Pembicaraan tidak selalu ber arti pemahaman antara dua jiwa Kata-kata yang berasal dari bibir-bibir dan lidah-lidah tidak selalu bisa membawa sepasang hati bersama Ada sesuatu yang lebih agung dan lebih murni dari apa yang diutarakan mulut.

Sabtu, Mei 07, 2011

Cinta Ahlul bait Upah Risalah Rasulullah Saw





قُلْ لا أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلاَّ الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبى‏ وَ مَنْ يَقْتَرِفْ حَسَنَةً نَزِدْ لَهُ فيها حُسْناً إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ

Katakanlah (Wahai Rasulullah):"bahwa aku tidak meminta upah apapun dari kalian (atas risalah yang dibawa), kecuali kecintaan terhadap kerabatku dan barang siapa berbuat baik Kami akan menambahkan di dalamnya kebaikan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.


Poros Pembahasan

Ulama Ahli sunah terperangkap dalam praduga dan tafsir bi ra'y dalam menjelaskan ayat ini. Oleh karena itu, banyak pendapat yang begitu unik yang mereka kemukakan yang insya Allah pada pembahasan mendatang akan kami bahas. Sedangkan para ulama Syi'ah dengan bersandar kepada ajaran dan tuntunan Ahlul bait a.s. telah mengemukakan penafsiran yang jelas dan baik sekali.

Sekilas Tentang Ayat-ayat Sebelumnya

Untuk lebih mempermudah dalam memahami ayat Mawaddah ini, perlu dijelaskan secara global tentang ayat sebelumnya dan awal dari ayat ini yang tidak kami sebut di atas.


الَّذينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ

Dan mereka yang beriman dan beramal saleh, setelah menjelaskan nasib yang ditimpa oleh kaum durjana dan masa depan suram yang akan mereka jumpai, Allah Swt menggambarkan masa depan penuh gemilang kaum muslim yang telah mengkolaborasikan keimanan dengan amal saleh dan tidak mencukupkan diri dengan dua syahadat, akan tetapi lebih dari itu, mereka melakukan amal saleh dengan segala upaya. Dalam ayat mulia ini, selain pemaparan masa depan seorang mukmin yang beramal saleh juga menyebutkan tiga pahala yang akan mereka terima, di mana pahala kedua lebih baik dari pahala pertama dan pahala ketiga lebih istimewa dari pada pahala kedua.

1. روضات الجنات Pahala pertama mereka adalah di hari kiamat mereka akan menempati surga. Di manakah روضات الجنات itu? Jawab, jika kita menelaah seluruh Al-Quran maka kalimat ini tidak akan dijumpai kecuali dalam ayat 22 surah Syura ini saja. Orang Arab menyebut taman yang hijau dan rindang, segar dan menyimpan banyak air dengan Raudhah. Terkadang kata ini juga digunkana untuk tempat genangan air. Hanya saja maksud kita dari kata ini dalam kajian kali ini adalah arti yang pertama yaitu taman yang rindang sejuk dan asri.

Soal; mengingat seluruh surga itu hijau dan rindang, lalu apa perlunya menyebut dengan jumlah tadi? Jawab, ini disebabkan selain surga mereka juga akan memiliki taman dan kebun lain yang khusus dihadiahkan bagi para hamba Allah Swt.

Hasilnya, pahala pertama yang akan dinikmati oleh seorang mukmin yang beramal saleh adalah tinggal di taman-taman surga.

1. لهم ما?شاؤن Orang mukmin yang melakukan amal saleh selain akan menghuni taman-taman surga itu, juga akan diberi imbalan lain berupa terkabulkannya segala hal yang mereka kehendaki. Sungguh ini merupakan nikmat materi yang teramat besar di mana apa yang diinginkan terwujud dan terealisasi.
2. عند ربهم Nikmat-nikmat surgawi gabungan antara nikmat materi dan non materi. Dari sisi materi, sebagaimana telah disebutkan, seorang mukmin yang beramal saleh berada pada posisi yang terbaik, dan dari sisi spiritual mereka juga demikian; karena mereka berada di sisi Allah Swt, itu adalah posisi para syahid yang disebut dalam surah Ali Imran ayat 169. Akan tetapi kita tidak mengetahui maksud dari di sisi tuhan mereka itu, serta berkah-berkahnya. Dia Mahatahu.

ذلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبيرُ Itu merupakan keutamaan yang besar. Mengingat nikmat-nikmat tertinggi baik materi maupun non materi telah disiapkan untuk hamba-hamba mukmin yang beramal saleh, Allah menamakan semua itu dengan keutamaan yang besar. Dan saat Allah Swt yang Maha segala-galanya mengatakan keutamaan yang besar, maka kita sebagai manusia yang terbatas, sebesar apapun yang kita bayangkan akan terasa kecil dan nihil.

Hasilnya, tolok ukur penghambaan terhadap Allah dua hal: Iman dan amal saleh. Oleh karena itu, hal-hal lain seperti ilmu, kekayaan, harta dan kekuatan, posisi di tengah-tengah masyarakat semua akan bernilai dan berjarga saat berada di jalan keimanan dan amal saleh.

Penjelasan Dan Tafsir Kecintaan Kepada Ahlul bait, Upah Risalah

Tanpa diragukan lagi, Rasulullah Saw dalam menyampaikan risalah dan mengemban tugasnya telah menerima berbagai kesulitan dan penderitaan; akan tetapi beliau sama sekali tidak meminta balasan kepada siapapun akan usaha mulia yang telah beliau lakukan. Di saat para sahabat datang dan menawarkan diri dengan berkata: Jika anda butuh materi; uang atau yang lain maka berapapun yang Anda minta akan kami berikan, maka turunlah ayat di atas[1] dan menjelaskan bahwa Rasulullah tidak akan meminta upah dari siapapun, selain cinta terhadap kerabat terdekatnya.

Dengan demikian, Rasulullah meminta upah jerih payah beliau mengemban tugas selama 23 tahun untuk Islam dan muslimin dengan kecintaan terhadap Qurba.

Siapakah Qurba itu?

Seluruh pembahasan ayat mulia ini bermuara pada maksud dari kata Qurba. Memang sebuah pertanyaan penting siapa gerangan Qurba yang menjadi upah jerih payah Rasulullah Saw dalam menyebar luasakan ajaran sucinya.

Sebagian ulama dan mufasir begitu mudah melewatkan kajian ayat mulia ini dan tidak menyibukkan dirinya dalam memahami kandungannya. Hal ini bisa jadi dikarenakan kandungan ayat ini tidak sesuai dengan praduga mereka dan memaksa mereka berbuat demikian. Padahal ayat ini memiliki kandungan yang begitu dalam. Untuk memahami keagungan ayat dan kandungannya ini cukuplah kita menyadur ungkapan para nabi di dalam Al-Quran tentang upah risalah ini.

Jika kita menelaah surah Asy-Syu'ara kita akan mendapati bahwa masalah upah risalah para nabi sebelum Rasulullah; Nabi Nuh, Hud, Saleh, Luth dan Syu'aib juga telah disinggung. Akan tetapi semuanya tidak meminta upah apa-apa bahkan mereka juga tidak meminta kerabat mereka dicintai atau dihormati. Mereka hanya berkata:


وَ ما أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلى‏ رَبِّ الْعالَمينَ

"Dan aku tidak meminta dari kalian upah apapun, upahku hanya tuhan semesta alam".[2]

Bagaimana mungkin para nabi tidak meminta upah sedang Rasulullah Saw melakukannya?

Apakah posisi Rasulullah Saw lebih tinggi dari para nabi yang lain? Tanpa diragukan lagi, baginda Nabi Muhammad Saw sebagai penghulu para nabi lebih utama dari semua nabi dan rasul yang lain. Di dalam al-Quran disebutkan bahwa pada hari kiamat setiap nabi hanya saksi bagi ummatnya sendiri, sedang Rasulullah Saw saksi bagi semua saksi.[3] فَكَيْفَ إِذا جِئْنا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهيدٍ وَ جِئْنا بِكَ عَلى‏ هؤُلاءِ شَهيداً

Kajian ini semakin sulit jadinya, di mana bagaimana mungkin Rasulullah Saw sebagai nabi yang paling utama meminta upah dari usaha yang dilakukannya sedang para nabi yang lain yang di bawahnya tidak memintanya?!

Soal: Apa tujuan Rasulullah Saw meminta upah semacam itu? Apakah itu untuk kepentingan dirinya sendiri; atau permintaan ini mengandung tujuan suci lain yang tersimpan yang kembali kepada kaum muslimin?

Jawab: untuk lebih memperjelas jawaban soal ini mari kita telaah dua ayat lain selain ayat Mawaddah ini.

1. Dalam ayat 47 surah Saba' disebutkan:


قُلْ ما سَأَلْتُكُمْ مِنْ أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللَّهِ وَ هُوَ عَلى‏ كُلِّ شَيْ‏ءٍ شَهيدٌ

" (Wahai Rasulullah) katakanlah: apa yang aku minta dari upah maka itu untuk kalian, upahku hanya atas Allah Swt dan Dia Saksi atas segala sesuatu."

Ayat mulia ini, pada batas tertentu telah menyingkap sedikit tabir gelap yang menyelimuti ayat Mawaddah, dan menjelaskan bahwa Rasulullah Saw sama seperti para nabi yang lain tidak pernah mengharap imbalan dan upah, bahakan kecintaan terhadap Qurba pada hakikatnya kembali kepada masyarakat.

1. Di dalam ayat 57 surah Furqan yang sebenarnya penjelas ayat 47 surah Saba' disebutkan faidah kecintaan terhadap Qurba:


قُلْ ما أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلاَّ مَنْ شاءَ أَنْ يَتَّخِذَ إِلى‏ رَبِّهِ سَبيلاً

" katakanlah: Aku tidak meminta upah sama sekali kecuali orang yang ingin memilih jalan menuju tuhannya.

Ayat pertama menjelaskan bahwa upah risalah bukan untuk kepentingan Rasulullah Saw akan tetapi kembali kepada umat manusia. Pada ayat ini dijelaskan bahwa adanya upah risalah pada dasarnya demi keberlangsungan risalah dan keuntungannya kembali kepada risalah dan agama itu sendiri.

Dengan demikian, upah risalah sama sekali bukan untuk kepentingan Rasul, akan tetapi beliau sama seperti nabi-nabi yang lain tidak meminta upah, hanya saja upah risalah adalah kecintaan terhadap Qurba yang secara tidak langsung menjadi sebab kelanggengan risalah. Nah, setelah memahami bahwa mawaddah terhadap Qurba memiliki kepentingan yang luar biasa maka logiskah jika kita melewatkan kajian tentangnya?

Qurba Menurut Kaca Mata Syi'ah

Ulama Syiah dengan renungan yang seksama mengenai ayat mulia ini bersepakat bahwa maksud dari Qurba adalah Ahlul bait a.s. Dan tanpa diragukan lagi, wilayah merupakan rahasia keberlangsungan risalah dan sepadan dengannya. Oleh karena itu, upah ini (kecintaan terhadap Qurba) sesuai dengan risalah sendiri; di samping itu wilayah pada hakikatnya pembimbing manusia menuju Allah Swt.

Jika ayat Mawaddah ditafsirkan sesuai kajian mufasir Syi'ah maka kandungan ayat ini akan terlihat jelas begitu juga ayat-ayat yang berkaitan dengannya juga akan dipahami serta memberikan keserasian dan relasi logis di antara ayat-ayat itu. Yang menarik dalam doa Nudbah, yang merupakan sekumpulan khazanah keilmuan ilahiyah menyebut tiga ayat di atas dan menyimpulkan sebuah hasil yang baik bahwa para imam adalah jalan-jalan yang berakhir pada rahmat dan ridho ilahi.

Pendapat Ulama Ahli sunah Tentang Qurba

Ulam Ahli sunah memaparkan berbagai pendapat tentang hal ini, di mana semua pendapat tersebut tidak sesuai dengan ayat itu sendiri. Berikut ini beberapa contoh darinya:

1. Salah satu pendapat itu adalah Qurba adalah kecintaan terhadap Ahlul bait Rasulullah Saw; akan tetapi kecintaan itu tanpa wilayah dan imamah, yang ada hanya hubungan dhahir dengan mereka. Hanya yang perlu ditanyakan, apakah kecintaan sederhana semacam ini dapat disejajarkan dengan risalah ilahiyah? Atau cinta biasa tanpa wilayah dapat dijadikan sebagai upah risalah?

Selain itu, bagaimana mungkin Rasulullah meminta upah seperti itu padahal para nabi yang lebih rendah derajatnya dari beliau tidak melakukannya dan memintanya dari Allah Swt semata? Oleh karena itu tafsir dan pendapat di atas tidak dapat dibenarkan.

1. Sebagian menafsirkan Qurba dengan pekerjaan-pekerjaan baik yang mendekatkan manusia kepada Allah Swt. Oleh karena itu Mawaddah Qurba berarti cinta terhadap segala kebaikan; cinta shalat, puasa, haji, jihad, silaturahmi, menghormati orang-orang besar dan perbuatan baik yang lain adalah upah risalah!
2. Sebagian berpendapat ف? dalam ayat Mawaddah bermakna lam, dengan demikian arti ayat demikian: upah risalahku adalah cintailah diriku; karena aku termasuk famili kalian. Kemudian dibuatlah silsilah yang begitu panjang dan membeber hubungan Rasulullah Saw dengan semua kabilah Arab.

Akan tetapi isykalan pendapat ini juga jelas:

Pertama, penggunaan kata fi dengan arti lam sangat jarang dipakai dan bukti hal pemakain itu dalam ayat ini tidak ada. Kedua, cinta Rasulullah tidak sepadan dengan risalah sendiri dan tidak mungkin dijadikan sebagai upah penyebaran risalah. Tafsir semacam ini pada hakikatnya merusak keagungan ayat mawaddah ini.

1. Tafsir lain yang lebih lemah dari sebelumnya adalah cintailah kerabat kalian sendiri karena cinta kerabat kalian adalah upah risalah Rasulullah Saw.

Ketidak benaran tafsir ini begitu gamblang sekali dan tidak butuh pada penguraian, karena bagaimana mungkin cinta keluarga sendiri menjadi upah risalah ilahi? Apakah dengan kecintaan semacam ini isalah lahi akan tetap langgeng. Iya begitulah jika kita terperangkap pada praduga yang menyimpang pendapat ini pasti akan muncul.

Apakah pendapat dan tafsir ini dan tafsir-tafsir sebelumnya sesuai dengan ayat itu atau jika seseorang sedikit saja mengetahui tata bahasa Arab dia akan mengetahui ketidak serasian tafsiran itu. Oleh karena itu tidak aneh jika para ulama pencetus tafsiran ini mengakui bahwa tafsir itu adalah metafora dan tidak hakiki.

Pengakuan Yang Tak Dapat Dihindari

Sebuah hal yang sangat menarik dan menggelikan adalah banyak para mufasir Ahli sunah yang menukil sebuah riwayat panjang dan detail dari Rasulullah Saw berkaitan dengan kecintaan terhadap Ahlul bait a.s.

Berikut ini riwayat tersebut yang dinukil dari Fakhr Razi: penulis kitab Kasyaf menukil dari Nabi Saw, di mana dia menukil 12 kalimat penuh makna dari baginda nabi Saw:

1. Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia mati dalam keadaan syahid.
2. Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia mati dalam keadaan terampuni dosa-dosanya.
3. Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia mati dalam bertaubat.
4. Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia mati dalam keadaan mukmin dan beriman sempurna.
5. Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia mati dalam malaikat maut kemudian malaikat Munkar dan Nakir mengabarkan berita gembira dengan surga.
6. Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia seperti seorang pengantin perempuan dibopong ke rumah suaminya.
7. Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dibuka baginya di dalam kubur dua pintu menuju surga.
8. Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka Allah akan menjadikan kuburannya tempat ziarah para malaikat rahmat.
9. Barang siapa meninggal atas kecintaan terhadap keluarga Muhammad Saw, maka dia mati dalam keadaan berpegang kepada sunnah dan jama'ah.
10. Barang siapa meninggal atas kebencian terhadap keluarga Muhammad Saw maka dia akan datang di hari kiamat dengan cidat ditulisi: orang yang putus asa akan rahmat Allah.
11. Barang siapa meninggal atas kebencian terhadap kelauarga Muahmmad Saw maka dia mati dalam keadaan kafir.
12. Barang siapa meninggal atas kebencian terhadap kelauarga Muahmmad Saw maka dia tidak akan pernah mencium aroma surga.

Sesuai riwayat ini, arti kalimat di atas adalah, barang siapa membenci keluarga Rasulullah Saw bukan hanya dia tidak akan masuk surga, tapi lebih dari itu dia selama 500 tahun akan terjauhkan dari surga oleh karenanya dia tidak akan mencium aroma surga tersebut. Al-hasil orang semacam ini akan jauh dari surga.

Bagaimana mungkin orang akan percaya ulama sebesar Fakhr razi menukil riwayat yang teramat penting itu dan dengan tanpa perenungan dan kajian yang cukup menafsirkan ayat mawaddah dengan kecintaan biasa terhadap mereka. Lebih aneh dari itu, setelah menukil riwayat di atas, dia mulai menjelaskan maksud dari keluarga Rasulullah Saw, seraya berkata:" Keluarga Muhammad Saw adalah orang-orang yang urusannya kembali kepada beliau, siapa yang hubungannya dengan beliau maikn kuat dan erat maka dia disebut dengan Al (keluarga). Dan tanpa ragu lagi, Fatimah, Ali, Hasan dan Husain memiliki hubungan yang terkuat dengan Nabi di banding orang yang lain. Hal ini termasuk hal yang disepakati dan dinukil dari hadis yang mutawatir.[4]

Penukilan riwayat di atas dari ulama fanatik Ahli sunah adala hal yang unik sekali. Ungkapan semacam ini membuat kita yang menelaahi kitab tersebut ragu, apakah penulisnya seorang Sunni atau Syi'i?

Soal, dengan merujuk kepada teks ayat dan ayat-ayat yang berkaitan dengan ayat mawaddah serta dengan mengkaji riwayat yang detail di atas, apakah dapat dipercaya bahwa kecintaan yang menjadi poros pembahasan ayat dan riwayat itu adalah kecintaan biasa dan minus wilayah?

Apakah secara yakin tidak dapat diklaim bahwa kecintaan di atas adalah wilayah dan imamah secabagi keberlangsungan risalah Rasulullah Saw?

Jika tidak, tafsir apakah yang sesuai riwayat serta ayat-ayat yang disebut di atas?

Tafsir Mawaddah Dalam Ungkapan Imam Shadiq a.s.

Dalam riwayat yang dinukil dari Imam Shadiq a.s. disebutkan:" orang yang bermaksiat (pada dasarnya) tidak mencintai Allah.[5]

Oleh karena itu, barangsiapa yang menentang jalan Ali a.s. maka berarti dia tidak mencintai Allah, karena tujuan kecintaan hendaknya berada pada ketaatan. Oleh karenanya, cinta tanpa ketaatan bukanlah sebuah cinta.

Berikut ini sebuah kisah yang menarik: Hajib seorang penyair terkenal pernah menggubah sebuah bait-bait syiir berkenaan dengan imam Ali yang kandungannya demikian: Agar cinta terhadap Ali tertanam di dada maka cukuplah itu sebagai keselamatan kendati manusia tenggelam dalam lautan dosa. Ini adalah kecintaan semu dan gombal yang merupakan lampu hijau bagi para pendosa.

Dalam satu malam, Hajib melihat imam Ali a.s. dalam mimpinya di mana beliau bersabda: apa syair yang sedang kau lantunkan itu?! Hajib bertanya lalu apa yang harus aku lantunkan? Jika di hari mahsyar kita bersama Ali maka malulah terhadapnya dan sedikitlah berbuat dosa.

Oleh karena itu kecintaan berarti ketaatan terhadap Allah dan meninggalkan dosa.

Tafsir Ayat Mawaddah sesuai dengan Riwayat

Dalam menjelaskan dan menafsirkan ayat mulia ini banyak riwayat-riwayat yang beragam dari kalangan syiah maupun ahli sunnah. Berikut ini beberapa contoh darinya:

1. Ahmad salah seorang pemuka ahli sunnah dalam kitabnya Fadhailus- Shahabah menukil riwayat dibawah ini dari Said bin Jubair dari Amir: “Saat ayat mawaddah turun mereka bertanya: wahai Rasulullah siapakah kerabatmu itu? Siapa gerangan yang kecintaannya wajib bagi kita? Beliau menjawab mereka adalah Ali, Fathimah dan kedua putranya. Rasul mengatakan ini sebanyak tiga kali.[6]”

Dari riwayat yang indah ini dapat disimpulkan beberapa poin penting:

a. Riwayat di atas menjelaskan bahwa maksud dari pada kerabat nabi a.s. bukanlah beliau, bukan kaum muslimin dan bukan perbuatan baik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Selain itu kerabat itu tidak mencakup seluruh famili Rasulullah; akan tetapi hanya mencakup orang-orang khusuis yang namanya disebutkan di atas.

b. Kesimpulan yang diambil dari poin pertama itu telah difahami oleh para sahabat saat itu, sehingga mereka tidak meraba-raba dan menerka seperti yang dilakukan ulama ahli sunnah setelah mereka dan para sahabat ini memahami bahwa kecintaan yang dimaksud khusus untuk para famili beliau, sehingga mereka meminta kejelasan dari pada rasul kerabat manakah yang dimaksud oleh ayat itu.

c. Para sahabat nabi telah memahami kewajiban untuk mencintai Qurba dari ayat mawaddah sebagaimana difahami olrh seluruh ulama syiah dan ahlu sunnah terlepas dari maksud dari qurba itu. Akan tetapi kami perlu mengulang soal ini kenapa kecintaan terhadap qurba itu diwajibkan?apakah masalah ini seperti sebagian hukum-hukum yang termasuk masalah taabbudi dimana filsafatnya tidak jelas bagi kita, atau falsafahnya jelas? Dan itu adalah kecintaan merupakan mukaddimah ketaatan dan mengikuti para pemuka agama.

Jika kita menginginkan penafsiran yang benar tentang ayat mawaddah dan beberapa ayat yang berkaitan dengannya berikut riwayat panjang yang dinukil oleh Fahr Razi juga riwayat di atas beserta riwayat-riwayat yang akan datang, maka kita harus mengakui bahwa kecintaan itu merupakan filsafah dari wilayah dan pemerintahan. Wilayah yang sejajar kedudukannya dengan risalah. Sebagaimana risalah pokok dari pada Islam maka wilayah akan keberlangsungannya.

Terlebih lagi jika kita mencermati bahwa kendati rasul memiliki sanak keluarga yang begitu banyak sepertyi Abbas bin Abdul Muthalib dan anak cucunya putra-putra Abu Thalib yang lain, putra-putra Abdul Muthalib yang lain dan cucu-cucunya, beliau hanya menunjuk fathimah, Ali, Hasan dan Husain saja, ini merupakan bukti yang sangat kuat bahwa yang dimaksud dalam masalah ini adalah wilayah dan imamamah. Dan jika yang dimaksud kecintaan biasa maka lazim bagi kita mencintai seluruh famili Rasulullah Saw.

2. Marhum Thabrisi dalam Majmaul Bayan menukil sebuah riwayat dari Hakim Haskani, penulis Syawahidut-Tanzil dari Abu Umamah Bahili. Riwayat yang dinukil dari Rasulullah itu demikian: sesungguhnya Allah Swt menciptakan para nabi dari pokok yang berbeda-beda dan menciptakan aku dan Ali dari pokok yang satu, maka aku adalah aslinya, Ali cabangnya, Fathimah talqihnya, Hasan dan Husain buahnya, para pengikut kita daunnya, maka barang siapa berpegangan dengan rantingnya akan selamat sedang yang menyimpang akan tersesat. Jika seorang hamba menyembah Allah antara Shafa dan Marwah selama seribu tahun dan kemudian seribu tahun dan seribu tahun lagi sehingga dia laksana bejana kuno, kemudian dia tidak mencintai kami, maka (ibadah semacam ini ini tidak akan bermanfaat sama sekali, bahkan) Allah Swt akan mencampakkanya ke neraka. Kemudian beliau membaca ayat Mawaddah ini.[7]

Dari riwayat mulia ini juga dapat dipahami beberapa poin:

a. Riwayat ini secara gamblang menafsirkan kata “mawaddah qurba” dengan kecintaanterhadap Ahlul bait a.s. dan dari ungkapannya yang mencengangkan tadi dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ini bukan sekedar kecintaan biasa. Akan tetapi sebuah kecintaan yang dibarengi oleh wilayah dan imamah.

b. Riwayat ini pada hakikatnya gambaran dari ayat شجره ط?به [8]

c. Daun sebuah pohon bertugas menjaga buah, jika sebuah pohon tidak memiliki daun maka buahnya akan rusak akibat sinar langsung matahari.

Tugas para Syi’ah sesuai riwayat ini adalah daun dari pohon mulia itu yang bertugas menjaga buahnya , yang tak lain adalah imamah dan wilayah.

d. Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa ibadah di antara Shafa dan Marwah begitu utama tidak seperti tempat lain yang ada di Masjidil Haram, akan tetapi ibadah di tempat sesuci itupun tidak akan bernilai jika tidak dilandasi oleh imamah dan wilayah.

e. Lagi-lagi kami ulangi, jika kecintaan yang sedang dibahas oleh hadis ini dan yang lainnya hanya kecintaan biasa, maka hadis ini akan mubham, akan tetapi jika kita artikan kecintaan itu dengan wilayah dan imamah maka hadis ini akan tampak jelas.

3. Suyuthi dalam tafsirnya menukil sebuah riwayat masyhur ang dinukil dari Imam Sajjad a.s.: Saat para tawanan Karbala tiba di kota Syam, akibat propaganda yang begitu gencar yang dilancarkan oleh Mu’awiyah dan penguasa setelahnya, seorang penduduk kota itu berkata kepada Imam Zainal abidin a.s.: Syukur kepada Allah yang telah membogkar kebohongan dan tingkah busukmu! Ungkapan ini begitu keji dan pedas sekali, akan tetapi saat mengetahui bahwa ini adalah imbas dari ulah para penguasa bany Umayyah, beliau menjawab tudingan orang tersebut dengan tanpa kemarahan:

· tidakkah anda membaca al-Quran?

· Dia menjawab: iya.

· Tahukan Anda siapakah aku sebenarnya?

· Siapakah Anda?

· Apakah Anda pernah membaca ayat mulia ini, قُلْ لا أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلاَّ الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبى‏?

· Iya, ayat ini berkaitan dengan kewajiban untuk mencintai keluarga Rasulullah Saw, lalu apa hubungannya ayat ini dengan Anda?

· Qurba yang dimaksud oleh ayat itu adalah kami.

Saat orang tua itu mendengar hal ini, dia langsung terpukul dan tertegun dan akhirnya diapun bertaubat serta menyesali apa yang telah dia tuduhkan.[9]

Dari semua konteks dan bukti di atas dapat dipahami bahwa kecintaan dan mawaddah yang ada pada ayat Mawaddah bukanlah kecintaan biasa melainkan kecintaan yang dibarengi dengan wilayah dan imamah.

Beberapa Poin Penting

1. Sesuai beberapa ayat al-Quran kecintaan hendaknya menjadi sebab ketaatan dan penghambaan. Allah berfirman dalam surah Ali Imran ayat 31:


قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوني‏ يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَ يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَ اللَّهُ غَفُورٌ رَحيمٌ

Katakanlah:" Jika kamu) benar- benar (mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa- dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Oleh karena itu, barng siapa mencintai seseorang maka dia harus mengikutinya, dan saat kita mengaku mencintai Ahlul bait a.s. maka kita harus mengikutinya jika tidak maka kecintaan kita perlu diragukan.

2. Sebagaimana telah disebutkan, tanpa merujuk kepada seluruh riwayat dan ayat yang lain, ayat Mawaddah menjelaskan masalah imamah Amirul mukminin a.s. dan para imam yang lain. Dan dengan menelaah riwayat yang menjelaskan sebab turunnya, indikasi tersebut akan semakin jelas. Dan jika ayat ini disejajarkan dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah wilayah yang lain, seperti ayat Ikmal, ayat tablig, ayat Shadiqin dan seterusnya maka indikasinya akan semakin gmblang dan jelas.

3. Ada dua isykalan yang dilontarkan oleh Alusi, mufasir terkenal Ahli sunah dalam kitabnya Ruhul ma’ani, di mana jawaban keduanya telah jelas dengan penjelasan di atas, berikut ini dua sanggahan itu:

a. Bagaimana mungkin Rasulullah Saw meminta dari umat Islam untuk mencintai kerabatnya sebagai upah atas jerih payah beliau menyampaikan risalah, padahal para nabi tidak ada satupaun dari mereka yang melakukannya?

Jawaban soal ini sudah jelas yaitu upah itu kembalinya kepada umat Islam sendiri bukan kepada beliau.

b. Kalaupun kita menerima bahwa maksud dari ayat ini kecnitaan terhadap Ahlul bait a.s., akan tetapi apa hubungan antara kecintaan dan masalah imamah sebagaimana diklaim oleh kalangan Syi’ah?

Jawaban soal ini juga telah jelas bahwa upah segala sesuatu harus sesuai dengan kerja yang dilakukan, kecintaan yang sumber dan hasilnya adalah wilayah merupakan kecintaan yang sesuai dengan risalah. Sedang keintaan biasa minus wilyaha tentu tidak akan sekelas dengan risalah. Dan ketika kita meyakini bahwa Allah Swt Maha Bijak dan Dia patsi memberi upah dan balasan yang sesuai. Rasulullah juga manusia yang bijakyang pasti meminta upah yang sesuai pula. Dengan demikian maksud dari kecintaan yang sedang dibahas adalah wilayah dan imamah.

Pesan-pesan Ayat

Apa hakikat kecintaan yang disebut dalam ayat Mawaddah sebagai upah risalah ilahi itu? Apa arti dari kecintaan terhadap Amirul mukminin Ali a.s. dan para imam?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu disebutkan bahwa cinta itu ada dua macam: cinta asli dan cinta palsu.

Untuk lebih jelasnya, perlu diperhatikan sebab cinta itu apa? Kenapa kita mencintai Ali a.s.? karena hartanya? Karena kesempurnaannya? Karena ilmunya? Karena keberniannya? Karena kemurahan hatinya? Karena pengorbanannya? Karena jihad dan pembelaannya terhadap Islam dan Rasulullah Saw? Atau karena masalah lain? Jika kita mencintai beliau karena nilai-nilai terpuji yang diyakininya itu, maka apakah serpihan nilai-nilai tersebut ada pada diri kita? Jika sama sekali tidak ada, maka cinta kita itu semu dan palsu sedang jika hal-hal itu ada maka cinta kita itu sejati.

Salah satu nilai yang sangat ditekankan oleh amirul mukminin Ali a.s. adalah lebih mengedepankan hukum dan undang-undang dari pada hubungan dan relasi. Salah satu contohnya adalah kisah yang cukup terkenal berikut ini:

Setelah menanggung berbagai kemadzluman, akhirnya setelah beberapa tahun, Ali a.s. menduduki posisi yang telah dicanagnkan oleh Allah dan rasul-Nya yaitu menjadi pemimpin umat Islam. Aqil, saudara beliau yang miskin meninggalkan Madinah menuju pusat pemerintahan Islam, Kufah, dengan tujuan dapat menerima bagian baitul mal yang lebih banyak lagi. Mengingat panasnya kota kufah, imam menggelar makan siang di atas atap rumah, dan dengan hidangan ala kadarnya tidak seperti penguasa-penguasa lain. Oleh karena itu, Aqil tidak mau menyantap hidangan makan malam itu dan berkata:” makanan ini tidak cocok dengan seleraku, kurangilah bebanku supaya aku dapat kembali ke Madinah.” Imam Ali a.s. menjawab:” wahai saudaraku pasar kota Kufah dekat dari sini, di sana terdapat toko-toko yang dipenuhi dengan barang-barang yang mahal, ayo ke sana dan curilah apa yang engkau sukai!

Aqil menyanggah:” Saudaraku, memamngnya kita pencuri yang harus melakukan hal seperti itu?” Beliau menjawab:” tidakkah meminta sesuatu yang lebih dari baitul mal merupakan pencurian?

Kemudian Ali a.s. mengusulkan hal lain dan bersabda:” Aku mendengar sebuah rombongan akan datang ke kota Kufah, mari kita bedua menyongsong mereka dan merampok barang-barang yang engkau inginkan!”

Aqil kembali menyanggah:” Saudaraku, memangnya kita ini para penyamun sehingga harus melakukan hal tersebut?”

Ali a.s. menjawab:”memberi bagian lebih dari Baitul mal merupakan salah satu bentuk perampokan, lalu mengapa engkau memintaku untuk melakukannya?[10]

Kemudian Ali mendekatkan sebuah besi panas ke tangan saudaranya. Aqil saat mengetahui sang panglima tidak akan mengabulkan permintaanya yang menyimpang dari keadilan akhirnya bangkit dan pergi.

Sepanjang sejarah manusia adakah orang seorang saudara yang memiliki segalanya, kekayaan negara berada di bawah kakinya, tapi bertindak demikian kepada saudaranya atas nama keadilan.

Gradasi Cinta

Cinta seperti hal lain bergradasi dan bertingkat-tingkat. Cinta terhadap Amirul mukminin Ali a.s. juga demikian. Sebagian cintanya palsu, cinta yang diucapkannya hanya pemanis lidah semata dan tidak pernah mengakar dalam hati. Sebagian cinta tidak palsu dan bersumber dari hati akan tetapi cinta itu tidak mendalam. Dan kelompok ketiga mereka yang mencintai beliau dari lubuk hati yang paling dalam, sehingga seluruh wujudnya menjadi copian dari sang kekasih. Pergaulan, ucapan, akhlak dan semua tindak tanduknya kelompok ini adalah tindak tanduk Ali a.s. Ini merupakan tingkatan tertinggi dari rasa cinta, sebuah tingkatan di mana penyandangnya tidak akan rela cintanya tersebut ditukar dengan hal apapun bahkan lebih dari itu mereka rela mengorbankan jiwanya di jalan ini. Berikut ini sebuah contoh dari cinta yang sejatai:
Maitsam At-Tammar, Pecinta Sejati

Ali a.s. berkata kepada salah satu sahabat beliau yang sangat setia mencintai beliau:” Engkau di masa yang akan datang, akan digantung karena membelaku, jalanku dan kecintaanmu kepadaku. Saat itu apa yang engkau bayangkan?

Sang pecinta tidak takut dan gentar. Dia tidak menjauh dari Ali akan tetapi dia merasa bahagia seraya berkata:” wahai tuanku di manakah aku akan digantung?!

Ali a.s. menyebut sebuah pohon kurma yang ada di kota Kufah, di situlah engkau akan digantung.

Sang pecinta tidak merasa ciut hatinya dan juga tidak mau keluar dari kota tersebut, malah rasa cinta semakin berkobar di dadanya.

Setiap hari dia datang ke pohon tersebut, merawatnya, menyiraminya, shalat di sampingnya dan berdialog dengannya:” hai pohon kurma! Engkau diciptakan untukku dan aku diciptakan untukmu! Pada satu hari, karena cinta kepada Ali, aku digantung di sini.”

Catatan Kaki:

[1] Tafsir Nemuneh, jilid 20, halaman 402.
[2]Surah Syu'ara', ayat 109, 127, 145, 164 dan 180. poin ini juga disampaikan nabi-nabi yang lain dalam beberapa ayat Quran.
[3]Surah Nisa', ayat 41.
[4] Tafsir Fakhr razi, jilid 27, halaman 165 dan 166. Asli riwayat ini dapat dirujuk di Tafsir Qurthubi, jilid 8, halaman 5843 dan tafsir Tsa'labi, dalam tafsir ayat ini.
[5] Raudlatul Mutaqin, jilid 13, halaman 156.
[6] Hqaqul-Haq, jilid 3, hal 2. Riwayat ini juga disebutkan dalam kitab Durul-Mantsur, jilid 6, hal 7.
[7]Majma’ul bayan, jilid 9, halaman 28.
[8] Surah Ibrahim, ayat 24.
[9] Ad-Durul mantsur, jilid 6, halaman 7.
[10] Biharul anwar, jilid 9, (cetakan Tabriz) halaman 613.(sesuai penukilan kitab Dastan rastan, jilid 1, kisah ke-38).


Sumber : Alhasanain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar