Makrifat Imam Ali sedemikian kaya sehingga menyinari
seluruh
nuansa hidupnya. Namun jika kita melihat makrifat Imam Ali atau
kesufian beliau,
kita tidak akan mendapati kesufian itu bermakna pengucilan diri dari
sosial.
Beliau adalah orang yang senantiasa berhubungan dengan masyarakat,
mengelola
urusan pemerintahan dan politik, namun dimensi kesufian beliau tetap
tampak
dan terjaga. Kesufian dan zuhud Imam Ali berakar pada pandangannya
yang begitu
dalam terhadap soal kehidupan dan filsafat alam semesta. Beliau pernah
berkata:
"Dunia adalah tempat perjalanan, bukan tempat tinggal." Imam Ali juga
memandang manusia di dunia ini terdiri dari dua macam; orang yang
menjual dirinya
demi hawa nafsunya dan orang yang membeli nafsunya untuk taat kepada
Allah dan
menyelamatkan dirinya.
Zuhud dalam Islam tak lain ialah menerapkan
prinsip-prinsip khusus dalam hidup
dengan cara memprioritaskan nilai dan akhlak ketimbang tamak kepada
benda-benda
materi. Sudah barang tentu Imam Ali adalah orang yang sangat zuhud.
Zuhud adalah
perilaku yang tak bisa diceraikan dari kehidupan Imam Ali, khususnya
ketika
beliau duduk sebagai pemimpin umat. Namun Kezuhudan Imam Ali bukan
berarti uzlah
atau mengasingkan diri dari masyarakat atau hidup layaknya seorang
pertapa.
Malah kezuhudan bagi beliau justru inheren dengan melaksanakan tugas
sosial
demi cita-cita yang besar.
Ayatullah Murtadza Mutahhari, pemikir besar Iran
tentang zuhud Imam Ali berkata:
"Dalam pribadi Imam Ali, antara zuhud dan tanggungjawab sosial
bertemu.
Imam Ali adalah seorang yang zuhud sekaligus orang yang paling peka
terhadap
tanggungjawab sosial. Beliau termasuk orang yang paling sukar tidur
ketika menyaksikan
ketidak adilan atau mendengar rintihan orang-orang kecil. Beliau tidak
pernah
mengenyangkan perutnya selama ada orang-orang yang lapar di
sekitarnya."
George Jordac penulis Nasrani asal Libanon, dalam hal
ini menuliskan: "Imam
Ali jujur dalam zuhudnya. Dalam semua perbuatannya dan apa yang keluar
dari
hati dan lidahnya tak lain adalah kejujuran. Beliau zuhud dalam
menghadapi kenikmatan
dunia, beliau tidak mengharap mendapat pemberian dalam memerintah.
Beliau merasa
cukup hidup dengan putra-putrinya dalam rumah kecil dan memakan roti
yang dibuat
dari tangan istrinya sendiri. Dan sementara beliau menjabat sebagai
Khalifah,
beliau tidak memiliki pakaian untuk menahan hawa dingin..... hal ini
merupakan
derajat yang tertinggi dari kebersihan jiwa."
Imam Ali adalah orang yang paling muak terhadap
kehidupan yang dikelas-kelas
oleh faktor materi dan gaya hidup yang glamor. Diriwayatkan bahwa
suatu saat,
Imam Ali mendengar salah satu bawahannya, yaitu Usman bin Hanif yang
merupakan
gubernur wilayah Basrah (IRAQ)diundang dalam sebuah pesta. Dalam pesta
ini,
tamu yang diundang adalah dari kalangan elit. Begitu mendengar berita
ini, Imam
Ali langsung menegur Usman bin Hanif. Beliau berkata: "Aku dengar
engkau
telah menghadiri sebuah pesta yang hanya mengundang orang-orang mampu
dan tidak
ada orang fakir. Disitu engkau menikmati aneka ragam jamuan. Jika
engkau ingin
bekerjasama denganku, maka hindarilah perbuatan seperti itu, jika
tidak aku
persilahkan engkau mengundurkan diri."
Hak asasi setiap individu masyarakat manusia ialah
masing-masing dapat menikmati
kehidupan secara manusiawi. Adapun yang dapat kita saksikan sekarang
adanya
sekelompok orang hidup dengan serba kenikmatan dan kemegahan,
sementara sekelompok
lain menderita kemiskinan, maka ini merupakan salah satu tanda bahwa
orang-orang
kaya tidak mau melakukan kewajiban mereka. Menurut Imam Ali tidak akan
ada orang
kelaparan bila hak yang lemah diindahkan oleh orang kaya. Namun
demikian, diantara
penyebab kesenjangan sosial juga bisa kembali kepada orang fakir yang
tidak
mau melaksanakan tugasnya untuk mendapat kehidupan yang layak. Dalam
hal ini,
Imam Ali berkata: "Apakah pantas bila kamu lebih lemah dari semut,
padahal
makhluk kecil ini dengan usaha penuh telah membawa makanannya ke dalam
sarangnya
dan setiap hari ia sibuk dengan kegiatan."
Tak terlukiskan betapa besar kasih sayang beliau
terhadap fakir miskin. Perhatian
beliau amat besar kepada mereka yang memerlukan pertolongan.
Diriwayatkan pada
suatu hari beliau berada di masjid. Ketika sedang khusyuk menunaikan
solat,
tiba-tiba beliau dihampiri oleh seorang pengemis. Kekhusyukan beliau
ternyata
tidak membuatnya lupa akan apa dan siapa saja. Ketika sedang ruku',
beliau menjulurkan
tangan untuk menyerahkan cincin yang melingkar dijarinya. Maka
pengemis itu
segera mencopot cincin itu kemudian memenuhi keperluannya dengan
cincin itu.
Allah SWT kemudian mengabadikan kisah ini dalam
Al-Quran. Sebagaimana pendapat
banyak ahli tafsir, Surah Al-Maidah ayat 55 diturunkan berkenaan
dengan kejadian
ini. Ayat ini menyatakan: "Sesungguhnya pemimpin kalian hanyalah
Allah
dan rasulnya serta orang-orang Mukmin yang mendirikan solat, dan
memberikan
zakat ketika dalam keadaan ruku'."
Pandangan-pandangan Imam Ali yang dicerap dari Islam
mengenai hak-hak sesama
manusia dikenal sebagai sangat dalam. Keputusan-keputusan Imam Ali
dalam mengadili
kasus-kasus yang ada, dipandang sebagai bintang dalam sejarah,
sampai-sampai
para hakim saat itu berkali-kali menyatakan dirinya akan celaka jika
Imam Ali
tidak ada.
Sebagai contoh, pada masa kekhalifahan sebelum
beliau, pernah seorang wanita
terbukti berbuat zina dan hendak dihukum rajam. Imam Ali tiba-tiba
meminta agar
hukuman itu ditangguhkan. Orang-orang disekitarnya keheranan. Namun
Imam Ali
segera memberi alasan. Kata Imam Ali wanita tersebut hamil, dan anak
yang dikandungnya
tidak semestinya menanggung beban dosa ibunya. Anak itu punya hak
untuk hidup.
Karena itu, hukuman harus ditangguhkan hingga wanita itu melahirkan
anaknya
yang tidak bersalah.
Dalam riwayat lain, juga dikisahkan bahwa suatu hari
Imam Ali datang kepada
seorang Qadhi untuk menyelesaikan suatu urusan dengan orang lain.
Qadhi atau
hakim ini lebih menghormati Imam Ali. Melihat sikap ini, Imam Ali
kecewa dan
menegur sang Qadhi. Maksud Imam Ali ialah, dalam sebuah pemerintahan
yang berlandaskan
jiwa pengabdian kepada Allah, pemerintah dan rakyat sejajar di depan
hukum.
Pemerintahan dalam konsep Imam Ali yang diserap dari ajaran Islam
bukanlah menjauhi
rakyat dan tidak memperhatikan kondisi umum serta keperluan setiap
orang, melainkan
pemerintahan adalah sarana untuk mendekatkan pemimpin dengan rakyat.
Pemerintahan
adalah media untuk mencurahkan kasih sayang terhadap seluruh lapisan
masyarakat.
Imam Ali berkata: "Hati rakyat adalah gudang yang menyimpan
gerak-gerik
penguasa. Jika di gudang ini tersimpan keadilan, maka keadilanlah yang
akan
terpantul darinya. Jika kedzaliman yang tersimpan, maka kedzalimanlah
yang akan
terpantul darinya."
Jika dalam sebuah pemerintahan, kasih sayang dan
kecintaan menjadi darah daging
seluruh lapisan masyarakat, maka keharmonisan akan mengikat rakyat dan
pemimpin.
Keharmonisan ini telah dipersembahkan oleh Imam Ali di masa
kekhalifahannya.
Dalam wilayah pemerintahan beliau, jangankan seorang Muslim, minoritas
pemeluk
agama-agama lainpun bisa hidup dengan tenteram di sisi umat Muslim.
Kepada gubernur
dan semua bawahannya, Imam Ali selalu berpesan agar memperhatikan hak
seluruh
lapisan masyarakat.
Imam Ali pernah berkata: "Demi Allah, aku bersumpah,
andaikan aku dipaksa
tidur di atas duri-duri padang pasir, atau aku dibelenggu kemudian
dipendam
hidup-hidup dalam tanah, sungguh ini semua lebih baik daripada aku
berjumpa
Allah dan Rasulnya di hari Kiamat sementara aku pernah berbuat zalim
kepada
hamba-hamba Allah."
Suatu hari Imam Ali A.S berpidato di tengah
sekelompok masyarakat. Orang-orang
yang mengerti akan makna dari pidato beliau dengan cermat mencerna
ucapan-ucapan
beliau. Imam Ali A.S berbicara mengenai Akhlak. Di pertengahan Khutbah
itu,
beliau berkata: "Waspadalah, jangan kalian sambut gunjingan terhadap
seseorang.
Banyak sekali ucapan yang batil, tapi ia akan musnah, yang tinggal
hanyalah
amalan manusia karena Allah menyaksikan dan mendengar. Ketahuilah
bahwa jarak
antara hak dan bathil tidak lebih dari lebar empat jari."
Saat itu tiba-tiba seseorang bertanya: "Bagaimana
bisa jarak antara hak
dan bathil tidak lebih dari empat jari?
Untuk menjawab pertanyaan ini Imam Ali menunjukkan
empat jarinya kemudian beliau
letakkan di tempat antara mata dan telinga, kemudian beliau
mengucapkan: "Kebathilan
adalah ucapan yang aku dengar dan hak adalah ucapan yang aku
saksikan."
Maksud Imam Ali dari ucapan ini adalah jangan
sekali-kali kita terima apa yang
kita dengar sebelum kita yakin akan kebenarannya.
Tersebut satu kisah, ketika kota Kufah waktu itu
diselimuti kelam, manakala
matahari sudah lama tenggelam. Rumah-rumah sudah tertutup rapat dan
penghuninya
pun hanyut dalam tidurnya. Pertengahan malam sudah berlalu. Di tengah
kesunyian
itu tampak bayang-bayang seseorang bergerak perlahan di halaman darul
Imarah
Kufah. Dua orang yang tidur di halaman itu kemudian terbangun. Dua
orang itu
mengenal bayangan itu. Bayangan itu adalah bayang-bayang Imam Ali A.S.
Tubuhnya
gemetar. Dari mulutnya terdengar sayup-sayup bunyi beberapa ayat-ayat
terakhir
surah Ali Imran. Arti ayat-ayat itu adalah sebagai berikut:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
dan silih bergantinya
malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, yaitu
orang-orang
yang selalu mengingat Allah, baik dalam keadan berdiri, atau duduk,
atau berbaring,
dan mereka itu memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata):
"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha
suci
Engkau, maka selamatkanlah kami dari siksa neraka."
Imam Ali A.S mengulang-ulang bacaan ayat itu, dan
terlihat tubuhnya semakin
bergetar karena tangisannya. Menyaksikan pemandangan seperti ini, dua
orang
yang tak lain adalah sahabat Imam Ali itu tiba-tiba turut menitikkan
air mata.
Kemudian Imam Ali menghampiri mereka.
"Wahai Amirul Mukminin!" kata salah seorang dari
mereka. "Engkau
terguncang sedemikian rupa di depan keagungan Ilahi, lantas bagaimana
dengan
kami?"
Imam Ali melemparkan pandangannya ke tanah. Sejenak
kemudian beliau berkata:
"Suatu hari nanti, kita semua akan dihadapkan kepada Allah, dan tak
sedikitpun
amalan-amalan kita tersembunyi baginya. Jika sekarang engkau mengingat
Allah,
niscaya kelak pandanganmu akan terang benderang. Kesempurnaan iman
terletak
pada kecintaan kepada Allah. Jika engkau mencintai sesuatu, pasti
ingatanmu
akan tertambat padanya, dan engkau tidak akan mencintai yang lain
melebihi kecintaanmu
kepadanya."
Setelah itu perlahan-lahan Imam Ali meninggalkan dua
orang sahabatnya kemudian
menghanyutkan dirinya dalam rintihan doa.
Suatu hari, sekelompok masyarakat tampak berkumpul
disebuah jalan utama kota
Anbar. Wajah mereka tampak tengah menanti-nanti tibanya seseorang dari
arah
jauh. Para pemimpin kota itu berada di barisan terdepan di atas kuda.
Tak lama kemudian tampaklah bayangan dari jauh.
Bayangan itu semakin mendekat
dan masyarakatpun semakin tidak sabar untuk menatap wajah pemimpin
besarnya,
Imam Ali A.S. Ternyata bayangan seseorang yang mengendarai kuda itu
ialah Imam
Ali A.S. Beliau tiba di gerbang kota. Untuk menyambut beliau, para
pemimpin
kota itupun segera turun dari hewan yang dikendarainya kemudian
menghampiri
Imam Ali dan melakukan sembah takzim di atas tanah.
Melihat itu, Imam Ali tampak kecewa. "Apa maksud dari
yang kalian lakukan
ini?" tanya Imam Ali A.S. "Ini adalah tradisi resmi kami untuk
menyambut
dan menghormati seorang tokoh besar", jawab mereka.
Namun dengan nada kecewa Imam Ali A.S. berkata: "Demi
Allah, apa yang
kalian lakukan itu sama sekali tidak akan menguntungkan kalian. Apa
yang kalian
lakukan itu sia-sia, malah mendatangkan azab akhirat. Betapa ruginya
menyibukkan
diri sementara kesibukan itu malah mendatangkan azab."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar