Pada
dimensi spiritual dan malakut, ada serangkaian keagungan Imam Ali as
yang tentu sulit bagi kita untuk menjangkaunya dengan pemahaman kita
yang terbatas. Pengetahuan kita tidak akan dapat meliput secara memadai
hakikat-hakikat yang terpendam di kedalaman batin dan jatidirinya, yaitu
hakikat-hakikat yang memancar dan kemudian mengalir dari lisannya yang
mulia, hakikat kedekatannya dengan Allah, kekuatan zikirnya kepada Allah
yang telah menata semua perilaku, tutur kata, dan segenap keadaanya.
Meski begitu, kami tetap meyakini adanya hakikat tersebut, dan kami
bangga dengan ini karena keberadaannya telah kami dengar dari
sumber-sumber yang sudah terbukti kejujurannya.
Dari
sisi lain, ada pula serangkaian keutamaan Amirul Mukminin Ali bin Abi
Thalib as yang memang merupakan contoh dan teladan yang sudah menjadi
pusat perhatian segenap masyarakat sejarah. Keutamaan ini menjadi
barometer dan tolok ukur bagi manusia dalam berbuat sesuatu. Ia teladan
bukan hanya bagi kelompok tertentu, bahkan bukan pula teladan di mata
umat Islam saja. Amirul Mukminin memiliki daya tarik sedemikian besar di
atas panggung sejarah tak lain karena keutamaan-keutamaan tersebut.
Sebab itu, orang yang tidak menerima Islam atau pun tidak mempercayai
kepemimpinan (imamah)-nya tetap terkesima dan kagum terhadap keagungan
karakteristik Imam Ali as.
Atas dasar ini,
karakteristik Imam Ali as adalah teladan bagi semua orang, terutama bagi
kita yang sekarang memiliki pemerintahan Islam dan kita klaim sebagai
sebuah pemerintahan Alawi. Ungkapan rasa cinta dan kagum kepada Imam Ali
tak cukup dengan hanya menyebut Ali adalah Amirul Mukminin tanpa
mengikuti perilaku yang telah beliau ajarkan kepada kita dengan lisan
dan amal. Saya dan orang-orang seperti saya sebagai orang-orang yang
duduk di pemerintahan ini, kami jelas memiliki tanggungjawab yang lebih
besar, karena kami harus benar-benar meneladani Imam Ali as dan menjauhi
perbuatan yang dibencinya.
Bisa jadi orang
membanding-bandingkan siapa kamu dan siapa Amirul Mukminin; Kekuatan
beliau, kemampuan, keimanan, kesabaran, dan kekuatan ruhaninya,
sedangkan kamu siapa? Kata-kata seperti ini tentu saja benar. Kita jelas
bukan apa-apa bagi Imam Ali as. Bahkan kita tidak patut mengatakan
bahwa beliau lebih baik dan lebih mulia, sedangkan kita lebih rendah.
Pembandingan ini jelas salah. Imam Ali berada di atas bintang yang
tertinggi, sedangkan kita terperosok dalam kubangan lumpur yang kotor.
Dari segi apa saja kita melihat, akan tetap terlihat betapa jauhnya
jarak antara kita dan beliau. Namun begitu, kita tetap bisa memilih
arah, jejak, dan tujuan yang telah ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau.
Keseimbangan Dalam Kepribadian Imam Ali as
Dari
aspek manapun kepribadian Imam Ali as dilihat pasti menyuguhkan
keajaiban. Ini bukan ungkapan eksesif, melainkan ekspresi dari ketidak
berdayaan seseorang yang selama bertahun-tahun menghayati riwayat hidup
Amirul Mukminin Ali bin Thalib as. Ini adalah perasaan yang mengalir
dari dalam lubuk batin manusia ketika tidak berdaya menyelam jauh ke
dalam kepribadian agung beliau dengan hanya menggunakan media akal,
pikiran, dan penalaran biasa. Beliau adalah keajaiban dari segenap sisi.
Imam Ali as pada dasarnya adalah miniatur dari gurunya, Nabi Besar
Muhammad saw. Sungguhpun begitu, pribadi agung Imam Ali yang terpampang
di depan kita, Imam yang merasa kerdil dan hina di depan gurunya ini,
ketika kita tatap dengan penalaran manusiawi maka yang terlihat ternyata
adalah suatu kepribadian dengan level yang berada di atas manusia.
Salah
satu poin yang menarik untuk dibicarakan menyangkut Amirul Mukminin as
ialah keseimbangan dalam kepribadian Amirul Mukminin as. Dalam diri
beliau terdapat berbagai karakter yang sepintas lalu tampak paradoksal
atau saling bertentangan satu sama lain. Sedemikian harmonisnya
karakter-karakter ini sehingga menyuguhkan nuansa keindahan yang amat
sangat. Manusia sulit membayangkan karakter-karakter ini bisa
berintegrasi dalam satu pribadi. Banyak sekali karakter-karakter seperti
ini yang tertanam dalam diri Imam Ali as, bukan hanya satu atau dua
karakter saja. Dan kita di sini hanya akan menyebut beberapa karakter
saja.
Sekedar contoh, kelembutan dan kasih sayang
jelas tidak singkrun dengan keteguhan dan ketegasan. Namun, dalam diri
Imam Ali, kelembutan dan rasa kasih sayang tertanam sedemikian sempurna
sehingga sulit untuk mencari tandingannya. Hal ini antara lain tergambar
dalam kisah Imam Ali as ketika mendatangi rumah seorang janda yang
memiliki seorang anak kecil. Di rumah itu beliau sudi membantu janda itu
menghidupkan tungku api, membuatkan roti dan makanan. Usai itu beliau
tak segan-segan menyuapi anak kecil janda itu dengan tangannya sendiri.
Tak cukup dengan itu, beliau selalu mengajak anak yatim itu bercanda dan
bermain agar terhibur. Beliau memanggul dan membawanya berjalan keluar
sehingga anak yatim itu benar-benar terhibur.
Sedemikian
penyayangnya Imam Ali as sehingga seorang tokoh besar saat itu berkata:
"Aku melihat sendiri bagaimana beliau menyuapkan madu ke mulut
anak-anak yatim dan fakir dengan jemari beliau sendiri sehingga aku
berkata dalam hati betapa senangnya seandainya aku adalah anak yatim.
(Biharul Anwar juz 41 hal.29)
Karakter beliau
juga tergambar dalam peristiwa Nahrawan. Saat itu ada sejumlah orang
berniat melakukan aksi makar untuk menggulingkan pemerintahan Imam Ali
as dengan berbagai macam dalih yang mengada-ada. Ketika mereka berada di
hadapan Imam Ali as, beliau bernasihat kepada mereka, tetapi ternyata
sia-sia. Argumentasi beliau juga tak didengar. Mediator pun didatangkan,
tetapi hasilnya tetap nihil. Beliau lalu memberikan bantuan keuangan
disertai janji menarik, tetapi hasilnya juga nol.
Suasana
tetap panas dan berujung pada kondisi frontal. Imam Ali as lagi-lagi
mencoba memberi nasihat, tetapi hasilnya masih saja nol. Di situ Imam
Ali as akhirnya tak menemukan cara lain kecuali tindakan tegas, karena
lawan-lawannya sudah terbukti berniat makar dan busuk. Mereka adalah
kaum Khawarij. Khawarij seringkali digambarkan secara tidak tepat. Saya
prihatin ketika dalam berbagai diskusi, syair, pidato, film, dan lain
sebagainya, Khawarij digambarkan sebagai kelompok yang mengindahkan
kesucian yang kering. Ini jelas salah. Kesucian apa yang bisa didapat
dari mereka. Di zaman Imam Ali as banyak orang yang bekerja hanya untuk
dirinya sendiri. Kalau ingin mengetahui siapa Khawarij, maka contohnya
ada di zaman kita sekarang, yaitu kelompok Munafikin Khalq. Anda tentu
ingat.
Kenali Khawarij secara lebih baik. Mereka
adalah orang-orang yang hanya menampilkan kulit luar agama, ayat-ayat
Al-Quran, menghafal Al-Quran dan Nahjul Balaghah. Mereka terkesan
berpegang teguh pada bagian-bagian internal agama, tetapi kenyataannya
menolak hakikat dan prinsip dari agama itu sendiri. Mereka fanatik pada
cara ini. Mereka menyebut-nyebut nama Allah, tetapi kenyataannya mereka
diperbudak oleh setan. Kelompok Munafikin juga demikian. Pada saat
tertentu mengaku konsisten pada agama, tetapi ketika ada kesempatan
untuk merongrong revolusi, melawan Imam Khomaini dan pemerintahan
Republik Islam, mereka tak segan-segan bekerjasama dengan AS, Zionis,
Saddam, dan siapa saja yang mau bekerja dan melayani ambisi mereka.
Khawarij adalah manusia jenis ini.
Amirul Mukminin
bertindak tegas di depan mereka, dan inilah sosok Ali as; "Keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka."
(QS:48:29)
Dua karakter yang berbeda telah
tertuang dalam diri Imam Ali as dengan begitu indah. Sosok manusia
dengan kelembutan dan kasih sayang sedemikian rupa tidak sampai hati
menyaksikan nasib anak yatim sehingga berkata: "Aku tidak akan pergi
sebelum aku dapat membuat anak ini tertawa." Namun, ketika berhadapan
dengan manusia-manusia pandir yang jahat dan tak segan-segan membunuh
orang yang tak berdosa, beliau berdiri tegak menghadang.
Contoh
lain ialah menyangkut wara' dan pemerintahannya. Ini sungguh
menakjubkan. Apa arti wara'? Wara' ialah orang yang senantiasa
menghindari segala syubhat yang menebar aroma penentangan terhadap
ajaran agama. Bertolak dari sini, apa lantas arti pemerintahan? Apa
mungkin orang yang berada dalam pemerintahan bisa menjadi orang yang
wara'? Kita sendiri sekarang berada dalam pemerintahan, sehingga terasa
penting sekali ketika karakteristik ini tertanam dalam diri seseorang.
Secara umum, orang yang berada dalam pemerintahan selalu mengadapi
berbagai macam persoalan. UU yang dijalankan sudah pasti membawa banyak
keuntungan, tetapi bukan tak mungkin seseorang akan terjebak pada
perbuatan zalim terhadap orang lain. Bagaimana seorang manusia dapat
menjaga ketakwaan sedemikian rupa di depan persoalan-persoalan rumit dan
tak terkirakan itu?
Sepintas lalu pemerintahan
tidak akan pernah harmoni dengan ketakwaan. Tapi Amirul Mukminin
ternyata dapat memadukan keduanya dengan sempurna, dan ini sungguh
menakjubkan. Beliau tidak pernah terikat pada orang. Beliau dapat dengan
mudah mencopot bawahannya jika memang dinilai lemah dan tidak layak.
Muhammad bin Abu Bakar, anak tirinya, beliau perlakukan seperti anak
sendiri dan sangat beliau cintai. Muhammad bin Abu Bakar juga memandang
Imam Ali as seperti ayahnya sendiri. Muhammad adalah putera bungsu Abu
Bakar dan merupakan salah satu murid dan pengikut setia Imam Ali. Dia
besar di bawah asuhan Imam Ali as.
Imam Ali as
pernah mengirim Muhammad ke Mesir sebagai gubernur wilayah ini. Tetapi
di kemudian hari beliau melayangkan surat kepada Muhammad berisikan
pernyataan sebagai berikut; "Puteraku, aku menilai kamu tidak layak
menjabat di Mesir. Karena itu kamu aku tarik lagi dan aku gantikan
dengan Malik al-Asytar." Muhammad bin Abu Bakar tentu saja kecewa dengan
keputusan ini. Tapi ini tidak dipedulikan oleh Imam Ali as, walaupun
Muhammad adalah salah satu pribadi besar, cukup berjasa dalam Perang
Jamal, antusias dalam membaiat Imam Ali, serta merupakan putera Abu
Bakar dan adik Ummul Mukminin ‘Aisyah. Ketokohan Muhammad bukannya tak
bernilai di mata Imam Ali a, tetapi beliau tetap tidak mementingkan
masalah kekecewaan Muhammad bin Abu Bakar. Inilah bentuk ketakwaan dan
kewara'an dalam memerintah. Ketakwaan seperti ini sangat diperlukan bagi
manusia dan penting sekali bagi mentalitas pejabat pemerintah. Imam Ali
as telah memperagakan sifat wara' ini dengan sedemikian sempurna.
Contoh
lain ialah kekuatan di sisi keteraniayaannya. Pada zamannya, tak ada
orang yang lebih perkasa dan pemberani di banding Imam Ali as. Sampai
akhir hayatnya, tak ada satupun orang yang mengaku berani berhadapan
dengan Imam Ali. Namun demikian, beliau ternyata adalah orang yang
paling teraniaya pada zamannya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa dia
adalah orang yang paling teraniaya sepanjang sejarah Islam. Keperkasaan
dan keteraniayaan adalah dua karakter yang bertolak belakang satu sama
lain. Orang kuat sepertinya mustahil akan teraniaya, tetapi beliau
ternyata malah teraniaya.
Contoh berikutnya adalah
kezuhudan di sisi progresifitas dan antusiasme untuk menggalang
pembangunan dan kemakmuran. -Mungkin dalam kitab Nahjul Balaghah masalah
zuhud adalag tema yang paling menonjol- Imam Ali a.s adalah sosok yang
paling zuhud dan tak berminat kepada kenikmatan duniawi. Tetapi di saat
yang sama, sepanjang 25 tahun kehidupannya sejak sepeninggal Rasulullah
saw sampai masa pemerintahannya, Imam Ali as tak jarang mengucurkan
uang pribadinya untuk menggalang kemakmuran. Beliau menggalakkan
perkebunan, pertanian, dan pengairan. Ajaibnya, semua itu beliau lakukan
hanya di jalan Allah SWT.
Patut diketahui, Imam
Ali as pada zamannya adalah salah satu orang yang paling besar
penghasilannya. Beliau sendiri pernah berkata, "Sedekahku hari ini
seandainya aku bagi-bagikan kepada Bani Hasyim niscaya akan menjangkau
seluruh anggotanya." (Biharul Anwar juz 41 hal. 43).
Keadilan
Imam Ali as juga sangat patut diteladani. Ketika kita mengatakan
keadilan melekat pada diri Imam Ali as, maka makna awalnya yang dapat
dimengerti ialah bahwa beliau menerapkan keadilan sosial di tengah
masyarakat. Ini memang keadilan, tetapi keadilan yang lebih bermutu lagi
ialah keseimbangan. "Langit dan bumi ditegakkan berdasarkan keadilan."
(‘Awali al-Laali juz 4 hal.103). Alam ciptaan tegak berdasarkan
keseimbangan. Inilah kebenaran. Keadilan dan kebenaran pada akhir adalah
satu makna dan satu hakikat. Karakteristik Imam Ali as adalah
manifestasi keadilan dan keseimbangan. Dalam diri beliau, segala
kebaikan telah ditata pada tempatnya masing-masing dengan begitu rapi
dan indah.
Keutamaan beliau yang lain ialah
keseringannya beristighfar. Doa-doa, munajat, dan istighfar beliau
sangat menarik. Beliau adalah pejuang yang terbiasa dengan medan laga
dan kancah politik. Hampir lima tahun beliau berkuasa atas negara-negara
besar pada masa itu. Wilayah pemerintahan beliau pada masa sekarang
mencakup sekitar 10 negara. Dengan wilayah teritorial sedemikian luas
beliau menjalani kesibukan yang sangat padat. Beliau adalah seorang
politisi besar dan handal. Saat itu, beliau pada dasarnya adalah orang
yang memerintah dunia. Beliau menggerakkan roda-roda besar dalam semua
lini politik, medan laga, masalah sosial, hukum dan hak masyarakat.
Semua ini jelas banyak menyita waktu. Kondisi demikian dapat mencetak
setiap orang menjadi manusia berdimensi tunggal. Begitu pula orang yang
hanya berkecimpung dalam doa dan ibadah. Kondisi kita juga demikian.
Kita berbuat sesuatu di jalan Allah. Tetapi Imam Ali as tidak berkata
dan berbuat demikian. Sebaliknya, beliau adalah pekerja keras dan gigih
sekaligus pengabdi Allah yang sejati.
(Petikan Khutbah Jumat Rahbar pada 31/01/1997)
Karakteristik Pemerintahan Imam Ali as
(Petikan Khutbah Jumat Rahbar pada 31/01/1997)
Karakteristik Pemerintahan Imam Ali as
Pertama,
komitmen penuh kepada agama Allah SWT dan bersikukuh pada perjuangan
menegakkan agama Ilahi. Bukanlah pemerintahan Alawi jika tidak
berprinsipkan perjuangan menegakkan agama Allah SWT. Orang-orang yang
terjun ke medan laga dan terlibat dalam perang pertahanan suci Iran
melawan Irak selama delapan tahun tentu tahu persis apa yang sedang saya
bicarakan. Yang paling dipikirkan oleh setiap prajurit yang terjun ke
medan laga saat itu ialah bagaimana teknik menyerang musuh dan bagaimana
teknik bertahan dan membela diri.
Di tengah
kecamuk perang, seseorang pernah datang kepada Imam Ali as untuk
menanyakan suatu masalah Tauhid. Dia bertanya apa yang dimaksud dengan
kata-kata Ahad dalam surah al-Ikhlash. Ini tentu bukan masalah inti dan
primer, karena dia tidak menanyakan prinsip keberadaan Tuhan itu
sendiri. Dia menanyakan masalah yang masih bersifat sekunder sehingga
ada orang-orang datang menegurnya dan menganggap pertanyaan itu
dilontarkan bukan pada waktunya. Tetapi Imam Ali as sendiri lantas
berkata, "Biarkan saya menjawabnya. Kita berperang adalah dalam rangka
ini." Sikap Imam Ali as ini menandakan betapa peperangan yang diatur
oleh beliau serta darah yang mengalir di jantung Imam dan seluruh garis
besar pemerintahan beliau adalah demi menegakkan agama Allah SWT.
Pemerintahan
apapun yang mendeklarasikan dirinya sebagai pemerintah dan republik
Islam tidak akan pernah menjadi pemerintahan Alawi selagi tidak
bertujuan menegakkan agama Allah, tidak peduli kepada pengamalan agama
masyarakat, tidak memikirkan akidah masyarakat, dan menganggap semua ini
tidak ada hubungan langsung dengan dirinya. Penegakan agama Ilahi
adalah ciri-ciri utama pemerintahahan Imam Ali. Ini adalah induk dari
segala keutamaan Imam Ali as lainnya dan menjalani kehidupan dan
menjalankan roda pemerintahan. Dari situ kemudian timbul keadilan dalam
pemerintahan beliau. Timbul pula semangat kerakyatan dan kepedulian
kepada masyarakat.
Karakteristik kedua
pemerintahan Imam Ali ialah keadilan secara mutlak. Yaitu keadilan yang
sama sekali tidak bersentuhan dengan kepentingan pribadi. Keadilan yang
tidak mungkin akan dibayangi oleh ambisi pribadi. Beliau pernah berujar,
"Demi Allah, jangan harap kalian dapat menyuruhku untuk merebut
kemenangan dengan cara berbuat zalim." (Tuhaful ‘Uqul hal. 185) Beliau
enggan merebut kemenangan melalui cara-cara aniaya. Ini jelas merupakan
satu pernyataan yang sangat cemerlang. Di kancah politik, olimpiade
sains, kancah pemilu, ataupun medan laga, bagaimana sikap Anda apabila
kemenangan bisa dicapai hanya dengan menempuh cara-cara aniaya dan
licik. Imam Ali a.s menyikapinya dengan mengatakan tidak sudi dengan
kemenangan seperti ini. Lebih baik kalah daripada harus menzalimi orang
lain.
Inilah keadilan yang dapat disadap dari
lisan Imam Ali as. Porosnya ialah penegakan keadilan secara mutlak.
Keadilan untuk semua orang dan semua lini; keadilan ekonomi, politik,
sosial, dan moral. Ini adalah salah satu kriteria keadilan dalam
pemerintahan Amirul Mukminin. Beliau tak sudi berbuat zalim, karena ia
merupakan beban bagi beliau. Beliau sendiri juga pantang dizalimi,
walaupun beliau harus kehilangan kepentingannya. Salah satu kezaliman
terbesar ialah diskriminasi, baik dalam pelaksaan hukum ataupun maupun
dalam penerapan ketetapan. Imam Ali as sangat pantang terhadap kezaliman
ini.
Satu lagi keistimewaan pemerintahan Imam Ali
ialah ketakwaan. Segala sesuatu ada simbol atau tandanya. Apa makna
takwa? Takwa ialah kecenderungan yang sangat kuat untuk menempuh jalan
yang benar dalam melakukan segala tindakannya. Singkatnya adalah orang
yang benar-benar menjaga dirinya dalam masalah harta, harga diri orang
lain, berhati-hati dalam menentukan pilihan, dan berhati-hati dalam
bertutur kata agar tidak menyimpang dari jalurnya yang wajar dan benar.
Coba
perhatikan kitab Nahjul Balaghah dari awal hingga akhir, maka akan
terlihat bagaimana Nahjul Balaghah dari ujung ke ujung sangat sarat
dengan anjuran untuk bertakwa dan bersuci diri. Tanpa ketakwaan,
seseorang tidak akan dapat menegakkan agama. Orang yang berlumur dosa
tidak akan dapat menggapai hakikat, apalagi menyelaminya. Ketakwaan
adalah salah satu karakteristik pemerintahan Imam Ali as, dan inipun
sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat. Dalam kamus logika Imam Ali
as, meski mengaku sebagai manifestasi kebenaran dan berhak atas
kekhalifahan, beliau memilih menyendiri dari keramaian. Beliau baru
tampil lagi setelah masyarakat melancarkan tekanan kuat agar beliau
memegang kendali pemerintahan. Tentang ini berliau berkata: "Seandainya
masyarakat tidak menekan saya, tidak pula bersikeras dan tidak
mengajukan aspirasi yang begitu besar, maka saya tidak akan duduk
sebagai khalifah." Memiliki kekuasaan dan kekuatan bagi Imam Ali as
tidak memiliki daya tarik sama sekali. Angan-angan untuk menjadi
penguasa tidak memiliki daya tarik bagi orang yang berhasil
mengendalikan hawa nafsunya. Dia hanya akan mencari-cari
kewajiban-kewajibannya dalam syariat. Beliau berjuang menegakkan
kebenaran. Rakyat sudah menyerahkan segala urusan kepada beliau dan
beliaupun menerima lalu menjaga pemerintahan.
(Petikan
Khutbah Rahbar di depan masyarakat yang sedang berkumpul memperingati
hari lahir Imam Ali bin Abi Thalib as. 21/09/2002)
Pembangkangan Terhadap Pemerintahan Imam Ali as
Kekuatan
sekaligus keteraniayaan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as tergambar
jelas dalam beberapa peristiwa pemberontakan. Dalam kurun waktu kurang
dari lima tahun masa pemerintahan Imam Ali as terdapat tiga kelompok
pembangkang yang disebut Qasithin, Nakitsin, dan Mariqin. Seperti
diriwayatkan, baik oleh Syiah maupun Sunni, Imam Ali as mengatakan, "Aku
diperintahkan untuk memerangi Qasithin, Nakitsin, dan Mariqin.
(Da-a'imul Islam juz 1 hal.388). Tiga kelompok ini mendapatkan
nama-namanya dari Imam Ali as sendiri. Qasitin artinya ialah kaum
penindas. Kosa kata qasatha - yaqsithu - yang berarti berbuat zalim atau
menindas ketika digunakan dalam bentuk tunggal (mujarrad) sama artinya
dengan kata-kata jaara - yajuuru dan dzalama - yadzhlimu. Namun, ketika
digunakan dalam bentuk tsulatsi maziid, yaitu aqstha - yuqsithu -
dengan wazan if'aal maka artinya justru ‘berbuat seimbang atau adil'.
Sebab itu, qisth dalam bentuk (wazan) if'aal berarti ‘adil', sedangkan
ketika diubah menjadi qasatha - yaqsithu maka artinya berbalik menjadi
‘berbuat zalim' atau ‘menindas'. Demikian asal kata-kata qasithin, yang
artinya tak lain ialah kaum penindas.
Siapa kaum
qashitin? Mereka adalah sekelompok orang memeluk Islam hanya sebagai
baju luar belaka sebagai bentuk kamuflase dalam memburu ambisi. Sebab
itu mereka sangat memusuhi pemerintahan ‘Alawi. Apapun yang dilakukan
Imam Ali as untuk membenahi mereka selalu berakhir sia-sia. Dengan
demikian, pada prinsipnya mereka itu adalah kelompok yang sama sekali
tidak menerima pemerintahan Alawi. Mereka menginginkan adanya
pemerintahan yang lain dan itupun harus di tangan mereka. Dan naifnya,
dunia Islam di kemudian hari jatuh ke tangan mereka. Di zaman Imam Ali
as mereka tak lain adalah kelompok yang dipimpin oleh Mu'awiyah bin Abu
Sufyan. Kepada sebagian sahabat Nabi mereka takzim dan simpatik. Di
kemudian hari mereka pun berkuasa dan lantas melakukan berbagai
penindasan. Di zaman pemerintahan Yazid terjadilah tragedi Karbala.
Pemerintahan berlanjut ke tangan Marwan, Abdul Maluk, Hajjaj bin Yusuf
as-Tsaqafi, dan Yusuf bin Umar as-Tsaqafi. Sejarah mencatat pemerintahan
mereka dalam lembaran-lembaran kelam dan sarat dengan adegan-adegan
yang menggidikkan bulu roma.
Pemerintahan Hajjaj
-yang mengerikan itu- misalnya, adalah pemerintahan yang benihnya
ditanam oleh Mu'awiyah dengan mengobarkan perang melawan Amirul Mukminin
Ali a.s. Sejak awal memang sudah dapat dibaca apa sebenarnya tujuan
yang mereka buru. Mereka hanya memburu pemerintahan duniawi semata.
Mereka menjadikan ego dan kepentingan pribadi sebagai poros. Pola ini
menjadi stereotipe pemerintahan Bani Umayyah secara turun temurun. Kita
di sini tentu saja tidak sedang membahas persoalan akidah dan teologi.
Kita semata-mata hanya membahas naskah sejarah, sejarah secara umum,
bukan sejarah Syiah semata. Tarikh Ibnu Al-Atsir, tarikh Ibnu Qutaibah,
dan riwayat-riwayat sejarah lainnya yang kebetulan mencatatnya dengan
baik dan bahkan saya ingat betul. Tapi pada dasarnya kita sedang
membicarakan masalah-masalah yang sudah diakui oleh umat Islam, dan
bukan masalah pemikiran yang diperdebatkan oleh Syiah dan Sunni.
Kelompok
kedua yang memerangi Imam Ali adalah Nakitsin yang artinya ialah kaum
pengingkar janji. Maksudnya ialah bahwa mereka telah mengingkari bai'at.
Mereka tadinya membaiat Imam Ali tetapi kemudian melanggar bai'at.
Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok kedua ini tadinya adalah
muslim dan merupakan golongan Imam Ali sendiri. Namun, mereka ternyata
juga memendam sifat ego sehingga hanya sudi menerima pemerintahan Imam
Ali as selagi mereka mendapatkan bagian yang memuaskan dalam kekuasaan,
selagi mereka diajak musyawarah, dilimpahi tanggungjawab, diberi
kekuasaan, dan harta benda yang masuk ke kantung mereka tidak lagi
diusik atau dipertanyakan.
Memang, Sa'ad bin Abi
Waqqas dan beberapa tokoh lainnya sejak awal tidak berbaiat kepada Imam
Ali as. Tetapi, sejumlah tokoh sahabat lain termasuk, Talhah dan Zubair,
berbaiat kepada beliau. Sayangnya, selang tiga atau empat bulan
kemudian mereka menolak dan membangkang. Ini karena pemerintahan Imam
Ali bukanlah pemerintahan nepotis dan kumpulan para kroni. Orang yang
memerintah harus siap menanggalkan ego dan mengabaikan haknya sendiri
dan keluarganya. Para pendahulu Islam harus lebih mengedepankan hak
orang lain daripada haknya sendiri. Tidak ragu-ragu dalam menerapkan
hukum Ilahi.
Pemerintahan inilah yang mengecewakan
para lawan Imam Ali as. Mereka memilih keluar dari pemerintahan beliau
dan bahkan mengobarkan perang Jamal terhadap beliau. Ini jelas petaka
besar. Apalagi Ummul Mukminin Aisyah ikut memerangi Imam Ali as. Tapi
tentu saja Imam Ali as berhasil memenangi pertempuran dan menjernihkan
duduk persoalan. Banyak yang tewas dalam perang ini. Inilah kelompok
kedua yang selama beberapa waktu mengusik pemerintahan Imam Ali as.
Kelompok
ketiga, yaitu Mariqin, berarti kaum yang melarikan diri. Dalam penamaan
ini, keluarnya mereka dari Islam digambarkan persis seperti anak panah
yang melesat jauh dari busurnya. Hanya saja, mereka tetap mengenakan
jubah Islam dan selalu membawa-bawa nama Islam. Merekalah yang juga
disebut Khawarij. Mereka adalah komoditas yang fondasinya hanyalah
pemahaman-pemahaman menyimpang dan beracun. Imam Ali as juga berhasil
mengatasi mereka. Mereka kalah telak melawan pasukan Imam Ali as dalam
perang Nahrawan. Namun, sisa-sisa mereka masih berkeliaran di tengah
masyarakat hingga mereka berhasil membunuh Imam Ali as.
Sebagian
orang menyebut Khawarij sebagai kelompok yang menjalankan agama secara
kaku dan kering. Ini tidak tepat, karena yang dibahas bukan soal kering
atau basahnya pola suatu kelompok dalam menjalankan ajaran agama. Ini
tidak ada sangkut pautnya dengan arti stigma Khawarij. Khawarij adalah
kelompok yang terjun ke lapangan hanya untuk melancarkan pemberontakan
dan menyulut api krisis. Masalah yang kita bahas adalah perang melawan
Imam Ali as, yaitu perang yang dilandasi dengan misi, media, dan tujuan
yang salah.
Buramnya Barisan Umat, Perbedaan Pemerintahan Ali as Dengan Pemerintahan Nabi SAW.
Buramnya Barisan Umat, Perbedaan Pemerintahan Ali as Dengan Pemerintahan Nabi SAW.
Perbedaan
utama antara era pemerintahan Imam Ali as dan era pemerintahan Nabi
Muhammad SAW ialah bahwa pada era Nabi SAW barisan yang ada sudah jelas;
satu barisan kaum beriman dan yang lain barisan kaum kafir. Keberadaan
kaum munafik di tengah umat sering disebut dalam Al-Quran sebagai
peringatan bagi umat Islam agar waspada. Peringatan adalah untuk
menguatkan mental umat Islam sekaligus melemahkan nyali lawan. Jadi, di
era pemerintahan Nabi SAW, segala sesuatu sudah terang; satu kubu musuh
yang terdiri atas kaum kafir, para taghut, dan orang-orang jahiliah,
sedangkan kubu lainnya terdiri atas kaum beriman, pemeluk Islam,
pengibar bendera tauhid dan spiritualitas.
Pada
dua era yang berbeda ini, masyarakatnya tentu saja terdiri atas berbagai
watak dan tipe manusia. Tapi pada prinsipnya barisan mereka sudah
jelas. Berbeda dengan masyarakat pada era pemerintahan Imam Ali as,
barisan mereka buram, sebab pada kelompok kedua yang bernama Nakitsin
ada tokoh-tokoh sahabat ternama. Orang akan ragu atau bingung dalam
mengambil sikap ketika berhadapan dengan tokoh-tokoh semisal Talhah dan
Zubair. Zubair pada zaman Nabi SAW adalah salah satu nama besar, anak
dari bibi Nabi SAW, dan terhitung dekat dengan beliau. Tak hanya itu,
pasca wafat Nabi SAW, Zubair termasuk orang yang datang ke Saqifaf Bani
Saidah untuk membela Imam Ali as.
Tapi inilah
rupanya putaran dalam perjalanan hidup. Semoga kita semua dijaga oleh
Allah SWT dari buruknya suatu akibat. Manusia adakalanya mudah
terpancing oleh ambisi duniawi. Kondisi-kondisi tertentu dan
faktor-faktor profan mudah merasuk, memengaruhi, dan mengubah
kepribadian seseorang, tak terkecuali para pemuka dan apalagi orang
awam. Kondisi seperti ini menimbulkan situasi yang serba delematis pada
era Imam Ali. Sebab itu, tak terbayangkan lagi betapa cerdas dan
cemerlangnya pikiran orang-orang yang tetap teguh dan setia berada di
sisi Imam Ali as dan membelanya. Imam Ali as berkata, "Ilmu ini tidak
akan dapat dipikul kecuali oleh orang yang cerdas dan sabar." (Bihar
al-Anwar juz 34 hal. 249) Pada tahap awal kecerdasan memang sangat
diperlukan. Dalam kondisi demikian, bisa dibayangkan betapa runyamnya
konflik dan problema yang dihadapi Imam Ali as. Mereka yang memerangi
Imam Ali as adalah para penderita kedangkalan dalam berpikir.
Di
awal-awal Islam, pikiran-pikiran menyimpang sering mencuat ke
permukaan, tetapi Al-Quran secara tegas menolaknya, baik pada episode
Mekkah maupun pada episode Madinah. Surah al-Baqarah yang turun di
Madinah, banyak menjelaskan tantangan yang dihadapi Nabi saw ketika
berinteraksi dengan kaum munafik dan Yahudi. Al-Quran, bahkan
menyebutkan berbagai rincian masalah ini diantaranya pada surah
al-Baqarah ayat 104 yang berbunyi ‘jangan katakan; "Raa'iina", hal
itulah yang dilakukan yahudi Madinah dalam strateginya mengganggu
psikologi Nabi SAW. Surah al-A'raaf yang turun di Mekkah juga
menyebutkan soal ini secara cukup rinci sambil memerangi khurafat.
Al-Quran
menyebutkan masalah penghalalan dan pengharaman benda-benda yang
bersifat lahir seperti daging-daging tertentu maupun hal-hal yang
bersifat batin seperti berbohong dan berbuat sesuatu yang sia-sia. Allah
berfirman, "Katakanlah; Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak maupun yang tersembunyi.." (QS.7.33) Hal-hal
tersebutlah yang diharamkan Allah, bukan hal-hal yang berkaitan
bepergian ke Saibah, Buhairah, dan sebagainya yang dibikin-bikin
semaunya. Pikiran seperti ini gencar diperangi oleh Allah. Uniknya, di
era Imam Ali as, para pemberontak bahkan memakai al-Quran untuk
menjustifikasi tindakan mereka. Mereka mencari-cari celah dari ayat-ayat
al-Quran sehingga memperberat kesulitan yang dihadapi Imam Ali as pada
masa pemerintahannya yang relatif singkat.
Di luar
kubu-kubu tersebut terdapat kubu Imam Ali as sendiri. Kubu ini sangat
kuat karena di dalamnya terdapat orang-orang hebat semisal Ammar bin
Yasir, Malik al-Asytar, Abdullah bin Abbas, Muhammad bin Abu Bakar,
Meitsam Tammar, dan Hujr bin Addi. Mereka adalah para tokoh mukmin yang
cerdas, tanggap, dan berperan besar dalam upaya mengarahkan opini
masyarakat. Mereka menyuguhkan berbagai adegan heroisme dengan begitu
menawan. Derita dan pahitnya gerakan perjuangan mereka menjadi seni
altruisme yang sangat romantis. Diantaranya ialah ketika bergerak menuju
Kufah dan Basrah. Saat Talhah dan Zubair mengadakan gerakan
pembangkangan dengan mendatangi Basrah dan Kufah, Imam Ali as mengirim
puteranya, Imam Hasan as, dan sejumlah sahabat Imam Ali as ke dua kota
ini. Sejarah mencatat bagaimana negosiasi dan argumentasi mereka dengan
warga di masjid mengalir dengan sangat indah dan memukau. Kepiawan
negosiasi dan ketajaman argumentasi mereka membuat pihak lawan terpojok
di mata publik sehingga mereka pun juga menjadi incaran utama serangan
pihak lawan. Pihak lawan mengincar Malik al-Asytar, Ammar bin Yasir, dan
Muhammad bin Abu Bakar. Mereka mengincar para kader Imam Ali as yang
sudah terbukti tangguh dan cerdas tersebut. Tak hanya sekedar
melemparkan tuduhan, pihak lawan bahkan mengincar nyawa mereka. Sebab
itu, sejumlah besar kader Imam Ali as gugur syahid. Ammar gugur dalam
pertempuran, Muhammad bin Abu Bakar dan Malik al-Asytar dibunuh melalui
intrik penduduk Syam. Sejumlah kader Imam Ali as masih tersisa, tetapi
kemudian dihabisi pula dengan cara yang lebih sadis.
Inilah
kondisi kehidupan dan pemerintahan Imam Ali as. Kesimpulannya ialah
bahwa pemerintahan ini adalah pemerintahan yang kuat, tetapi di saat
yang sama telah menjadi obyek kezaliman sampai kemudian berhasil menjadi
pemenang. Imam Ali as berhasil menekuk lutut pihak lawan, tetapi pada
akhirnya beliau gugur sebagai syahid dan menjadi simbol perjuangan dalam
kanvas sejarah. Derita batin Imam Ali a.s menjadi bagian dari kisah
yang paling dramatis dalam sejarah.
(Petikan Khutbah Jumat Rahbar di Teheran pada 08/01/1999)
Wasiat-Wasiat Imam Ali as
Pertama
dan terakhir dalam petuah Imam Ali as adalah takwa. Beliau berpesan
kepada kedua puteranya, "Anakku, jagalah dirimu baik-baik di jalan Allah
dan dengan nilai-nilai Ilahi." Tema takwa kepada Allah tidak membahas
masalah takut kepada Allah SWT. Sebagian orang berpikir bahwa takwa
artinya takut kepada Allah. Takut kepada Allah SWT atau khasyyatullah
memiliki makna dan nilai sendiri. Sedangkan takwa ialah berhati-hati
dalam setiap langkah agar semua tindakan kita sejalan dengan maslahat
seperti yang diperintahkan Allah SWT. Takwa bukanlah sesuatu yang bisa
dibuang begitu saja oleh seseorang barang sejenak. Melepas takwa sama
dengan menjerumuskan diri ke dalam jurang, dan untuk kembali ke atas
lagi memerlukan pegangan yang kuat. "Sesungguhnya orang-orang yang
bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada
Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya."
(QS.7.21) Orang yang bertakwa ketika merasa sedang mendapat bisikan dari
syaitan tentu akan kembali kepada dirinya sendiri dan menghimpun
kewaspadaan. Syaitan tidak akan menjauhi kita. Sebab itu, wasiat yang
pertama ialah takwa.
Keniscayaan Taqwa:
Salah
satu keniscayaan dari takwa ialah tidak memburu dunia. Imam Ali as
berpesan kepada kedua puteranya, "Jangan kalian mengejar dunia, walaupun
seandainya dunia mengejarmu." Ini adalah poin kedua menyangkut berbagai
keniscayaan dari takwa yang tentu jumlahnya banyak. Semua kebaikan
adalah keniscayaan dari takwa. Pesan Imam Ali as tadi tidak mengatakan
supaya dunia ditinggalkan melainkan jangan dikejar. Apa gerangan arti
dunia di sini? Dunia dalam pesan itu bukan berarti bahwa kita tidak
boleh memakmurkan bumi ini, bukan berarti kita tidak boleh menghidupkan
kekayaan Allah SWT di muka bumi. Memburu dunia ialah berbuat dan bekerja
semata-mata hanya untuk kenikmatan dan kesenangan diri semata tanpa
memikirkan kepentingan orang lain, masyarakat, dan umat. Ini berbeda
dengan memakmurkan karena yang dituju ialah maslahat dan kesejahteraan
umat. Memakmurkan, karena yang dipikirkan adalah umat, maka orientasinya
bukan lagi dunia, melainkan akhirat. Memakmurkan muka bumi dan
mensejahterakan umat bukanlah perbuatan mengejar dunia atau duniawi.
Tindakan duniawi yang dicela dan harus dijauhi ialah tindakan menguras
tenaga, pikiran, dan waktu hanya untuk kepentingan dan kenikmatan diri
sendiri. Duniawi yang dikutuk ialah perbuatan yang menunjukkan bahwa
kita diperbudak oleh egosentris kita.
Tapi tentu
saja, duniawi di sini ada yang haram dan yang halal. Artinya, tidak
semua tindakan memikirkan diri sendiri itu haram. Ada yang halal, tetapi
halal jenis inipun hendaknya dihindari. Seseorang akan beruntung
apabila sesuatu yang secara lahiriah terlihat bernuansa materi belaka,
tetapi ternyata dikendalikan ke jalan Allah. Jika ini diamalkan, maka
yang dikejar justru akhirat. Perniagaan, misalnya, akan menjadi sesuatu
yang bersifat ukhrawi jika dilakukan untuk menyejahterakan umat dan
bukan untuk menimbun modal dan kekayaan untuk diri sendiri. Semua
kegiatan dan pekerjaan akan bersifat ukhrawi jika dilakukan dengan motif
demikian. Jadi, poin kedua ialah bahwa dunia jangan sampai dikejar.
Pesan
Imam Ali as tersebut termanifestasi dengan sempurna dalam diri beliau
sendiri. Kehidupan beliau dapat disimpulkan dalam wasiatnya yang
berbunyi, "Kalian jangan kecewa jika dunia (dalam pengertiannya yang
buruk) tidak menghampiri kalian." Ini poin ketiga.
Poin
berikutnya ialah pesan beliau, "Katakan kebenaran." Artinya, ungkaplah
kebenaran dan jangan sampai ditutup-tutupi. Ungkaplah sedapat mungkin
apa saja yang Anda yakini sebagai kebenaran. Ketika ada orang-orang
menyembunyikan kebenaran dan adakalanya sambil memperlihatkan kebatilan
atau mengganti kebenaran dengan kebatilan, maka kebenaran tidak akan
‘tertindas' selagi masih ada orang lain yang tampil sebagai pembela dan
pengungkap kebenaran. Kebenaran tidak akan terasing, dan di saat yang
saat yang sama, para penganut kebatilan tidak akan terlalu tamak dalam
menumpas kebenaran.
Kalimat berikutnya dalam
pesan Imam Ali as, "Berbuat sesuatu yang mendatangkan pahala." Artinya,
jangan berbuat sesuatu yang sia-sia, karena tindakan kita, usia kita,
dan nafas kita adalah satu-satunya modal kita. Modal ini jangan sampai
dihamburkan dengan sia-sia. Selagi masih ada umur, selagi nafas masih
berhembus, dan selagi tenaga masih kuat, lakukan segala sesuatu yang
mendatangkan pahala. Apakah pahala itu? Apakah arti pahala ialah bahwa
wujud manusia ini mesti dihargai dengan uang? Inikah pahala yang harus
diraih untuk usia yang sudah dilalui? Ataukah pahala ialah sanjungan
dari orang lain? Jawabannya tentu saja tidak. Imam Ali as berkata,
"Bukankah tidak ada harga untuk kalian kecuali surga, maka janganlah
kalian jual diri kalian dengan selain surga." (Nahjul Balaghah, hikmat
456).
Musuhi Penindas dan Bela Yang Tertindas
Imam
Ali as berpesan, "Musuhi penindas dan belalah orang yang tertindas."
Yang dimaksud dengan memusuhi di sini ialah bahwa seseorang harus berani
menyatakan permusuhannya terhadap orang yang zalim. Tidak cukup dengan
hanya merasa benci dan tidak suka saja. Memperlihatkan permusuhan
gambarannya ialah seperti orang yang berani menarik dan mencengkram
bagian depan baju musuh dengan penuh rasa geram dan enggan
melepaskannya.
Sejak sepeninggal Imam Ali as
sampai sekarang, umat manusia menderita tak lain karena para penindas
terbiarkan berkeliaran. Perlu ada tangan-tangan keimanan yang berani
mencengkram bagian depan baju musuh agar dunia terbebas dan tidak terus
terseret ke lubang penderitaan. Di dunia ini, di mana ada kezaliman di
situ pasti ada penindas. Nah, di situ kita harus menjadi musuhnya. Tapi
ini bukan berarti kita langsung main terjang, menyatroni, dan
mencengkram leher musuh. Yang dimaksud ialah bahwa selagi ada
kesempatan, kita harus menunjukkan permusuhan kita terhadap penindas,
dan jangan disembunyi-sembunyikan. Kalau permusuhan ini tidak dapat
diungkapkan terhadap penindas dari dekat, maka ungkapkan dari jauh. Di
masa sekarang, coba lihat betapa mengenaskannya dunia dan nasib umat
manusia akibat tidak diamalkannya pesan Imam Ali as tersebut. Betapa
pedihnya nasib bangsa-bangsa dunia, khususnya umat Islam. Seandainya
pesan itu diamalkan, kezaliman tidak mungkin terjadi sebanyak sekarang.
Kemudian
Imam Ali as menyatakan belalah atau bantulah orang yang tertindas.
Beliau tidak mengatakan jadilah simpatisan orang yang tertindas,
melainkan belalah dan tolonglah orang tertindas selagi kamu mampu dengan
berbagai cara. Pesan ini memang ditujukan kepada kedua putera beliau,
Imam Hasan dan Imam Husain, tetapi pada prinsipnya pesan ini adalah
untuk semua orang.
Pada kalimat-kalimat
berikutnya, Imam Ali as memperluas jangkauan orang-orang yang dipesan
dengan mengatakan, "Aku berpesan kepada kalian berdua, kepada semua
anak-anakku, keluargaku, dan kepada siapa saja yang terjangkau oleh
surat wasiatku." Dengan demikian, Anda yang kini membaca wasiat ini juga
merupakan orang yang mendapat pesan penting dari Imam Ali as. Beliau
seakan mengatakan, "Aku wasiatkan kepada kalian semua." Apa yang beliau
wasiatkan tak lain adalah ketakwaan. Awal dan akhir wasiat beliau adalah
takwa.
Pesan berikutnya ialah "Tatalah urusan
(amr) kalian." Apa yang dimaksud dengan penataan urusan (amr bentuk
tunggal, bukan jamak)? Apakah yang dimaksud adalah bahwa semua urusan
dalam hidup ini harus tertata sedemikian rupa? Bisa jadi maknanya memang
demikian. Tapi mengapa beliau tidak menyebutkan urusan-urusan (umuur;
bentuk jamak dari amr)? Ini berarti bahwa yang dipesan beliau agar
tertata, terprogram, dan termenej adalah satu urusan tertentu, yaitu
satu urusan yang menjadi milik umat secara kolektif, dan itu ialah
pemerintahan Islam. Dengan demikian artinya ialah bahwa berbuatlah,
bekerjalah, dan berperilakulah sesuai dengan apa yang terbaik untuk
pemerintahan.
Baik Dengan Sesama
Prinsip
ketiga pada bagian kedua wasiat Imam Ali as ialah "Rukunkanlah antara
sesama." Beliau berpesan agar solidaritas dan persatuan terus dijaga
dengan berusaha menghindari faktor-faktor yang dapat menyebabkan
pertikaian dan perpecahan. Dalam pesan ini Imam Ali as menyebutkan hadis
Nabi SAW yang memang menjadi sandaran Imam Ali as.
Merukunkan
atau mendamaikan antar esama (solah dzat al-bain) ditekankan sedemikian
rupa bukan berarti lebih penting daripada pesan tentang penataan urusan
(tata pemerintahan), melainkan karena kekompakan adalah masalah yang
sangat rawan. Sebab itu, dalam pesan kepada kedua puteranya, Imam Ali as
mengutip hadits Nabi SAW dengan berkata, "Sesungguhnya saya mendengar
ucapan kakek kalian, Nabi Muhammad SAW, bahwa berbuat baik dan tulus
kepada sesama lebih baik dari semua solat dan puasa." Kita memang harus
solat dan berpuasa, tetapi ada yang lebih baik dari keduanya, yaitu
berbuat baik dan rukun dengan sesama. Jadi, jika di suatu tempat ada
pertikaian di tengah umat, maka kita harus mendamaikan dan
merukunkannya. Tindakan ini lebih baik daripada solat dan puasa.
Peduli Kepada Anak Yatim
Setelah beberapa kalimat singkat tadi, Imam Ali as berkata singkat lagi, tetapi dengan suara yang lebih parau dan dalam, "Allah, Allah bersama anak-anak yatim." Kata-kata "Allah, Allah" di sini tidak ada padanannya dalam bahasa Persia. Jika hendak kita terjemahkan maka harus kita katakan bahwa jiwamu dan "jiwa" Tuhan ada dalam diri anak-anak yatim. Ini berarti bahwa kita harus sedapat mungkin peduli kepada anak-anak yatim. Mereka jangan sampai terlupakan.
Perhatikan betapa seorang humanis, teolog, dan psikolog sebesar Imam Ali a.s sedemikian peduli kepada nasib anak yatim. Kepedulian kepada mereka bukan merupakan satu bentuk perhatian yang bersifat pribadi dan bermotif perasaan biasa. Seorang bocah yang kehilangan ayah adalah sosok manusia yang kehilangan salah satu sandaran yang paling primer dalam memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan ini sedapat mungkin harus ditutupi. Kebutuhan ini tak dapat ditutupi sepenuhnya, tetapi setidaknya mereka jangan sampai terlantar. Kata Imam Ali as selanjutnya, "Jangan sampai mereka disia-siakan." Ini berarti bahwa kepedulian kepada mereka jangan sampai bersifat temporal; kadang peduli dan kadang tidak. Perhatian harus diberikan secara permanen. "Jangan sampai mereka terlantar sementara kalian ada," lanjut Imam Ali as. Dengan kata lain, mereka jangan sampai terlantar sedangkan kalian tahu. Kalian boleh sibuk dengan urusan kalian, tapi jangan sampai lupa dengan kondisi dan nasib mereka.
Setelah beberapa kalimat singkat tadi, Imam Ali as berkata singkat lagi, tetapi dengan suara yang lebih parau dan dalam, "Allah, Allah bersama anak-anak yatim." Kata-kata "Allah, Allah" di sini tidak ada padanannya dalam bahasa Persia. Jika hendak kita terjemahkan maka harus kita katakan bahwa jiwamu dan "jiwa" Tuhan ada dalam diri anak-anak yatim. Ini berarti bahwa kita harus sedapat mungkin peduli kepada anak-anak yatim. Mereka jangan sampai terlupakan.
Perhatikan betapa seorang humanis, teolog, dan psikolog sebesar Imam Ali a.s sedemikian peduli kepada nasib anak yatim. Kepedulian kepada mereka bukan merupakan satu bentuk perhatian yang bersifat pribadi dan bermotif perasaan biasa. Seorang bocah yang kehilangan ayah adalah sosok manusia yang kehilangan salah satu sandaran yang paling primer dalam memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan ini sedapat mungkin harus ditutupi. Kebutuhan ini tak dapat ditutupi sepenuhnya, tetapi setidaknya mereka jangan sampai terlantar. Kata Imam Ali as selanjutnya, "Jangan sampai mereka disia-siakan." Ini berarti bahwa kepedulian kepada mereka jangan sampai bersifat temporal; kadang peduli dan kadang tidak. Perhatian harus diberikan secara permanen. "Jangan sampai mereka terlantar sementara kalian ada," lanjut Imam Ali as. Dengan kata lain, mereka jangan sampai terlantar sedangkan kalian tahu. Kalian boleh sibuk dengan urusan kalian, tapi jangan sampai lupa dengan kondisi dan nasib mereka.
Perhatikan Hak Tetangga
Imam Ali as kemudian melanjutkan dengan kata-kata, "Allah, Allah bersama tetangga kalian." Masalah tetangga juga jangan diremehkan. Ini adalah masalah yang sangat penting dan merupakan satu ikatan sosial yang sangat diperhatikan oleh Islam sesuai dengan tuntunan fitrah manusia. Peradaban yang meremehkan masalah ini sudah tentu jauh dari tuntunan fitrah manusia. Tetangga harus diperhatikan bukan saja dari segi ekonomi dan keuangan -walaupun memang sangat penting-, tetapi dari segenap aspek kemanusiaannya. Kerukunan dan keharmonisan di tengah masyarakat banyak mengobati berbagai penyakit kronis. "Sesungguh mereka (tetangga) adalah wasiat Nabi kalian. Nabi as selalu berwasiat tentang mereka sampai-sampai kami mengira ada ketetapan warisan untuk mereka." lanjut Imam Ali as.
Imam Ali as kemudian melanjutkan dengan kata-kata, "Allah, Allah bersama tetangga kalian." Masalah tetangga juga jangan diremehkan. Ini adalah masalah yang sangat penting dan merupakan satu ikatan sosial yang sangat diperhatikan oleh Islam sesuai dengan tuntunan fitrah manusia. Peradaban yang meremehkan masalah ini sudah tentu jauh dari tuntunan fitrah manusia. Tetangga harus diperhatikan bukan saja dari segi ekonomi dan keuangan -walaupun memang sangat penting-, tetapi dari segenap aspek kemanusiaannya. Kerukunan dan keharmonisan di tengah masyarakat banyak mengobati berbagai penyakit kronis. "Sesungguh mereka (tetangga) adalah wasiat Nabi kalian. Nabi as selalu berwasiat tentang mereka sampai-sampai kami mengira ada ketetapan warisan untuk mereka." lanjut Imam Ali as.
Pentingnya Al-Quran
Imam
Ali as melanjutkan, "Allah, Allah bersama Al-Quran. Jangan sampai orang
lain (yang tidak beriman kepada Al-Quran) lebih unggul daripada kalian
dalam beramal sesuai Al-Quran." Hal seperti ini justru terjadi. Orang
lain bisa berjaya di dunia karena progresifitas mereka, kegigihan
mereka, etos kerja mereka, dan berbagai keistimewaan lain yang dicintai
oleh Allah SWT, bukan karena kebobrokan, kemabukan, dan kezaliman
mereka.
Baitullah
Imam Ali
as berpesan lagi, "Allah, Allah bersama Rumah Tuhan kalian." Artinya,
jangan sampai Baitullah sepi sedangkan kalian ada. "Jika Baitullah
sampai ditinggalkan, maka tidak ada tenggang waktu lagi untuk kalian,"
lanjut beliau. Maksudnya ialah bahwa kehidupan tidak akan berlanjut jika
Baitullah sampai ditinggalkan, tetapi ini ada maksud-maksud lain dari
ucapan tersebut.
Jihad di Jalan Allah
Imam
Ali as juga berkata, "Allah, Allah bersama jihad dengan harta kalian,
diri kalian, dan lisan kalian di jalan Allah." Beliau berpesan agar
jihad dengan harta, jiwa, dan lisan jangan sampai ditinggalkan. Selagi
masih berpegang pada prinsip jihad, umat Islam senantiasa bermartabat di
dunia, tetapi jika prinsip ini diabaikan, maka mereka akan hina. Jihad
sesuai dengan batas-batas yang ditetapkan oleh Islam bukanlah kezaliman.
Jihad tidak mengajarkan pelanggaran dan penistaan terhadap hak orang
lain. Jihad bukan dalih untuk menebar pembunuhan di sana sini. Jihad
tidak mengajarkan pemusnahan orang-orang lain yang non-Muslim. Jihad
adalah hukum Allah SWT yang sangat agung. Jihad adalah ajaran yang
bertujuan mengangkat martabat bangsa-bangsa.
Imam
Ali as kemudian berkata, "Kalian hendaknya menjalin hubungan dan saling
tolong satu sama lain, dan jangan sampai kalian saling bertolak
berpaling dan putus hubungan. Jangan pula kalian meninggalkan amar
makruf nahi munkar sehingga orang yang buruk berkuasa atas kalian lalu
kalian berdoa (agar dibebaskan dari kejelelekan), dan doa kalian pun
tidak dikabulkan."
Petikan khutbah Jumat Rahbar pada 4/03/1994 - 21 Ramadhan 1414 H
Kewajiban dan Tanggungjawab Mengenal Pemerintahan Imam Ali as
Mempelajari
dan mengambil hikmah dari perjalanan hidup Amirul Mukminin Ali bin Abi
Thalib as bukan berarti bahwa kita harus berbuat sesuatu yang setara
dengan beliau. Tak satupun orang yang dapat menggapai tingkatan yang
setara dengan beliau. Memetik pelajaran dari beliau ialah bahwa setiap
orang dalam sistem pemerintahan Republik Islam di mana saja dia bekerja
tidak boleh berhenti dari proses pelatihan dan penataran. Jangan sampai
lupa bahwa apapun yang dikerjakan tak lain adalah demi keridhaan Allah
SWT. Tanggungjawab yang diterima dan gerakan apa pun juga harus demi
keridhaan Allah SWT.
Segala sesuatu akan menjadi
mudah bagi orang yang bertutur kata, bekerja, dan mengemban
tanggungjawab demi keridhaan Allah SWT. Karena merasa segalanya hanyalah
demi Allah SWT, maka hawa nafsu tidak akan ikut campur tangan. Sebab
itu, seseorang akan dapat menerima tanggungjawab dengan senang hati,
melepasnya pun juga dengan senang hati, begitu pula dalam bertindak dan
berkata. Apa harus dikatakan akan dapat dia nyatakan dengan mudah,
begitu pula sebaliknya. Dengan motivasi keridhaan Allah SWT, tak ada
yang dikhawatirkan dalam mengambil keputusan, dalam menghadapi resiko
diracun, dalam menghadapi tantangan-tantangan dunia, dan dalam
menghadapi para adidaya.
Faktor yang selalu
menyulitkan kita adalah hawa nafsu kita, ambisi kita, dan
perhitungan-perhitungan materialistik kita. Ketika ego, keakuan, dan
hawa nafsu sudah tidak ada maka segala pekerjaan besar akan menjadi
kecil dan mudah. Tataplah kehidupan Imam Ali as jika ingin melihat
lembaran terang dari sebuah pengalaman yang agung dan cemerlang. Beliau
dapat melepas sesuatu dengan mudah jika itu memang harus dilepas,
sebagaimana beliau dapat menerima sesuatu yang memang sudah merupakan
kewajibannya untuk menerima. Era pemerintahan beliau yang bisa dikatakan
sarat dengan peperangan justru karena kewajibannya membela agama dan
melawan musuh-musuh agama. Seandainya yang menjadi motivasi adalah hawa
nafsu dan kepentingan pribadi, maka kisahnya akan lain. Tidak ada motif
pribadi. Sebaliknya, jiwanya selalu siap dikorbankan asalkan misi dan
cita-citanya bisa tercapai.
Petikan khutbah Rahbar dalam pertemuan dengan para pejabat pemerintah dan Angkatan Bersenjata Iran pada 09/06/1993
Keteladanan Pemerintahan Imam Ali as
Pemerintahan
Imam Ali as menjadi contoh yang harus diikuti dalam upaya menegakkan
keadilan, membela kaum tertindas, menghadapi kaum zalim, dan
memperjuangkan hak asasi dalam kondisi apapun. Semua itu tidak akan
lapuk ditelan masa. Dalam berbagai kondisi saintifik dan sosial apapun
jika ingin bernasib baik dan sentosa, harus meneladani beliau. Ini bukan
berarti kita akan meniru metode birokrasi zaman dahulu lalu kita
katakan bahwa metode itu untuk setipa terus berkembang. Yang kita
inginkan ialah mengikuti arah dan haluan pemerintahan Imam Ali as yang
sudah pasti berlaku selama-lamanya.
Membela kaum
tertindas adalah satu poin cemerlang. Begitu pula semangat melawan
kezaliman dan menolak praktik suap dari para arogan. Ini adalah
nilai-nilai yang tidak mungkin akan padam di dunia. Ini adalah
nilai-nilai yang tetap akan berlaku di segala kondisi dan keadaan.
Karena itu nilai-nilai ini harus dianut dan terus diperjuangkan. Inilah
yang disebut fundamental. Jargon fundamentalisme ialah paham yang
konsisten kepada nilai-nilai universal, abadi, dan tak kenal
kadaluwarsa. Konsistensi inilah yang ditentang habis-habisan oleh kaum
arogan dan adidaya.
Mereka gusar menyaksikan
pemerintahan Islam di Iran tampil sebagai negara yang berpihak kepada
nasib bangsa-bangsa semisal Palestina dan Afghanistan serta tidak kenal
kata kompromi dengan rezim-rezim kotor dan penindas di dunia.
Fundamentalisme inilah yang memang berbahaya bagi kaum arogan dan
adidaya dunia. Kondisi seperti inilah yang membuat Imam Ali as dulu
sering terlibat peperangan. Dan sepak terjang kita selaku pengendali
pemerintahan juga harus demikian.
Imam Ali as juga
merupakan orang yang terbiasa dengan penampilan sebagai orang yang
paling fakir di tengah masyarakat. Beliau sendiri pernah berkata,
"Beginilah aku hidup walaupun aku adalah pemimpin kalian." Kepada Ustman
bin Hunaif beliau berkata, "Kamu tidak bisa hidup seperti aku, tetapi
bantulah aku dengan sikap wara' dan kegigihan." Ini adalah materi yang
kini dikatakan oleh Imam Ali as kepada kita semua. Jauhilah kesalahan,
dosa, dan segala sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Berusahalah
sedapat mungkin mendekati perilaku Imam Ali as.
Menerapkan
keadilan, membela kaum tertindas, dan melawan penindas siapapun
orangnya adalah gerakan yang sangat penting bagi Imam Ali as. Dalam
membela kaum tertindas, Imam Ali as tidak mensyaratkan apakah yang
tertindas Muslim atau tidak. Padahal beliau adalah orang yang paling
konsisten pada Islam, paling beriman, dan tokoh terbesar dalam
perjuangan pembebasan Islam.
Ketika kita
mengingat kebesaran Imam Ali as, sasarannya adalah perilaku kita
sendiri. Kita tidak bisa sering berpesan kepada orang lain agar
berperangai seperti Imam Ali as. Sekarang kita adalah orang yang paling
bertanggungjawab dan mengemban kewajiban dalam pemerintahan Republik
Islam. Kita berharap para pejabat Republik Islam bisa mendapat taufid
untuk mengikuti jejak Imam Ali as dan berjalan di atas garis haluan
beliau. Tapi tentu, sangat berat tantangan yang dihadapi Imam Ali as
dalam menempuh jalannya.
Dalam doa Kumail yang
diucapkan oleh Imam Ali as, terbayang betapa paraunya ratapan beliau
kepada Allah SWT. Beliau antara lain mengadu, "Ilahi, junjunganku, dan
pemilik urat nadiku... Wahai Engkau yang menjadi tumpuanku dalam
mengadukan keadaanku." Betapa remuk redamnya hati beliau ketika meratap
kepada Yang Maha Kuasa. Berat sekali beban yang ada di pundak beliau
karena besarnya tanggungjawab dalam berbagai persoalan sosial dan
masyarakat, masalah masa depan agama, masalah haluan religius dalam
pemerintahan Islam. Dan betapapun beratnya, Imam Ali as sedikitpun tidak
pernah berlepas diri dari tanggungjawab itu.
Petikan khutbah Jumat Rahbar pada 4/03/1994 - 21 Ramadhan 1414 H
source : khamenei.ir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar