Mencermati perkembangan perlakukan yang tidak adil bangsa Yahudi Israel dengan bangsa Palestina menggambarkan sebuah pertunjukan kesewenangan dan penindasan atas sebuah bangsa yang berdaulat. Kemestian sebuah aktifitas hubungan kenegaraan harusnya dilandasi semangat dan prinsip kesamaan, tapi yang terjadi di sana adalah sebuah kezaliman yang luar biasa. Dan sayangnya respon yang ada, termasuk tuntutan masyarakat internasional (Indonesia juga) untuk mengurangi agresifitas Zionis Yahudi Israel terhadap bangsa Palestina sangatlah minim. Belum lagi media massa ternama dunia yang menjadi rujukan informasi masyarakat internasional berdiri dengan lobby Yahudi di belakangnya. Sehingga kita bisa melihat ekspose informasi yang
ada dengan kebutuhan mengetahui persoalan yang nyata terjadi menjadi sangat tidak seimbang. Apalagi pengalihan opini dunia berubah menjadi tema-tema terorisme (terkait dengan kasus penyerangan 11 September 2001) yang seolah-olah menjadi kewajiban setiap bangsa untuk ikut serta terlibat didalamnya menambah hilangnya persoalan Palestina dari benak masyarakat internasional.
Satu perspektif dalam komunikasi internasional adalah perspektif propaganda. Kata yang justru sekarang ini di’emoh’i masyarakat karena negatifnya pengertian yang ada. Padahal kalau merujuk asal kata dan sejarah awal propaganda adalah sebuah misi suci untuk kebaikan (misi penyebaran agama Katolik Roma oleh Paus Gregorius XV). Bila kita melihat hubungan Yahudi Israel dan Palestina sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari kacamata propaganda. Dan ini disalurkan lewat media massa internasional. Kita bisa menerima segala informasi termasuk tentang Palestina dari liputan media massa internasional. Dan ini menjadi faktor penting masuknya propaganda pembenaran aktifitas Yahudi Israel dan menjadi bias atau bahkan keliru perjuangan bangsa Palestina dalam menegakkan kedaulatannya.
Propaganda Zionisme Israel
Kita perlu melihat bagaimana kiprah bangsa Yahudi Israel sebelum membedah aktifitas propaganda yang mereka lakukan. Zionisme adalah sebuah gerakan politik untuk mendirikan negara Yahudi merdeka di tanah yang dijanjikan (versi Yahudi adalah Palestina). Zionisme muncul akibat pembelokan ideologi Yahudi dari spiritualisme religius ke nasionalisme Israel yang dicetuskan oleh pendiri Zionisme Theodore Herzl. Gerakan ini sebenarnya mendapat perlawanan dari kekhalifahan Turki Utsmani di bawah khalifah Abdul Hamid II. Sayangnya, akibat persekongkolan dan pengkhianatan dari pihak internal khalifah ini akhirnya dibantai dan dihilangkanlah sistem kekhalifahan versi Islam oleh Mustafa Kemal dengan sistem sekulerismenya.
Gerakan Zionisme ini mula-mula didukung oleh Inggris sebagai pendukung utama Yahudi internasional sebelum akhirnya Amerika sebagai pihak yang paling berkepentingan dalam mempertahankan eksistensi bangsa Yahudi di Palestina. Sampai-sampai di lembaga sekelas PBB pun tidak sanggup berbuat banyak ketika dengan pongahnya Amerika melakukan hak veto penolakan diberlakukan ancaman militer atau tindakan lain seperti kalimat kutukan terhadap yahudi Israel.
Berbagai dampak buruk yang diakibatkan oleh Zionisme Israel juga tak lepas dari propaganda yang dilancarkannya. Sebab, tentunya sangat sulit mendirikan sebuah negara merdeka di negara Palestina tanpa kekerasan fisik. Roger Geraudy mengatakan Zionisme Israel memperoleh pembenarannya setelah sebelumnya menanamkan dan melontarkan mitos-mitos yang berujung pada dukungan akan berdirinya negara Israel. Mitos itu antara lain, bahwa merekalah yang paling berhak atas tanah Palestina, mitos bangsa terpilih, mitos kekejaman Nazi Hitler atas orang-orang Yahudi yang sampai sekarang tidak pernah terbukti kebenaran jumlah korban secara resmi. Padahal mitos ini tak lain adalah usaha propaganda Yahudi untuk mengabsahkan perilaku Zionisme Israel. Termasuk mitos bahwa mereka adalah yang paling baik adalah adanya larangan kawin dengan etnis lain. Mereka menganggap diri yang suci, dengan mengatakan etnis lain sebagai ‘darah yang tidak suci’.
Salah satu contoh usaha perebutan paksa dalam mendirikan negara merdeka yang mendapat pembenaran pernah diungkapkan dalam hariab besar Israel Ediot Aharonoth, 14 Juli 1972, “tidak akan ada Zionisme, kolonisasi negara Yahudi, tanpa pengusiran orang Arab dan penyerobotan tanahnya”.
Dengan memakai teror, mereka berhasil menguasai tanah Palestina. Peristiwa Deir Yassin adalah sebagai contoh yang menarik. Pada tanggal 9 April 1948, melalui metode yang identik dengan yang dilakukan Nazi di Oaradour (Prancis), sebanyak 254 penduduk Palestina dibantai oleh pasukan Irgun dengan komando Menahen Begin (padahal mereka sangat anti Nazi Jerman tapi justru mengikuti caranya). Bahkan ia, dengan congkak mengatakan tak akan ada tanah Israel tanpa peristiwa Deir Yassin. Israel berhasil merampas 2/3 wilayah (70.000 ha dari 110.000 ha) yang dimiliki orang Arab. Padahal tahun 1917 orang Israel hanya memiliki tanah seluas 2,5 %. Tahun 1982 mereka sudah menguasai tanah seluas 93 %. Bagi Zionisme Israel, mengusir orang Palestina dan merampas tanah mereka adalah tindakan yang harus dipertimbangkan secara sistematis.
Zionisme Israel juga membesar-besarkan pembunuhan oleh Nazi. Ini dimaksudkan agar berbagai perilaku kekerasannya mendapat legitimasi atau tertutupi. Kesan yang timbul, mereka adalah bangsa yang tertindas yang kemudian diperbolehkan mengatasi ketertindasannya itu denganmenindas bangsa lain. Padahal itu tak lain adalah ambisi mereka menguasai tanah di Palestina.
Akibat propaganda Zionisme Israel tersebut jumlah korban pun semakin meningkat. Bahkan tak pernah surut Zionisme Israel untuk selalu menyulut pertikaian. Ariel Sharon yang sekarang menjabat perdana menteri Israel dulunya adalah seorang arsitek berkepala dingin dalam melakukan invasi ke Lebanon pada tahun 1982. Dia juga yang menyulut perang dengan melakukan kunjungan di Masjidil Aqsa. Termasuk contoh lain adalah usaha seorang Yahudi militan dalam melakukan pembunuhan sadis pada tanggal 25 Februari 1994 di mesjid Hebron saat jamaah sholat Subuh menunaikan peribadahannya (data dikutip dari Nurudin, 2001)
Propaganda Zionis Israel lainnya adalah propaganda perang sejak perang pertama tahun 1948, perang Sinai 1956, perang Enam Hari 1967, perang Yom Kipur 1973 dan perang tak terbuka lainnya sampai sekarang. Dan ini telah menelan banyak sekali korban dalam usaha perebutan tanah Palestina baik harta dan juga nyawa. Padahal secara resmi berbagai perundingan dilakukan baik atas prakarsa PBB atau sekalipun Amerika tapi ternyata aktifitas Zionisme Israel tidak juga berkurang bahkan malah menjadi-jadi dan menjadi media seolah-olah menjadi upaya pembenar sepak terjang mereka. Dibanding dengan permasalahan Iraq sekarang ini dimana Amerika telah menyiapkan armada perangnya terasa sekali kistimewaan yang diberikan dunia, khususnya Amerika terhadap Zionisme Israel.
Kedaulatan Negara Palestina
Dalam persoalan kedaulatan sebuah negara sebenarnya telah ada aturan baku yang mesti ditaati oleh semua negara di dunia. Dimana PBB telah memberikan landasan pokok dalam melakukan perilaku internasional yaitu harus ada sovereign equality yakni persamaan kedaulatan sebuah negara dengan negara yang lain. Dari sini jelas telah terjadi penyelewengan dimana Zionisme Israel justru malah menganeksasi kedaulatan dan integritas bangsa Palestina dengan dasar alasan mitos yang dibenarkan. Kedua, adanya equal rights yakni persamaan dalam menerima hak asasinya masing-masing. Dan ini juga terdapat pelanggaran dimana warga yang telah menghuni sejak lama dengan dasar kewarga negaraan yang jelas harus mendapat pengusiran dan kehilangan tanah dan mata pencaharian. Belum lagi kehilangan hak asasi yang paling asasi yaitu hak untuk hidup, karena penindasan yang Zionisme Israel lakukan ternyata juga telah merenggut korban tidak saja orang dewasa tapi juga anak-anak dan para wanita. Ketiga, self determinations yaitu hak untuk menentukan nasib dan kehendak sendiri, Jelas sekarang ini yang terjadi sebaliknya, warga Palestina justru mendapatkan banyak ancaman berupa aturan yang mengikat kemana mereka harus beraktifitas. Termasuk melakukan aktifitas hubungan internasional penuh. Padahal pemerintahan otonom Palestina sudah mendapat kesejajaran dengan negara lain.
Realitas di atas menunjukkan ketidak seimbangan yang sangat kontras terjadi dalam wacana komunikasi internasional yang ada dalam media massa global. Dalam perbandingan kasus seperti Iraq eksploitasi kasus menjadi sangat detil dan dalam sehingga harus dan terus menjadi berita utama. Termasuk persoalan Al Qaedah dengan terorismenya. Walaupun ini juga menuai kritik oleh seorang diplomat Jerman dengan mengatakan apakah tidak persoalan lain di dunia ini kecuali terorisme.
Akibat minimnya informasi yang nyata atau kalaupun ada sangat bias seperti persoalan bom syahid yang telah mendapat legitimasi fatwa ulama-ulama dunia bahkan Ulama Khos dari NU di Indonesia juga mengamini, menjadi negatif ketika dikatakan sebagai bom bunuh diri. Mungkin secara aksi sama tapi sangat jauh pengertian dan tujannya, jelas menjadikan respon dan tanggung jawab kita sebagai warga masyarakat internasional pun berkurang. Tidak ada sense of belonging disana. Apalagi dilihat dari jarak geografis. Bukankah nasiolisme sekarang ini dimaknai sebagai batas antara tanah dan air. Dan karenanya persoalan Palestina bukan lagi persoalan kita sebagai warga masyarakat Indonesia. Bisa jadi karena kasus ini, nanti akan berimbas kepada keadaan dunia atau khususnya Indonesia dimana ketika terjadi sebuah kasus penindasan atau pelanggaran hak asasi manusia tetapi karena alasan berbeda lokasi seperti TKI Nunukan rasa peduli kita pun berkurang. Bukankah telah dicontohkan oleh presiden kita yang justru berjalan-jalan keluar negeri sedangkan persoalan dalam negeri belumlah tuntas. Apalagi kalau dikaitkan dengan perubahan kesejahteraan ekonomi. Sangat jauh panggang dari api?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar