Pembicaraan tidak selalu ber arti pemahaman antara dua jiwa Kata-kata yang berasal dari bibir-bibir dan lidah-lidah tidak selalu bisa membawa sepasang hati bersama Ada sesuatu yang lebih agung dan lebih murni dari apa yang diutarakan mulut.

Kamis, Desember 30, 2010

Cinta itu “walaupun” bukan “Karena”

Orang bijak berkata,”Seseorang belum dapat dikatakan mencintai bila masih suka memperhitungkan atau mempertanyakan yang dicintainya.”Orang prancis menyatakan “L’amour n’est pas parce que mais malgre”. Cinta itu bukan ‘karena, tetapi ‘walaupun’. Kalau kita masih mempertanyakan untuk apa kita mencintai, berarti kita masih pada tahapan parce que, tahap ‘karena’; belum sampai pada tahap ‘walaupun’.
Ada satu cerita hindu yang menunjukkan bahwa cinta itu ‘walaupun’. Bukan ‘karena’. Alkisah, seorang Raja diminta untuk membawa mayat dari tempat penggantungan ke tempat pendeta. Di tengah jalan, mayat itu berkata,”Hai Raja, kasihan sekali anda ini, jauh-jauh membawa saya. Supaya kau tidak lelah, bagaimana kalau saya bercerita” dan mayat itu pun berkisah: suatu ketika, hidup seorang pendeta bersama putrinya yang amat cantik. Satu hari, datang tiga orang pendeta yang semuanya berwajah tampan. ketiganya berkata,”kalau perempuan ini sampai kepada orang lain, tidak kepada saya, saya akan bunuh diri”.

Calon mertua itu kebingungan. Bila ia memberikan putrinya kepada salah satu dari pendeta itu. Akan terjadi dua pembunuhan. Dalam keadaan bingung, tiba-tiba si gadis meninggal. Dibawalah gadis  itu ke tempat pembakaran mayat, Masing-masing pendeta tampan yang mencintai gadis itu menunjukkan perilaku yang berbeda.

Pendeta yang pertama duduk di atas tempat bekas pembakaran mayat. Ia membuat gubuk dan menetap disana terus-menerus. Ia tidak mau meninggalkan tempat itu. Tak benti-hentinya ia melantunkan doa pujian untuknya.

Pendeta yang kedua pergi ke sungai Gangga untuk meleburkan tulang belulang dalam rangka menyempurnakan kematiannya. Sesuai tradisi hindu, seseorang meleburkan tulang belulang orang tuannya yang meninggal sebagai tanda kecintaannya.

Adapun pendeta yang ketiga, ia pergi berkelana, sampai akhirnya ia bertemu ke rumah keluarga seorang pendeta tua. Ketika ia dijamu makan oleh keluarga itu, anak si tuan rumah menangis keras. Ibunya marah. Dijewernya telinga anak itu dan dilemparkannya ke dalam api. Anak itu meninggal dan langsung menjadi debu. Pendeta berkata.’aku tidak mau makan disini. Kalian bukan pendeta. Kalian durjana. Manusia raksasa yang menyamar menjadi pendeta’. Orang tua itu berkata,’jangan terburu nafsu’. Ia lalu masuk ke kamarnya untuk membawa kitab suci. Begitu kitab dibacakan, anak itu hidup lagi seperti sediakala. Barulah pendeta itu mau melanjutkan makannya. Pada malam hari, pendeta ketiga ini mencuri kitab suci tersebut untuk menghidupkan kembali kekasihnya.;

Singkat cerita, ia sampai ke tempat pembakaran mayat gadis tersebut, ia datang bersamaan dengan pecinta kedua yang meleburkan tulang ke sungai Gangga. Pendeta ketiga meminta pendeta pertama, yang mendirikan gubuk, untuk memindahkan gubuk itu dengan alasan ia tidak ingin gadis itu menabrak gubuk bila ia hidup kembali. Lalu, dibacakanlah doa dari kitab suci. Kemudian dengan sekejap putri itu hidup kembali dan ia lebih cantik dari sebelumnya. Tak ubahnya sepotong emas yang baru disepuh dari pembakaran, lebih cemerlang dan indah.

Tentu saja ketiga pendeta itu bahagia. Tapi, semua lalu merasa dirinya yang paling berhak untuk menikahi gadis itu, pendeta pertama berkata.”sayalah yang menungguinya siang malam seraya melantunkan doa pujian untuknya’. Pendeta kedua berujar, ‘sayalah yang meleburkan tulang belulangnya di gangga”. Sementara pendeta ketiga berdalih. ‘sayalah yang membacakan doa hingga dia hidup kembali’.

Sampai disini, sang mayat pendongeng di atas menghentikan ceritannya. Ia lalu bertanya kepada raja yang membawanya”Wahai Raja, tolong beri penjelasan kepada saya, siapakah diantara ketiga orang itu yang berhak menjadi suaminya? kalau kau tidak bisa menjawab, akan aku patahkan lehermu”. Sang raja menjawab,”pendeta ketiga yang menghidupkannya kembali berada dalam posisi sebagai bapak. Pendeta kedua, yang melaburkan tulang di gangga, telah melakukan suatu pengabdian. Karena itu, dia lebih pantas menjadi anaknya. Yang lebih berhak menjadi suaminya adalah pendeta pertama yang terus berada ditempat pembakaran mayatnya. Ia tetap mencintai gadis itu walaupun si gadis sudah menjadi debu, walaupun ia tidak bisa melihat lagi senyumannya, walaupun ia tidak bisa mendengar lagi suarannya. Ia tetap setia menunggu di tempat itu sampai kapan pun”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar