Saya tidak tahu untuk berapa lama lagi dunia berhasil ditipu oleh Zionisme, sebuah ideologi rasis yang sudah lebih dari 60 puluh tahun mengacau peradaban global. Adalah sebuah kesalahan fatal jika orang mengatakan bahwa Zionisme adalah semacam nasionalisme yang harus dihormati, sebagaimana halnya nasionalisme-nasionalisme lain yang berjuang untuk kemerdekaan sebuah bangsa.
Diawali oleh Deklarasi Balfour 1917 berlanjut dengan pembentukan negara Israel tahun 1948, jasa Inggris sangatlah besar bagi merajalelanya Zionisme yang ternyata kemudian telah menjadi sebuah kanker peradaban yang sangat berbahaya dan destruktif.
Peran Inggris diteruskan oleh Amerika Serikat yang selama bertahun-tahun telah menjadi bapak angkat Israel. Hulu nuklir yang dimiliki Israel tidak mungkin menjadi kenyataan jika Amerika dan Eropa Barat tidak memberikan dukungan dan fasilitas. Dengan kata lain, Israel, di samping sebagai negara rasis, juga menjadi proyek neoimperialisme Barat, khususnya Amerika.
Presiden Barack Obama, dengan segala niat baiknya semula, tidak mungkin dapat berbuat banyak karena dia sendiri berada dalam kungkungan Zionisme, sebagaimana Gilad Atzmon baru saja mengatakan hal itu kepada saya via dunia maya.
Untuk sekadar menyegarkan ingatan, Arthur James Balfour (1848-1930) adalah seorang politikus Inggris yang kemudian menjadi perdana menteri negara itu. Deklarasi Balfour menegaskan bahwa Inggris akan mendukung pembentukan sebuah "national home" bagi orang Yahudi di tanah Palestina, berkat bantuannya kepada sekutu selama PD (Perang Dunia) I.
Konsep "national home" ini adalah embrio negara Israel yang sekarang ini dengan mengusir dan membunuh puluhan ribu rakyat Palestina. Tragedi kemanusiaan ini masih berlangsung sampai detik ini, sementara dunia seperti membisu untuk mengambil tindakan tegas untuk menghukum Israel. Dengan penduduk kurang dari tujuh juta, negara Yahudi ini telah mengangkangi lebih 6,7 miliar umat manusia di muka bumi. Orang masih saja salah paham tentang apa sebenarnya Zionisme itu.
Sekalipun mata dunia, termasuk puluhan kaum intelektual Inggris yang sebagian keturunan Yahudi, telah mulai terbelalak dan mengutuk kebiadaban Zionisme ini, masalah kemerdekaan Palestina masih belum dapat dipastikan. Tetapi, dengan semakin terisolasinya Israel sekarang ini dalam konstelasi politik global, rasanya kemerdekaan Palestina itu bukan lagi suatu kemustahilan dalam tempo yang tidak terlalu lama.
Amat disayangkan negara-negara Arab tidak pernah serius membela Palestina. Di samping itu, terdapat pula konflik antara Fatah dan Hamas, keduanya sama-sama mewakli aspirasi kemerdekaan bangsa yang teramat menderita itu.
Saya yang mengikuti tragedi Palestina ini selama bertahun-tahun sekalipun, sedikit terganggu oleh konflik internal di antara mereka, tidak pernah menjadikan konflik itu untuk tidak berpihak secara total kepada mereka. Penderitaan Palestina oleh kebiadaban Zionisme telah sangat merusak perumahan kemanusiaan melebihi keganasan Hitler atas orang Yahudi di Jerman selama PD II.
Intuisi saya mengatakan bahwa kemerdekaan Palestina itu adalah sebuah keharusan sejarah, tidak boleh tertunda lebih lama lagi. Saya berharap penduduk bumi, termasuk bangsa-bangsa Arab yang telah lama dihinakan Israel, mau merenungkan dengan baik pernyataan aksiomatik Gilad Atzmon ini: "Perdamaian dunia tidak mungkin terwujud, kecuali Zionisme dipindahkan ke planet lain, karena ideologi rasis ini tidak mungkin menjadi bagian dari kemanusiaan."
Tentu, kalimat ini terasa idealistik, bahkan mungkin utopis bagi telinga zaman kita, tetapi sebagai cucu dedengkot Zionis, perlawanan sengit Gilad terhadap Zionisme patut kita apresiasi dengan perasaan penuh kebanggaan. (Bagi pembaca yang ingin kenal lebih lanjut siapa Gilad Atzmon, pemusik jazz kelas dunia ini, dapat membuka kembali Resonansi saya di waktu yang lalu, atau langsung saja tanya pada Google: "Gilad Atzmon on Zionism".
Akhirnya, selama Zionisme masih dipercaya sebagai salah satu bentuk nasionalisme Yahudi, selama itu pulalah kanker peradaban ini akan merusak segala yang terbaik di muka bumi. Bagi saya, ini adalah sebuah aksioma, apa boleh buat!
Source : Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar