Pembicaraan tidak selalu ber arti pemahaman antara dua jiwa Kata-kata yang berasal dari bibir-bibir dan lidah-lidah tidak selalu bisa membawa sepasang hati bersama Ada sesuatu yang lebih agung dan lebih murni dari apa yang diutarakan mulut.

Sabtu, Desember 04, 2010

Yahudi, Gerakan Zionis, dan Negara Israel


Negara Israel diproklamasikan tanggal 14 Mei 1948. Dengan proklamasi ini, cita-cita orang Yahudi yang tersebar di berbagai belahan dunia tercapai. Mereka telah melaksanakan 'amanat' Theodore Herzl (1860-1904) dalam tulisannya "Judenstaat" (Negara Yahudi) sejak 1896. Berdirinya Negara Israel tidak terlepas dari usaha Zionisme. Herzl menyusun doktrin zionis sejak 1882 di Wina. Dia pula yang mengkongkretkan doktrin tersebut secara sistematis. Setahun setelah itu (1897), diadakanlah konggres Yahudi Sedunia di Basel yang antara lain memutuskan akan dibentuknya negara Yahudi yang mengambil tempat di Palestina. Sejak saat itu zionisme merupakan gerakan politik Yahudi. Sebelumnya zionisme merupakan gerakan keagamaan semata (Yudaisme). Yudaisme menginginkan datangnya Sang Juru Selamat kelak di akhir zaman.  Pada masa itu 'semua keluarga di dunia ini' akan dipanggil ke Kerajaan Tuhan. Kerajaan ini akan di pusatkan di tempat terjadinya kisah-kisah yang telah dialami oleh Nabi Ibrahim (Abraham) dan Nabi Musa (Moses). Kehadiran gerakan keagamaan Yudaisme ini tidak banyak menimbulkan keresahan, bahkan penganutnya bisa hidup berdampingan dengan umat Islam maupun Kristen secara damai.

Zionisme keagamaan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh sekelompok orang (termasuk Herzl) untuk melegitimasi berdirinya negara Yahudi di atas tanah bangsa Arab. Padahal menurut Garaudy, Herzl merupakan orang yang ingkar agama. Dengan mempolitisasi zionisme, maka orang Yahudi di seluruh penjuru dunia ikut tergerak dan berbondong-bondonglah mereka menuju 'tanah yang dijanjikan' (Palestina).  Sebelumnya sejak 1880  kaum Yahudi (yang terdiaspora didunia) pertama telah berimigrasi ke "tanah yang dijanjikan" yang dikenal dengan 'gerakan Aliya'.
Para Rabbi Amerika penentang Herzl menyatakan ketidaksetujuaannya mendirikan negara Yahudi. Mereka juga menolak ke Palestina. Ilmuwan Yahudi seperti Albert Einstein, Ahli filsafat Martin Buber, Prof. Judah L. Magnes juga menolak niat Herzl mendirikan negara Israel. Ada dua alasan penolakan mereka; (1) Berdirinya negara Yahudi di Palestina akan mengakibatkan pertikaian dengan penduduk asli (Arab), dan (2) zionisme akan membangkitkan kecurigaan terhadap orang-orang Yahudi di seluruh dunia. Mereka akan dituduh punya kesetiaan ganda dan kewarganegaraan rangkap.
Dengan berdirinya Israel, zionisme bukan lagi semata-mata gerakan keagamaan. Bahka mereka semakin sewenang-wenang terhadap non-Yahudi. Israel menerapkan kebijakan yang rasis-diskriminatif. Untuk ini PBB menyetujui resolusi 3379(xxx) yang antara lain berbunyi "Zionisme adalah bentuk rasisme dan diskriminatif rasial". Walaupun demikian berbagai gelombang imigrasi terus berdatangan dari Rumania, Rusia, Polandia, Bulgaria, Yugoslavia, Yaman, Aden, Jerman, serta Afrika. Terhadap hal ini Pemerintah Inggris kemudian mendukung upaya didirikannya negara bagi imigran Yahudi ini yang dikenal dengan "Deklarasi Balfour" (1917).
Selanjutnya gelombang imigran dari Eropa, Asia serta Afrika banyak berdatangan dan membuat pemukiman di tanah Arab seakan berlomba mendapati "tanah yang dijanjikan". Kecemasan dan ketenangan warga Arab (Muslim/Kristen) pun terusik. Mereka berupaya mengusir para imigran. Namun karena kuatnya konspirasi yang mereka hadapi, akhirnya mereka mendapatkan kekalahan telak dalam "perang enam hari" di tahun 1967. Dan Israel berhasil menguasai seluruh Yerusalem, serta mengusir orang-orang Arab (baik Muslim maupun Kristen) dari tanah air mereka sendiri.
Negara Israel berdiri atas prakarsa kaum Yahudi (untuk mewujudkan Israel Raya), walaupun format negaranya adalah republik demokrasi sekular, namun pengambil kebijakan banyak melibatkan lobi-lobi kelompok keagamaan yahudi. Tercatat pada tahun 1988, penduduk Israel menganut berbagai macam agama, Yahudi (Yudaisme) 82,5%; Islam 13%; Kristen 2,5%; dan lainnya 1,5%. Departemen Agama Israel lebih banyak menuruti penganut Yahudi yang mayoritas. Mereka mengurusi upacara kematian (kosher), kerabian, dan sekolah agama (yeshivot). Bahkan dimensi nasional dan keagamaan sudah terjalin sedemikian eratnya dan sulit untuk dipisahkan. Sehingga identitas nasional Israel berpadu dengan identitas agama Yahudi. Bangsa palestina setelah tahun 1967 pun berada di bawah pengawasan Israel dan hanya tinggal di daerah tertentu di Yerusalem Timur, yang salah satu diantaranya berluas 235 hektar. "Kamp penampungan" tersebut bagaikan kampung kumuh, tidak higienis. Inikah "pembalasan" Yahudi atas yang dialaminya dari Nazi Jerman (peristiwa Holocoust,1930-an).

Politik Dalam Negeri Israel

Menurut teori hubungan internasional, politik luar negeri suatu negara merupakan "perpanjangan tangan" politik dalam negerinya, oleh karena itu selayaknya kita mengetahui politik dalam negeri Israel terlebih dahulu.
Jauh sebelum Israel berdiri, komunitas Yahudi mendirikan 'Histadrut' tahun 1920. Histadrut yang terdiri dari para buruh Yahudi ini memiliki peranan yang cukup penting dalam kiprah ekonomi dan politik Israel (interest group). Histadrut ini jugalah yang mengorganisir imigran, menyiapkan pasukan (militer), membangkitkan kebudayaan dan bahasa Yahudi.  Awalnya aspirasi mereka disalurkan dalam Partai Buruh, namun akhirnya terpecah dan ada yang mendukung partai Likud. Israel adalah penganut demokrasi parlementer yang meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga kekuasaan ini dipisah dan bekerja 'saling mengawasi' (checks dan balances). Presiden dipilih oleh knesset (legislatif) sebagai simbol pemersatu. Pemerintahan dipegang oleh perdana menteri, dan bertanggung jawab kepada knesset. PM haruslah anggota knesset.
Israel menganut sistem multi partai. Tiap pemilu ada puluhan parpol yang bersaing, namun yang dapat menduduki knesset adalah yang menperoleh suara minimal 1% dari jumlah pemilih. Partai-partai ini dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok. Pertama, Partai Buruh yang dihimpun dari para buruh Yahudi di Palestina dan imigran awal.  Kedua, Partai Likud  merupakan saluran politik Yahudi asal Eropa ('Heredim') yang datang tahun 30-an yang umumnya datang akibat kekejaman Nazi.
Umumnya orang-orang partai buruh lebih 'menghormati' bangsa Arab, sebaliknya orang Likud mengusir orang Arab dari negerinya. Kelompok ketiga adalah partai-partai agama. Kelompok keempat adalah partai-partai Arab. Dari sekian kelompok partai yang menjadi besar dan berpengaruh adalah Partai Buruh (tokohnya a.l. Simon Peres, Yitzhak Rabin), dan Partai Likud (tokohnya a.l. Yitzhak Samir, Ariel Sharon, Benyamin Netanyahu). Yang lain hanyalah partai kecil yang kadang-kadang bisa menentukan kemenangan salah satu blok. Bagi masyarakat Israel gerakan 'intifadhah' dianggap sebagai ancaman. Untuk menghadapi masalah ini kedua partai sepakat mengakhirinya, tetapi cara mereka agak berbeda. Likud ingin menyelesaikan dengan kekerasan, serta pengusiran hingga tidak ada lagi orang Palestina di Israel, sedangkan Partai Buruh  ingin menyelesaikan dengan 'damai'. Sikap Likud kerap dikecam beberapa orang Israel sendiri sedangkan Buruh dianggap tidak realistik. Tapi keduanya menganggap wakil Palestina adalah PLO (kelompok nasionalis-sekular-pragmatis) dengan menafikan kelompok revivalis "HAMAS" serta "Jihad Islam".

Politik Luar Negeri Israel

Politik luar negeri Israel dijalankan berdasarkan kepentingan dalam negerinya. Maka sedapat mungkin memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan dalam negeri. Hal ini mengingat sejarah berdirinya negara Israel merasa  keamanan dalam negerinya juga merupakan salah satu fungsi diplomatik internasionalnya.  Andersen (1982) membagi kebijakan luar negeri Israel dalam tiga fase :

-       Fase pertama di mana Israel masih disibukkan dengan pendirian negara. Israel membutuhkan pengakuan internasional.  Hubungan luar negeri dijalankan disesuaikan dengan kebutuhan ini.
-       Fase kedua, politik Israel lebih menitik beratkan pada kepentingan domestik. Pembangunan dalam negeri tergantung pada keamanan daerah pendudukan/perbatasan.  Politik "carrot and stick" dijalankan dalam berhubungan dengan negara lain. Politik "carrot" dijalankan terhadap negara yang mau bernegosiasi dan kerjasama dengan Israel, sedangkan politik "stick" untuk menunjukkan bahwa Israel superior di bidang militer.
-       Fase ketiga, Israel menerapkan politik LN yang lebih pragmatis. Misalnya setelah dipimpin Yitzhak Rabin (P.Buruh) Israel mau berunding dengan PLO yang semula dianggap teroris, dan mau 'berbagi' lahan yang direbutnya tahun 1967, walaupun terbatas. Namun itu semua tidak menunjukkan perubahan yang berarti bagi mayoritas bangsa Palestina (yang umumnya hidup dalam pengasingan, di Yordania, dsb.). Pelanggaran demi pelanggaran terus dijalani Israel, tidak satupun penguasa Israel (dari kubu Likud maupun Buruh) yang memiliki komitmen mengembalikan wilayah yang dirampasnya dari bangsa Palestina.
-       Adapun langkah 'pragmatis' seperti janji memberikan wilayah terbatas lebih dimaksudkan untuk mendapatkan simpati dunia. Agar negara Israel tetap berdiri dan memperkuat eksistensinya. Politik Luar negerinya pun tidak lepas dari peran lobi-lobi (bisnis/politik) Yahudi di berbagai negara, termasuk AS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar