ayat itu intinya menyatakan tidak ada
perbedaan antara modal asing dan modal dalam negeri.
Pasal 6 mengatakan : “Pemerintah
memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal
dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di
Indonesia…..”
Pasal 7 menegaskan bahwa “Pemerintah
tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak
kepemilikan penanaman modal, kecuali dengan undang-undang.”
Pasal 8 ayat 3 mengatakan “Penanam modal
diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing”,
yang dilanjutkan dengan perincian tentang apa semua yang boleh
ditransfer, yaitu sebanyak 12 jenis, dari a sampai dengan l, yang
praktis tidak ada yang tidak boleh ditransfer kembali ke negara asalnya.
Pasal 12 mengatakan bahwa semua bidang
usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali
produksi senjata dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan
tertutup berdasarkan undang-undanghttp://kwikkiangie.com/v1/2011/08/kemerdekaan-ekonomi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar