Sekali waktu, tengoklah situs www.libforall.org. Banyak informasi tentang pemikiran dan gerakan liberalisasi yang bisa kita petik dari situs satu lembaga yang secara terbuka mengusung nama “liberal untuk semua” ini. Jumat pagi (20/2/2009), situs ini masih memampang catatan prestasi LibForAll dalam menjalankan misinya di Indonesia. Berbeda dengan sejumlah lembaga pendukung Yahudi dan Israel lainnya, organisasi ini pun tidak segan-segan dan malu-malu untuk menunjukkan dukungannya kepada Israel. Berbagai aktivitas dilakukan untuk membuat membangun gambaran positif tentang negara Zionis Israel.
Disebutkan dalam situsnya, pada 12 Juni 2007, LibforAll menyelenggarakan konferensi keagamaan di Bali, yang disebutnya sebagai “a historic religious summit in Bali”. Konferensi ini dibuat dengan tujuan menegaskan terjadinya peristiwa holocaust (pembantaian terhadap Yahudi di Eropa), mempromosikan toleransi beragama, dan menyingkirkan ideologi kebencian.
Pelaksana Konferensi adalah organisasi bernama Simon Wiesenthal Center yang merupakan partner LibForAll. Acara dibuka oleh pidato mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid yang isinya mengecam keras penolakan terhadap peristiwa holocaust. LibForAll menulis, bahwa acara itu diliput ratusan media di berbagai penjuru dunia. Pesan yang disampaikan kepada dunia jelas, bahwa sebagai satu negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia menolak pemikiran-pemikiran yang mendiskreditkan Yahudi dan Israel.
Peristiwa holocaust memang menjadi salah satu tonggak penting berdirinya negara Israel. Selama puluhan tahun, kaum Yahudi berusaha keras untuk mencitrakan dirinya sebagai kaum tertindas. Masalahnya, masalah itu masih tetap terselimuti kabut tebal, yang pelan-pelan mulai terkuak. Seorang pastor Katolik, Richard Williamson, pada Januari 2009, membuat tindakan yang mengejutkan dengan menyatakan, bahwa korban Yahudi di Tangan Nazi hanya sekitar 200.000-300.000 orang, dan bukan 6 juta seperti klaim Yahudi selama ini. Ia juga membantah adanya kamar gas untuk membantai kaum Yahudi tersebut.
Seorang cendekiawan Yahudi, Norman G. Finkelstein membongkar praktik-praktik bisnis holocaust melalui bukunya, The Holocaust Industry (2000). Meskipun keluarganya menjadi korban Nazi, tapi Finkelstein berani memaparkan konspirasi seputar Holocaust. Kaum Yahudi mengeruk keuntungan yang luar biasa dari bisnis holocaust ini. Selama ini, Holocaust menjadi barang suci yang tidak boleh disentuh. Padahal, bukti-bukti sejarah menunjukkan, angka 6 juta orang sangat sulit dibuktikan dalam sejarah. Banyak cerita-cerita palsu seputar Holocaust yang selama ini disampaikan di publik, terutama kepada masyarakat Amerika Serikat.
Ketika misteri Holocaust makin terkuak di dunia internasional, justru di Indonesia, kelompok LibForAll dapat menggelar satu Konferensi yang mendukung klaim kaum Zionis atas Holocaust. Tentu, bagi Israel, ini prestasi yang membanggakan. Apalagi, pada bulan Desember 2007, LibForAll juga memberangkatkan lima orang Indonesia ke Israel. Situs harian Jerusalem Post pada 8 Desember 2007 menurunkan sebuah berita berjudul Indonesian “Peace Delegation Meet With Peres” (Delegasi Perdamaian dari Indonesia Temui Shimon Peres). LibForAll sangat membanggakan kedatangan delegasi Indonesia yang keberangkatannya juga diatur oleh Simon Wiesenthal Center. Karena itulah, mereka diberi kesempatan istimewa untuk bertemu langsung dengan Presiden Israel, Shimon Peres.
Melalui LibForAll, lobi-lobi Israel di Indonesia terus dijalankan. Sesuai dengan namanya, organisasi ini sangat aktif dalam melakukan proses liberalisasi pemikiran Islam. Dua organisasi Islam terbesar menjadi sasaran utama, yaitu NU dan Muhammadiyah. Situs LibForAll berisi banyak foto kegiatan yang melibatkan tokoh-tokoh kedua organisasi tersebut. Tentu ini adalah upaya propaganda LibForAll yang ingin membangun citra, seolah-olah mereka sudah berhasil ‘menguasai’ dan ‘mengatur’ kedua organisasi Islam tersebut.
Kita memahami bentuk propaganda model LibForAll ini. Padahal, faktanya, baik di tubuh NU maupun Muhammadiyah, resistensi terhadap Yahudi dan Israel sangatlah tinggi. Apalagi, setelah pembantaian ribuan warga Gaza oleh Israel, citra Israel sebagai negara biadab semakin tertanam secara mendalam pada benak umat Islam Indonesia. Namun, LibForAll, melalui situsnya, terus membanggakan kisah suksesnya dalam menanamkan lobi Yahudi dan menyebarkan paham liberalisme di Indonesia.
Salah seorang yang dibangga-banggakan oleh LibForAll adalah yaitu Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, penasehat LibForAll yang juga guru besar UIN Yogya. Dalam situsnya, LibForAll menulis peran penting Munir Mulkhan dalam memberantas ekstrimisme di Muhammadiyah. Prestasi Munir dalam menolak ekstrimisme dan menjauhkan Muhammadiyah dari partai politik Islam, khususnya PKS, disebut sebagai sebuah prestasi besar (a landmark achievement). PKS disebut identik dengan Hamas dan berafiliasi dengan kelompok radikal Ikhwanul Muslimin. LibForAll menulis:
“The new year arrived on the heels of a landmark achievement by LibForAll Advisor and Senior Fellow Dr. Abdul Munir Mulkhan (former Vice Secretary of the Muhammadiyah, the world’s second-largest Muslim organization, with 30 million members). After a year-long campaign, Dr. Munir succeeded in mobilizing his organization to officially reject extremism and distance itself from Islamist political parties, which have penetrated the Muhammadiyah through the so-called “Tarbiyah,” or Islamic Education, movement. The heavily-funded group thus rejected, the PKS, is the Indonesian political equivalent of Hamas, and is affiliated with the radical Muslim Brotherhood.”
Prestasi Munir Mulkhan ini ditulis juga dalam sebuah artikel di Wall Street Jornal (10/4/2007) berjudul “The Exorcist: An Indonesian man seeks “to create an Islam that will make people smile” oleh Bret Stephens. Prof. Abdul Munir Mulkhan dikenal sebagai aktivis lintas agama yang memang sangat liberal. Ia sangat terobsesi untuk meletakkan nilai-nilai kemanusiaan universal di atas ajaran-ajaran agama yang ada.
Sekedar contoh, simaklah isi sebuah buku karya Prof. Abdul Munir Mulkhan berjudul Kesalehan Multikultural (2005) diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah. Dalam buku ini, secara tegas Munir menolak Pendidikan Tauhid seperti yang dipahami kaum Muslim selama ini. Sebagai gantinya, dia mengajukan gagasan ‘Pendidikan Islam Multikultural’. Munir menulis:
“Jika tetap teguh pada rumusan tujuan pendidikan (agama) Islam dan tauhid yang sudah ada, makna fungsional dan rumusan itu perlu dikaji ulang dan dikembangkan lebih substantif. Dengan demikian diperoleh suatu rumusan bahwa Tuhan dan ajaran atau kebenaran yang satu yang diyakini pemeluk Islam itu bersifat universal. Karena itu, Tuhan dan ajaran-Nya serta kebenaran yang satu itu mungkin juga diperoleh pemeluk agama lain dan rumusan konseptual yang berbeda. Konsekuensi dari rumusan di atas ialah bahwa Tuhannya pemeluk agama lain, sebenarnya itulah Tuhan Allah yang dimaksud dan diyakini pemeluk Islam. Kebenaran ajaran Tuhan yang diyakini pemeluk agama lain itu pula sebenarnya yang merupakan kebenaran yang diyakini oleh pemeluk Islam.” (hal. 182-183).
Konsepsi seperti itu adalah melihat masalah keagamaan dengan sudut pandang humanisme. Bukan sudut pandang Kristen, Yahudi, Islam, atau agama-agama lain. Bagi Islam, jelas bukan begitu cara memandang Tuhan dan agama-agama yang ada. Nabi Muhammad saw diutus untuk menjernihkan berbagai ajaran para nabi yang sudah diselewengkan oleh kaum Yahudi. (QS 2:75, 2:79). Berbagai tindakan syirik juga mendapatkan kecaman keras dalam al-Quran. Kurang jelas apakah pandangan Tauhid Islam selama ini? Mengapa Prof. Munir Mulkhan sampai berani mengusulkan agar pendidikan Tauhid Islam itu diubah konsepnya? Aneh juga, oleh PSAP, Munir dijuluki sebagai salah satu “Begawan Muhammadiyah”, sehingga penerbitan buku ini ditulis sebagai “Seri Begawan Muhammadiyah.”
Berpegang pada konsep kesamaan Tuhan pada semua agama itu, Munir menafikan konsep Tuhan pada masing-masing agama. Dia menulis:
“Bentuk-bentuk ritual yang sakral yang selama ini cenderung lebih “memanjakan” Tuhan dan tidak manusiawi, perlu dikembangkan sehingga menjadi ritus-ritus kultural yang sosiologis dan humanis. Tuhan yang Maha Tunggal itu adalah Tuhan yang diyakini pemeluk semua agama di dalam beragam nama dan sebutan. Surga dan penyelamatan Tuhan itu adalah surga dan penyelamatan bagi semua orang di semua zaman dalam beragam agama, beragam suku bangsa dan beragam paham keagamaan. Melalui cara ini, kehadiran Nabi Isa a.s. atau Yesus, Muhammad saw, Buddha Gautama, Konfusius, atau pun nabi dan rasul agama-agama lain, mungkin menjadi lebih bermakna bagi dunia dan sejarah kemanusiaan… Tuhan semua agama pun mungkin begitu kecewa melihat manusia menggunakan diri Tuhan itu untuk suatu maksud meniadakan manusia lain hanya karena berbeda pemahaman keagamaannya.” (hal. 190).
Lihatlah, ketika bicara tentang Tuhan, Munir hanya menggunakan fantasinya. Padahal, dia sendiri tidak paham akan Tuhan. Dia mengharuskan Tuhan untuk mengikuti logikanya sendiri. Seolah-olah, dialah yang mengatur Tuhan. Padahal, sebagai orang yang mengaku Muslim, harusnya dia merujuk kepada konsep-konsep yang dibawa oleh utusan Allah, Nabi Muhammad saw. Karena dialah yang mendapatkan mandat dari Allah untuk menjelaskan siapa Allah dan bagaimana cara menyembah-Nya. Karena itulah, Nabi Muhammad saw mengajak kaum Musyrik Arab untuk beriman kepadanya dan menjauhi dosa syirik. Amat sangat jelas, apa misi Nabi Muhammad saw dan misi semua Nabi, yaitu untuk mengajak manusia agar jangan menyembah tuhan selain Allah (QS 16:36).
Jadi, konsep pendidikan agama Multikulturalisme yang dibawakan oleh Munir Mulkhan memang sangat bermasalah. Tapi, laksana virus, paham ini pun disebarkan oleh berbagai kalangan. Sebagian sudah mulai melangkah lebih jauh lagi dengan mengajukan konsep “Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”. Itulah judul sebuah buku yang ditulis seorang dosen di salah satu Perguruan Tinggi Islam di Jawa Tengah, yang diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra.
Misi buku ini juga sejalan dengan misi Free Mason, yaitu menghapus pemisah antar manusia: “Sebagai risalah profetik, Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia, termasuk mereka para pengikut agama-agama, menuju satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan, dan agama.” (hal. 45).
Selain Munir Mulkhan, intelektual lain yang dibangga-banggakan oleh LibForAll untuk melakukan proses liberalisasi di Indonesia adalah Prof. Nasr Hamid Abu Zaid. Mulai 2007, LibForAll membuat sebuah proyek Tafsir Al-Quran yang dipimpin Abu Zaid, yang juga penasehat LibForAll, sebagaimana Munir Mulkhan. Tafsir ini akan menggunakan metode modern yang menolak metode panafsiran literal dan membuang pemikiran-pemikiran ekstrimisme. Ditulis di situsnya, bahwa Tafsir ini akan dikerjakan oleh sarjana-sarjana Quran terkemuka di dunia dari Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Tafsir Al-Quran ini nanti diharapkan dapat menjadi jembatan bagi kaum Muslim untuk menjembatani antara tradisi Islam dengan nilai-nilai kebebasan (freedom), kesetaraan, Hak Asasi Manusia, demokrasi, dan globalisasi.
Situs LibForAll juga memberikan perhatian khusus kepada kasus yang menimpa Abu Zaid pada bulan November 2007. Ketika itu, Abu Zaid gagal menghadiri acara Annual Conference on Islamic Studies di Riau dan juga satu seminar internasional di Malang. Oleh LibForAll, pihak-pihak yang menolak pemikiran Abu Zaid dicap sebagai kaum ekstrimis.
Sebuah prestasi lain yang dibanggakan oleh LibForAll di Indonesia adalah diterbitkannya buku berjudul 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, pada Januari 2007. Buku ini dieditori oleh aktivis LibForAll, Ahmad Gaus dan Rektor UIN Jakarta Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. Peluncuran buku ini berlangsung besar-besaran. Di situs LibForAll, ditampilkan tokoh-tokoh yang menghadiri acara tersebut, seperti Abdurrahman Wahid, Din Syamsuddin, dan Azyumardi Azra yang juga penasehat LibForAll.
Menyimak kiprah LibForAll di Indonesia, tampak bagaimana mereka menggunakan kekuatan dana yang sangat besar untuk membangun citra positif Israel di Indonesia. Dengan alasan memerangi ekstrimisme di kalangan Muslim, LibForAll juga berhasil menggaet kalangan elite Muslim untuk mendukung upaya liberalisasi Islam di Indonesia. Sebenarnya, jika dipikirkan, inilah politik belah bambu yang sejak dulu diterapkan oleh penjajah kepada umat Islam. Sebagian disanjung-sanjung dan diberi kenikmatan duniawi, sebagian lain diinjak dan dimaki-maki sebagai kaum ekstrimis.
Melalui berbagai kiprah dan opini yang dibangunnya, tampak LibForAll hanya memberikan pilihan kepada kita: berteman dengan Shimon Peres atau Hamas. Jika berteman dengan Peres, akan diberi julukan mulia sebagai “penyebar perdamaian”. Jika berteman dengan Hamas, akan segera mendapatkan cap ” ekstrimis”. Silakan pilih! (ditulis oleh Adian Husaini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar