Pembicaraan tidak selalu ber arti pemahaman antara dua jiwa Kata-kata yang berasal dari bibir-bibir dan lidah-lidah tidak selalu bisa membawa sepasang hati bersama Ada sesuatu yang lebih agung dan lebih murni dari apa yang diutarakan mulut.

Kamis, Maret 04, 2010

PENTAS HEROIK ASYURA

PIDATO RAHBAR

Pada masa Sayyidus-Syuhada ‘Penghulu para Syahid' (Imam Husain as.), pengorbanan dan kesyahidan besar itu memiliki nilai yang berlipat, sebab pada masa itu, hasil usaha-usaha keras Rasulullah SAW benar-benar sedang mengalami kepunahan, dan pengorbanan Husain bin Ali as serta sahabat-sahabat beliau menjadi penghambat proses [kepunahan] ini.

Sebagian orang pada masa itu tampil sebegitu rupa sehingga perjuangan di jalan Allah dan mati syahid di jalan-Nya merupakan nilai yang berlipat dan berlipat-lipat ganda. Misalnya, sebuah wadah air segar yang dalam kondisi normal juga berharga, akan tetapi dalam satu musim panas menyengat yang itupun dialami oleh seorang manusia yang sudah lama tercekik kehausan, terlebih jika orang itu dalam keadaan sakit dan berada di suatu tempat yang hanya ada sedikit air di sana, maka nilai sewadah air segar itu tentu menjadi berlipat-lipat. Oleh karena itu, nilai-nilai itu di semua tempat tidaklah sama, akan tetapi kondisi-kondisilah yang berbeda [baca: menentukan].



Sudah barang tentu, salah satu hari peringatan penting dari Republik Islam Iran -dan memang punya relevansi yang sangat erat- ialah hari para tawanan dan orang-orang hilang ini; hari yang punya kaitan erat dengan memori sejarahnya. Semua orang tahu bahwa pada hari kesebelas Muharram, telah terjadi salah satu tragedi terbesar dalam sejarah Islam; telah terjadi penawanan yang selain bangsa dan sejarah Islam tak akan menemukan sepertinya dan mereka juga tidak akan menyaksikan kedahsyatannya. Orang-orang yang ditawan adalah mereka yang berasal dari keluarga wahyu dan kenabian; merekalah manusia-manusia tercinta dan termulia sepanjang sejarah Islam. Sekelompok wanita yang berada dalam rombongan tawanan itu diarak di lorong-lorong dan pasar-pasar, padahal kedudukan dan kehormatan mereka dalam masyarakat Islam tidak ada bandingnya. Adapun, mereka yang menawan manusia-manusia mulia ini adalah orang-orang yang tidak mencium aroma Islam; tidak punya ikatan apa pun dengan Islam; dan merekalah orang-orang paling bengis dan paling bodoh di masanya. Pada hari kesebelas Muharram, keluarga Rasulullah Saw. dan Ali bin Abi Thalib as. mengalami penawanan, dan memori ini menjadi dan akan terus menjadi salah satu ingatan terpahit bagi kita.

Tentunya, penawanan masa itu berbeda dengan penawanan masa kini. Penawanan masa kini ialah seorang prajurit, seorang komandan, seorang tentara, atau bahkan warga sipil biasa -jika penyanderanya berperangi bengis seperti rejim Baats, ia akan berada dalam penjara dan rumah tahanan untuk masa waktu tertentu hingga ia terasing jauh dari kelurga dan sanak saudaranya. Tentu, ini sangatlah berat. Akan tetapi, penyanderaan masa itu berbeda jauh; perbedaan ibarat langit dan bumi. Pada hari kesebelas Muharram, penyanderaan massal terjadi pada perempuan-perempuan, anak-anak dan lelaki-lelaki dewasa yang tersisa; penyanderaan ini terjadi dengan segala penghinaan, pelecehan, pelaparan, penyiksaan dalam hawa panas dan dingin, pengarakan di lorong-lorong negeri dan pasar-pasar, pengkondisian mereka dalam keadaan-keadaan yang paling menyiksa, penistaan terhadap mereka dan hal-hal lain semacam ini.

(Pengalan pidato Rahbar dalam pertemuan dengan sekelompok besar dari kaum relawan dan veteran perang 14 Agustus 1989)

________________________________________

Pada hemat saya, masalah ‘Asyura dari segi ini punya kesempurnaan nilai yang penting; yaitu bahwa pengorbanan dan berbuat demi orang lain yang telah dipraktekkan dalam peristiwa ini merupakan sebuah pengorbanan monumental. Dari awal sejarah Islam sampai sekarang, sekian peperangan, kesyahidan dan pengorbanan diri selalunya ada, dan kita pun di jaman kita sekarang ini melihat betapa banyak orang yang telah turun berjuang dan mempersembahkan jiwa pengorbanan diri mereka dan menanggung beban kondisi-kondisi yang berat. Semua syahid ini, semua pejuang yang cacat ini, semua pejuang kita yang ditawan ini, pejuang-pejuang kita yang telah bebas dari masa penawanan, keluarga-keluarga mereka dan orang-orang lain yang telah melakukan pengorbanan di sepanjang tahun-tahun pasca revolusi atau di awal-awal revolusi; mereka semua ini ada di hadapan kita. Pada masa-masa lalu juga telah terjadi banyak peristiwa seperti ini, dan kalian membacanya dalam sejarah. Akan tetapi, tidak satu pun dari peristiwa-perstiwa ini, bahkan kesyahidan para pejuang yang syahid di perang Badar dan Uhud dan masa-masa awal Islam dapat dibandingkan dengan peristiwa ‘Asyura. Dari lisan beberapa Imam as. kita telah dinukilkan sebuah kalimat yang ditujukan kepada Sayyidus Syuhada' ‘Penghulu para Syahid' (Imam Husain as.), ‘Tidak ada hari seperti harimu, wahai Abu Abdillah!' Artinya, tidak ada satu peristiwa pun seperti peristiwa yang engkau alami dan seperti harimu.

Karena, Asyura adalah sebuah peristiwa monumental. Inti dan substansi peristiwa Asyura ialah bahwa di dunia yang sudut-sudutnya telah dipenuhi dengan kegelapan, kerusakan dan kezaliman, [Imam] Husain bin Ali as. bangkit untuk menyelamatkan Islam dan dalam dunia yang besar ini justru tidak ada seorang pun datang membantunya, bahkan teman-teman beliau; yakni orang-orang yang masing-masing bisa membawa segelombang barisan ke medan peperangan melawan Yazid, akan tetapi masing-masing dari mereka malah keluar lari dari medan perjuangan dengan alasan masing-masing; Ibnu Abbas dengan caranya; Abdullah bin Ja'far dengan caranya; Abdullah bin Zubair dengan caranya; beberapa sahabat besar yang masih tersisa dan tabi'in juga dengan cara mereka ...; masing-masing dari para tokoh terkenal, ternama dan berkedudukan, juga orang-orang yang bisa berpengaruh dan menghangatkan medan perjuangan justru keluar dari medan dengan cara mereka.

Hal ini justru terjadi pada saat mereka angkat suara; semua berbicara tentang pembelaan terhadap Islam. Akan tetapi, pada saat tiba di medan praktis dan mereka menyaksikan betapa rejim Yazid itu kejam, tak bernaluri dan bertindak keras dan kasar, setiap orang dari mereka melarikan diri dari sudut masing-masing dan meninggalkan Imam Husain as sendirian di medan perjuangan. Bahkan, dalam rangka melakukan pembelaan atas sikap mereka, mereka datang menghadap [Imam] Husain bin Ali as. dan mendesak beliau, "Tuan, engkau juga janganlah melawan! Janganlah keluar memerangi Yazid!"

(Petikan dari Pidato Rahbar dalam pertemuan dengan berbegai lapisan masyarakat pada acara bulan Muharram, I Juli 1992)
________________________________________

Dalam kehidupan [Imam] Husain bin Ali as., ada sebuah titik menonjol seperti sebuah puncak yang meliput dataran-dataran di bawahnya. Itu adalah Asyura. Dalam kehidupan [Imam] Husain bin Ali as., ada banyak sekali kejadian, subjek, sejarah, kesaksian-kesaksian dan hadis-hadis; yang kalaulah peristiwa Karbala itu tidak terjadi, pasti kehidupan beliau akan sama dengan kehidupan setiap imam-imam yang lain sebagai sumber ilmu, hikmah, riwayat dan hadis. Akan tetapi, peristiwa Asyura sedemikian pentingnya sehingga kalian sedikit sekali menemukan corak lain dari kehidupan beliau yang mulia. Peristiwa Asyura sebegitu pentingnya sehingga pada ungkapan dengan bahasa [doa] Ziarah yang diriwayatkan [untuk dibaca] pada hari ini, yaitu hari ketiga [dari bulan Muharram], atau doa berikut ini yang yang telah diriwayatkan [untuk dibaca] pada hari ini tentang Imam Husain bin Ali as., yaitu demikian, "Telah menangisimu langit dan seisinya juga bumi dan apa saja di atasnya".

Sebelum lahir ke dunia, langit dan bumi telah menangisi Husain as. Demikianlah peristiwa ini begitu krusial. Artinya, kejadian Asyura dan kesyahidan besar yang dalam sejarah tidak ada taranya telah terjadi pada masa itu. Ini merupakan sebuah peristiwa yang menjadi fokus perhatian. Coba pikirkan, peristiwa apakah ini sehingga telah ditakdirkan sebelumnya? "Yang dijanjikan dengan kesyahidannya sebelum kemunculan dan kelahirannya." Sebelum Imam Husain bin Ali as. dikenal, beliau telah dikenal sebagai sang syahid. Tampaknya, ada sebuah rahasia di sini sebagai pelajaran bagi kita.

Tentunya, berkenaan dengan kesyahidan [Imam] Husain bin Ali as., sudah banyak penjelasan yang telah disampaikan; penjelasan-penjelasan yang bagus dan benar, dan setiap orang memahami sesuatu dari peristiwa ini sesuai dengan kapasitas masing-masing. Sebagian orang memahami kesyahidan beliau sebatas upaya menuntut kekuasaan; sebagian orang mereduksinya dalam lingkup persoalan-persoalan yang lain. Ada juga yang mengenalnya dan membicarakannya serta menuliskannya dalam dimensi-dimensinya yang lebih besar. Saya tidak ingin membicarakan mereka. Sebuah masalah yang ingin saya bahas ialah bahwa ancaman-ancaman yang sedang mengancam Islam sebagai sebuah fenomena yang mulia - baik sebelum kedatangannya ataupun sejak awal kedatangannya dari sisi Allah - sudah diprediksikan dan sarana perlawanan terhadap ancaman-ancaman itu juga sudah dilengkapi bahkan sudah dipasangkan dalam Islam dan di dalam sistem ini, atau seperti sebuah tubuh yang sehat yang di dalamnya Allah Swt. telah memasang daya ketahanannya, atau seperti sebuah mesin yang bagus dimana insinyur dan yang membuatnya telah melengkapinya dengan peralatan perawatannya. Islam adalah sebuah fonemona, dan sebagaimana fenomena lainnya, ada sejumlah bahaya yang mengancamnya, dan perlu ada suatu perlengkapan untuk menghadapinya. Allah Swt. telah memasang perlengkapan itu di dalam Islam sendiri.

Lalu, apa bahaya itu? Ada dua bahaya utama yang mengancam Islam; yang pertama, bahaya musuh-musuh dari luar; dan yang kedua, bahaya kehancuran dari dalam. Musuh dari luar ialah pihak yang, dari luar perbatasan dan dengan berbagai senjata, membidik target terhadap eksistensi sebuah negara dengan segenap pemikirannya, institusi fundamental ideologinya dan perundang-undangannya serta apa saja yang ada di dalamnya. Dan ini dapat kalian lihat sekaitan dengan Republik Islam Iran. Mereka mengatakan, "Kita ingin menghancurkan Republik Islam." Jadi, ada musuh-musuh dari luar dan mereka bertekad untuk menghancurkan negara ini. Maksud ‘dari luar' itu apa? Bukan dari luar negeri, akan tetapi juga meliputi ancaman dari luar sistem negara sekalipun berada di dalam negeri.

Ada musuh-musuh yang menempatkan diri mereka hingga keluar dari sistem negara lalu menentangnya. Mereka ini adalah orang-orang luar. Mereka ini orang-oang asing. Mereka berusaha untuk menghancurkan negara dengan pedang, senjata api, perlengkapan militer yang paling canggih, dengan propaganda, uang dan apa saja yang mereka miliki.

Ini satu jenis musuh. Musuh dan bahaya kedua ialah bahaya ‘kehancuran dari dalam', yakni di dalam sistem negara yang bukan milik orang-orang asing; akan tetapi datang dari orang-orang dalam sendiri. Orang-orang sendiri dalam sebuah sistem mungkin saja - akibat dari keletihan; akibat dari kekeliruan dalam memahami jalan yang benar; akibat dari terdominasi oleh emosi-emosi pribadinya; akibat dari tertipu oleh pesona materi dan memandangnya sebagai hal yang besar - mereka tiba-tiba saja rentan bahaya. Ini tentu saja bahayanya lebih besar dari bahaya pertama itu. Dua jenis musuh; bahaya eksternal dan bahaya internal, ada di setiap negara, di setiap sistem dan di setiap fenomena. Dalam rangka menghadapi dua bahaya ini, Islam telah menyiapkan terapi dan menetapkan jihad. Jihad di sini tidak semata-mata untuk menghadapi musuh-musuh eksternal. [Firman Allah], "Berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik". Orang-orang munafik ini menempatkan diri mereka berada di dalam sistem. Oleh karena itu, harus berjihad melawan mereka ini. Jihad dilakukan untuk melawan musuh-musuh yang ingin menyerang negara karena ketakpercayaan dan permusuhan mereka terhadap negara.

Begitu pula, untuk menghadapi keretakan internal dan kehancuran dari dalam, ada ajaran-ajaran moral yang sangat bernilai yang mengenalkan dunia kepada manusia secara cermat dan memahamkan bahwa "Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan, hiburan, perhiasan dan berbangga-banggaan di antara mereka serta berbanyak-banyakan dalam harta kekayaan dan anak keturunan", demikian sampai akhir ayat. Artinya, hingar bingar ini, gemerlap pesona dan kenikmatan-kenikmatan dunia ini - walaupun itu perlu bagi kalian, dan kalian mau tidak mau akan memanfaatkannya; walaupun hidup kalian bergantung kepada hal-hal itu, dan ini tak dapat diragukan lagi hingga kalian harus menyiapkannya untuk diri kalian sendiri - akan tetapi kalian juga harus tahu bahwa memutlakkan nilai hal-hal itu sebagai segala-galanya dan mengejar kebutuhan-kebutuhan itu dengan mata tertutup serta melupakan cita-cita dan tujuan sangatlah berbahaya.

Amirul Mukminin [Ali bin Abu Thalib] as. adalah singa medan pertempuran melawan musuh, dan manakala beliau berbicara, orang-orang berpikiran bahwa sebagian besar dari pembicaraan beliau adalah tentang jihad, peperangan, kepahlawanan dan keperkasaan. Akan tetapi, ketika kita amati riwayat-riwayat dan pidato-pidato beliau dari [kitab] Nahjul Balaghah, kita saksikan kebanyakan dari pembicaraan dan pesan-pesan beliau justru berkenaan dengan kezuhudan, ketakwaan, akhlak, penolakan dan penghinaan terhadap pesona dunia, sekaligus juga beliau memuliakan nilai-nilai tinggi dan spiritualitas manusia. Peristiwa Imam Husain as. merupakan kombinasi dari dua bagian ini. Artinya, manakala jihad melawan musuh dan jihad melawan diri itu mengejawantah di tingkatnya yang paling tinggi, di sanalah peristiwa Asyura itu hadir. Yakni, Allah SWT mengetahui bahwa peristiwa ini akan terjadi dan sebuah tauladan unggul yang harus diperlihatkan, dan itu akan menjadi model utama, seperti pahlawan-pahlawan yang dijunjung tinggi oleh berbagai bangsa atau para pemenang di bidang tertentu, sehingga ia ditokohkan sebagai pahlawan untuk menjadi penggugah semangat bagi orang yang lain dalam bidang tersebut.

Tentu saja, ini hanyalah sebuah contoh kecil untuk mendekatkan pemahaman. Peristiwa Asyura adalah sebuah gerakan besar jihad di dua lini sekaligus; di lini perjuangan melawan musuh eksternal dan musuh internal; yaitu sistem kekhalifahan yang korup dan pencari-pencari dunia yang terikat dengan sistem kekuasaan, dan kekuasaan yang digunakan oleh Rasulullah SAW. untuk menyelamatkan umat manusia hendak mereka gunakan untuk bergerak ke arah yang berlawanan dengan arah Islam dan jejak Baginda Nabi SAW. Begitu pula lini internal dimana pada masa itu, masyarakat secara umum telah bergerak ke arah kerusakan internal tersebut.

Poin ini menurut saya lebih penting; dimana sepenggal dari masa telah lewat; periode beban-beban awal kerja sudah dilalui; penaklukan berbagai negeri sudah tercapai; harta-harta ghanimah telah diraih; wilayah terotorial negeri Islam sudah semakin luas; musuh-musuh di sana sini sudah tertumpas; rampasan perang dan upeti melimpah di dalam negeri telah mengalir; ada sekelompok orang yang sudah menjadi kaya raya, dan ada juga sekelompok orang yang berada di kelas ningrat. Yakni, setelah Islam datang dan menumpas keningratan, muncul lagi satu kelas ningrat baru dalam dunia Islam. Unsur-unsur yang mengatasnamakan Islam, dengan jabatan dan posisi keislaman [misalnya]: anak sahabat fulan, anak pejuang di sisi Rasulullah itu; anak si fulan yang masih berhubungan keluarga dengan Rasulullah, mereka masuk terlibat dalam kerja-kerja yang tidak sepatutnya dan tidak sepantasnya. Bahkan sebagian nama-nama mereka tercatat dalam sejarah.

Ada beberapa orang yang menetapkan satu juta Dinar atau satu juta takaran emas murni untuk menentukan nilai mahar anak-anak perempuan mereka dengan meninggalkan sunnah mahar sebesar 480 Dirham sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Yang Mulia SAW., Amirul Mukminin [Ali bin Abu Thalib] dan kaum Muslimin di zaman itu. Lalu siapakah mereka itu? Mereka adalah anak-anak dari para sahabat besar seperti Mush'ab bin Zubair dan orang-orang sepertinya. Ketika kita katakan bahwa ada korupsi dari dalam pada sebuah system, maksudnya ialah ada orang-orang di tengah masyarakat yang penyakit moral mereka (yaitu cinta dunia dan umbar syahwat) itu menular, sangatlah berbahaya, dan berpindah ke masyarakat secara bertahap. Dalam kondisi seperti ini, apakah memang ada seseorang yang masih punya hati nurani dan keberanian atau kesabaran sehingga bergerak menentang kekuasaan Yazid bin Mua'awiyah?! Apakah yang seperti ini memang pernah terjadi? Siapakah yang berpikiran hingga bangkit melawan pemerintahan Yazid yang zalim dan korup pada masa itu?!

Dalam situasi demikian ini, kebangkitan besar Al-Husain itu meletus hingga bergerak melawan musuh sekaligus melawan mental ingin-senang dan korup yang mengarah kepada kerusakan di tengah masyarakat Muslim biasa dan awam. Ini penting. Yakni, [Imam] Husain bin Ali as. telah mengambil sebuah tindakan yang membangkitkan naluri masyarakat. Oleh karena itu, kalian lihat setelah kesyahidan Imam Husain as, betapa gerakan kebangkitan Islam satu demi satu bermunculan. Memang semua ditumpas, akan tetapi tidaklah penting bila sebuah gerakan ditumpas oleh musuh. Tentu saja, ini pahit, akan tetapi yang lebih pahit lagi ialah ketika sebuah masyarakat sampai pada satu titik dimana mereka tidak punya reaksi apa-apa di hadapan musuh. Ini bahaya yang besar.

[Imam] Husain bin Ali as. telah melakukan suatu tindakan dimana dalam semua periode pemerintahan zalim, ada orang-orang yang, sekalipun mereka telah terpisah lebih jauh dari periode awal Islam, tekad mereka sudah lebih besar sejak masa Imam Hasan Mujtaba as. untuk berjuang melawan kekuasaan despotik dan korup. Ya, semuanya memang telah ditumpas habis. Kalian hitung mulai dari peristiwa kebangkitan warga Madinah yang dikenal dengan nama ‘Waq'ah Hurroh' sampai kejadian-kejadian setelahnya juga kebangkitan kaum Tawwabin (orang-orang yang bertaubat) dan kebangkitan Mukhtar hingga era Bani Umayyah dan Bani Abbasyiah; kita temukan banyak kebangkitan yang terus bermunculan. Siapa yang telah menciptakan semua kebangkitan ini? Dialah [Imam] Husain bin Ali as. Kalaulah Imam Husain as. tidak bangkit menentang, apakah lalu mentalitas malas dan lari dari tanggung jawab akan berubah menjadi mentalitas perlawanan terhadap kezaliman dan rasa tanggung jawab?

Kenapa lalu kita katakan bahwa mentalitas bertanggung jawab sudah mati? Ya, karena Imam Husain as. telah meninggalkan Madinah sebagai pusat perkembangan Islam menuju Mekkah. Anak Abbas, anak Zubair, anak Umar, anak khalifah-khalifah pertama Islam; mereka semua ini tetap tinggal di Madinah, dan tidak ada satu pun yang siap membantu Imam Husain as. Dalam perjuangan berdarah dan bersejarah itu.

Jadi, sampai sebelum mulainya kebangkitan Imam Husain as., orang-orang tokoh pun tidak siap untuk mengambil langkah. Akan tetapi, setelah kebangkitan Imam Husain as., mentalitas ini kembali hidup. Ini adalah pelajaran besar yang kita tangkap dalam peristiwa Asyura, di samping pelajaran-pelajaran yang lain. Inilah kebesaran peristiwa itu. Karena ini pulalah beliau "Yang dijanjikan kesyahidannya sebelum kemunculan dan kelahirannya", "Sebelum kelahiran beliau yang mulia itu, telah menangisinya langit-langit dan segenap isinya serta bumi dan apa saja yang ada di atasnya"; dan orang-orang telah menempatkan Imam Husain bin as. sebagai pusat perhatian dalam peringatan duka yang besar ini dan memuliakan duka citanya, dan dalam doa atau ziarah diungkapkan, "Semua telah menangisinya." Oleh sebab itu, kalian perhatikan sekarang ini, betapa kalian meyakini Islam telah dihidupkan kembali oleh Husain bin Ali as., dan kalian mempercayai bahwa beliau adalah pengawal Islam. Ungkapan ‘pengawal' ini sebuah ungkapan yang cermat. Pengawalan berarti ketika ada musuh. Dua musuh ini; musuh eksternal dan bahaya kehancuran dari dalam, sekarang juga ada, dan kalianlah sebagai pengawal. Jangan dikira bahwa musuh sedang tidur! Jangan dikira bahwa musuh berhenti dari permusuhannya. Hal ini tidaklah mungkin terjadi!

(Penggalan pidato Rahbar dalam pertemuan dengan Sejumlah anggota Pasukan Pengawal Revolusi Islam atau Sepah Pasdaran dan perwira kepolisian dalam acara 3 Sya'ban 26 Januari 1993)
________________________________________

Asas agama berkaitan erat dengan Asyura, dan berkat Asyura pula agama tetap langgeng. Kalaulah tidak ada pengorbanan besar [Imam] Husain bin Ali as. - dimana pengorbanan ini telah menggugah dan membangkitkan naluri sejarah secara menyeluruh - maka pada kurun pertama atau pertengahan abad kedua Hijriah pun eksistensi Islam sudah hangus secara total. Ini sudah jelas. Jika seseorang biasa merujuk sejarah dan menyimak fakta-fakta historis, tentu ia akan mengakui fakta ini. Sesuatu yang menggugah naluri masyarakat Islam pada masa itu dan menjadi teladan serta model untuk generasi setelah mereka ialah peristiwa besar inilah yang hingga masa itu, tidak pernah terjadi dalam Islam. Tentu saja, setelah itu, ada banyak peristiwa-peristiwa serupa. Akan tetapi, tidak ada satu pun lembaran-lembaran [salinan] ini sesuai dengan aslinya. Umat Islam telah memberikan banyak syahid, telah memberikan para syahid secara kolektif.

Namun demikian, tidak ada satu pun yang menandingi peristiwa Asyura. Peristiwa Asyura tetap berada di atas titik klimaks pengorbanan dan kesyahidan, dan akan tetap demikian sampai hari Kiamat. "Tiada hari seperti harimu, wahai Abu Abdillah!" Kita orang-orang Syi'ah telah menimba banyak sekali manfaat dari peristiwa ini. Tentunya, umat selain Syi'ah juga telah mendapatkan manfaat darinya. Sekarang ini, di negara Mesir, masjid Ra'sul Husain ‘Kepala Husain' di sana - dimana orang-orang berpikir bahwa kepala suci beliau telah dimakamkan di sana - menjadi titik temu emosi-emosi masyarakat pecinta Ahlul Bait di Mesir. Bangsa Mesir adalah bangsa yang baik. Kita tidak berbicara tentang rejim dan pemerintahan di negara itu. Bangsa di sana adalah pecinta Ahlul Bait. Di semua penjuru dunia, mereka terpengaruh dengan peristiwa ini. Akan tetapi, kaum Syi'ah telah menimba manfaat yang luar biasa dari peristiwa ini.

Kita telah menjaga agama ini dengan peristiwa ini; kita jelaskan hukum-hukum syariat kepada masyarakat; kita tempatkan emosi masyarakat demi kepentingan agama dan iman. Kata ‘kita' yang saya katakan ini yaitu kelompok ulama dan mubalig sepanjang beberapa abad yang lalu. Berkah besar yang terjadi belakangan ini dari peristiwa Karbala ialah revolusi agung kita ini. Jika peristiwa Karbala dan keteladanannya tidak ada, revolusi ini tidak akan menang. Imam [Khomeini] yang mulia pada bulan Muharram tahun 1357 HS (1978 Masehi) mengatakan, "[Bulan Muharram adalah] bulan kemenangan darah atas pedang". {Pernyataan itu] adalah bimbingan dan pelajaran yang beliau sampaikan mengenai peristiwa Muharram. Karena ini di medan perang, hal seperti itu pulalah yang kalian dapatkan.

(Pidato Rahbar dlam pertemuan dengan sekelompok pelajar agama dan ulama, menjelang bulan Muharram, 16 Juni 1993)
________________________________________

Ada satu ciri khas; bahwa kebangkitan Husain bin Ali as. adalah sebuah kebangkitan yang murni, tulus dan tanpa pamrih sedikitpun; demi Allah, demi agama dan demi perbaikan pada masyarakat Muslim. Ini adalah ciri khas pertama yang sangat penting. Ketika Imam Husain bin Ali as. mengatakan,

انّى لم اخرج اشراً ولابطراً ولاظالماً ولامفسداً
"Aku tidak keluar melawan sebagai orang yang angkuh atau sombong; tidak pula sebagai orang yang zalim dan perusak".

Ini bukanlah unjuk diri; bukan pasang diri; bukan penuntutan sesuatu; bukan pamer diri. Dalam kebangkitan beliau, tidak ada sedikit pun kezaliman atau korupsi.

و انما خرجت، لطلب الاصلاح فى امّة جدّى
"Akan tetapi, aku bangkit hanya untuk menuntut perbaikan dalam umat datukku".

Ini satu poin yang sangat penting. ‘Innama' berarti hanya. Yakni, tidak ada niat dan maksud apa pun yang mencemari niat bersih dan pikiran cemerlang itu. Ketika Al-Quran di awal periode Islam berbicara dengan kaum Muslimin, ia mengatakan,

ولاتكونوا كالّذين خرجوا من ديارهم بطراً ورئاءالنّاس
"Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang keluar dari rumah-rumah mereka dengan kecongkakan dan ingin dipandang orang."

Maka, di sinilah Imam Husain as. menyatakan, "Aku tidak keluar bangkit dengan keangkuhan dan kesombongan".

Ada dua garis; ada dua arus. Dalam hal ini, Al-Quran mengatakan bahwa kalian janganlah seperti mereka yang bergerak atas dasar kecongkakan, egoisme dan hawa nafsu. Yakni, ada sesuatu yang tidak ada dalam gerakan seperti itu, yaitu keikhlasan. Yakni, dalam gerakan arus yang korup, yang ada hanyalah diri sendiri dan ‘aku'. [Dalam ayat disebutkan], "... dan ingin dipandang orang", yakni menghiasai dirinya, menunggangi kuda mahal, mengenakan perhiasan pada dirinya, bersiul lalu keluar dari rumah. Ke mana? Ke medan peperangan. Justru, medan peperangan itu juga sebuah medan yang orang-orang sepertinya akan terjerembab ke dalam lubang kehancuran di dalamnya. Beginilah keluarnya orang seperti itu [menuju perang]. Yang ada pada dirinya hanyalah hawa nafsu.

Ini di satu pihak. Model terunggul di lain pihak ialah [Imam] Husain bin Ali as. Pada diri beliau, tidak ada egoisme, keakuan, hawa nafsu, kepentingan pribadi, ras dan kelompok. Ini ciri khas pertama dalam kebangkitan Imam Husain bin Ali as. Dalam suatu kegiatan yang sedang kita lakukan, maka semakin basis keikhlasan dalam diri saya dan kalian besar, kegiatan itu akan menemukan nilai yang lebih besar lagi. Akan tetapi, semakin kita berpisah jauh dari poros keikhlasan, kita justru semakin dekat dengan hawa nafsu, egoisme dan bekerja untuk diri sendiri, memikirkan diri sendiri, kepentingan pribadi, ras dan semacamnya, dan jelas ini satu tipe lain. Antara keikhlasan mutlak dan egoisme mutlak, terdapat jarak yang besar. Semakin kita merenggang dari yang pertama dan mendekat kepada yang kedua, nilai kerja kita semakin kecil, berkahnya semakin sedikit, keutuhannya juga semakin kurang.

Inilah sifat dari duduk persoalan. Seberapa pun ketidak-ikhlasan itu ada, maka semakin cepat rusak. Kalau kerja itu tulus dan murni, pasti tidak akan pernah rusak. Kalau kita ambil perumpamaan dengan hal-hal inderawi, maka perhiasan ini emas seratus persen; ia tidak akan bisa rusak, tidak akan luntur. Akan tetapi, sebesar apa pun tembaga, besi dan logam-logam lainnya yang tercampur dalam perhiasan itu, maka tingkat kerusakannya dan kehancurannya semakin tinggi. Ini sebuah kaidah umum.

Ini dalam hal-hal yang terindera. Dalam hal-hal yang tak terindera, korelasi ini jauh lebih cermat dari itu. Sejauh pandangan yang materi dan yang biasa ini, kita tidak memahaminya, akan tetapi ahli hakikat dan mereka yang memiliki mata hati bisa memahaminya. Pengeritik hakikat masalah ini, penimbang tajam peristiwa ini adalah Allah SWT. "Pengeritik itu tajam pandangan." Jika ada sekadar mata jarum saja ketidakmurnian dalam pekerjaan kita, maka sekadar itu pula pekerjaan kita itu akan berkurang nilainya, dan Allah akan mengurangi tingkat keutuhannya. Pengeritik itu tajam pandangannya. Pejuangan Imam Husain as. salah satu perjuangan yang di dalamnya tidak ada semata jarum pun dari ketidakikhlasan.

Oleh karena itu, kalian lihat jenis [perjuangan] yang murni ini tetap utuh hingga sekarang, dan akan tetap utuh selama-lamanya. Siapa yang percaya bahwa setelah kelompok [pejuang] ini tewas terbunuh dalam keadaan terasing jauh di padang sahara itu, tubuh-tubuh mereka dimakamkan di sana, lalu [musuh-musuh] melancarkan segenap propaganda itu terhadap mereka, sedemikian rupa menumpas habis mereka, dan membakar kota Madinah pasca kesyahidan mereka - sebagaimana kisah Waq'ah Harrah yang terjadi pada tahun berikutnya - lantas taman ini diporakporandakan dan bunga-bunganya dipereteli, setelah semua ini ternyata masih ada orang yang mencium aroma air bunga dari taman ini?! Dengan kaidah fisis manakah peristiwa itu dapat ditafsirkan dimana daun sekuntum bunga dari taman itu tetap utuh segar di alam materi ini? Namun kalian lihat sendiri; semakin masa berlalu, aroma wangi taman itu semakin menyebar di dunia.

Ada orang-orang yang tidak percaya bahwa Nabi adalah datuk Imam Husain as dan Imam Husain as. adalah penerus jalan beliau, akan tetapi mereka percaya pada Imam Husain as. Mereka tidak percaya pada Ali, akan tetapi mereka percaya pada beliau (Imam Husain as.). Mereka tidak percaya pada Allah sebagai Tuhan Imam Husain bin Ali, akan tetapi mereka menumpahkan penghormatan di hadapan Imam Husain bin Ali. Ini adalah hasil dari keikhlasan. Dalam revolusi besar kita, substansi keikhlasan telah menjadi dasar kelanggengannya; tak ubahnya dengan tambang murni dimana Imam [Khomeini] adalah manifestasinya.

Sekarang, coba kalian kembali ke memori-memori kalian dan kalian ingat padang-padang sahara itu, hawa-hawa panas itu, rasa takut dan getir medan perang itu, bahaya yang datang silih berganti itu, hawa dingin di bukit-bukit yang penuh salju itu, situasi-situasi terkepung itu, tidak adanya angkatan bersenjata yang kalian kokohkan untuk sebuah satuan, tidak adanya persenjataan hingga kalian harus berlari kencang untuk mendapatkan sepucuk senjata, dan coba kalian bangkitkan kembali perasaan masa-masa itu di pikiran kalian. Ketika itulah kalian menyadari kenapa ada konspirasi sedemikian besar terhadap revolusi ini dan hal ini masih berlangsung, namun pada saat yang sama, revolusi ini tetap berdiri kokoh.

Inilah sebuah substansi yang telah menjaganya, [yaitu] keikhlasan Imam [Khomeini] dan bangsa ini, khususnya keikhlasan para prajurit pejuang yang berada di medan-medan pertempuran dan kalian sebagai bagiannya yang terbaik dan modelnya yang sempurna. Ini adalah satu poin, haluan dan garis dasar yang kita semua harus senantiasa memegangnya, dan saya sendiri lebih membutuhkan perhatian ini terhadap poin ini daripada kalian.

Satu poin lain yang juga dalam rombongan perjuangan [Imam] Husain as. sangat penting dan sangat penting pula bagi kita mengingat kondisi kita sekarang ini. Poin itu dari satu sisi menunjuk pada kekuatan keikhlasan, yaitu tida ada satupun peristiwa berdarah di awal era Islam sebesar peristiwa Karbala dalam hal keasingan dan kesendirian. Inilah sejarah Islam. Siapa saja yang mau bisa melihatnya. Saya perjelas lagi bahwa tidak ada satu peristiwa seperti peristiwa Karbala; baik dalam peperangan-peperangan awal Islam dan perang-perang Nabi SAW maupun dalam perang-perang Amirul Mukminin [Ali bin Abu Thalib as.].

Dalam kondisi-kondisi demikian, pasti ada sebuah negara, ada pemerintahan, ada rakyat terlibat, prajurit-prajurit yang juga muncul dari mereka pergi ke medan perang, diantar oleh doa ibu-ibu dari belakang mereka, harapan saudara-saudara perempuan, sanjungan dari oang-orang yang melihat mereka, dorongan semangat dari pemimpin besar seagung Nabi atau Amirul Mukminin [Ali bin Abu Thalib as.]. Mereka pergi di hadapan Nabi dan berjuang dengan pengorbanan jiwa mereka. Ini bukan langkah yang sulit. Berapa banyak dari anak-anak muda kita siap untuk satu perintah Imam [Khomeini] lalu mereka korbankan jiwa mereka! Berapa banyak dari kita sekarang yang punya harapan; andai saja ada isyarat [perintah] dari Wali Yang Ghaib [Imam Mahdi as.] lalu kita korbankan jiwa kita!

Ketika seseorang di hadapan matanya melihat pemimpinnya dan segenap dorongan semangat yang mengantarkannya dari belakang, dan mereka membawa misi untuk bertempur hingga meraih kemenangan dan mengalahkan musuh. Dengan kondisi seperti itu, dengan penuh harapan mereka berperang. Peperangan yang demikian ini dibandingkan dengan apa yang kita lihat dalam peristiwa Asyura bukanlah perang yang sulit. Memang ada sebagian peristiwa yang relatif fenomenal, seperti peristiwa-peristiwa yang melibatkan keturunan para Imam seperti keturunan Imam Hasan as. yang terjadi di masa hidup para Imam as. Akan tetapi, mereka juga - mereka semua - tahu bahwa di belakang mereka, ada imam-imam seperti Imam Shadiq, seperti Imam Musa bin Ja'far as dan seperti Imam Ridha as. sebagai pemimpin dan tuan mereka yang mengawasi dan hadir, yang peduli terhadap mereka dan mengurusi sanak keluarga mereka.

Imam Shadiq dalam sebuah riwayat mengatakan, "Bangkitlah melawan dan perangilah penguasa-penguasa korup ini", lalu beliau melanjutkan, "Sedangkan akulah yang menanggung nafkah keluarga mereka." Ada masyarakat besar Syi'ah; menyanjung mereka dan mengagungkan mereka. Pada intinya, mereka punya sebuah kebahagiaan hati dengan yang di luar dari medan peperangan. Akan tetapi, dalam peristiwa Karbala, inti persoalan dan substansi dasar Islam yang dipercayai oleh semua orang, yakni Imam Husain bin Ali as. sendiri, berada di tengah peristiwa dan ditakdirkan untuk gugur sebagai syahid dimana hal ini juga beliau ketahui sendiri. Sahabat-sahabat beliau juga tahu akan hal ini.

Dalam skala dunia yang besar ini dan dalam negeri Islam yang terhampar luas dan panjang ini, mereka tidak punya harapan apa pun, pada pihak manapun. Mereka betul-betul asing dan sendirian. Tokoh-tokoh besar dunia Islam pada masa itu adalah orang-orang yang sebagian dari mereka tidak sedih manakala mendengar terbunuhnya [Imam] Husain bin Ali, karena bagi dunia mereka, beliau dianggap merugikan. Ada juga skelompok dari mereka yang memang sedih, namun mereka tidak sebegitu besar peduli terhadap kejadian ini, seperti Abdullah bin Ja'far dan Abdullah bin Abbas. Artinya, bagi mereka tidak ada harapan apa pun lagi dari luar medan pertempuran yang penuh dengan kegetiran dan bencana ini. Dan apa yang ada hanyalah di medan Karbala ini. Itu saja. Semua harapan disarikan dalam barisan ini, dan barisan ini telah menambatkan hatinya pada kesyahidan.

Setelah mereka dibunuh mati - sebatas ukuran-ukuran lahiriyah - juga tidak ada seorang pun yang mendirikan majlis duka untuk mereka. Yazid telah menguasai semua tempat, bahkan dia menawan wanita-wanita mereka dan dia tidak berbelas kasih terhadap anak-anak mereka. Maka itu, berkorban di medan ini benar-benar berat. "Tidak ada hari seperti harimu, wahai Abu Abdillah!" Kalau saja keimanan itu, keikhlasan itu dan cahaya Allah itu tidak bersinar pada wujud [Imam] Husain bin Ali as. sehingga menghangatkan sekelompok kecil orang Mukmin pengikut setia beliau, pasti peristiwa demikian ini tidak mungkin terjadi. Perhatikanlah, betapa agungnya peristiwa ini!

Oleh karena itu, satu dari keistimewaan lain dari peristiwa ini adalah segi keterasingannya. Karena itulah saya berulang kali selalu menyampaikan bahwa para syahid kita dapat dibandingkan dengan para syahid Badar, para syahid Hunain, para syahid Uhud, para syahid Shiffin, para syahid Jamal, dan sebagian dari mereka itu malah lebih unggul. Akan tetapi, para syahid Karbala tidak [bisa dibandingkan]. Tidak satu pun [dari para syahid] dapat dibandingkan dengan para syahid Karbala. Bukan hari ini saja, atau kemarin, atau sejak awal era Islam, bahkan hingga masa yang hanya Allah Yang Tahu dan Menghendaki. Para syahid [Karbala] itu benar-benar istimewa. Kita tidak akan menemukan seorang yang sebanding dengan Ali Akbar dan Habib bin Mudhahir.

Beginilah peristiwa [Imam] Husain bin Ali! Saudara-saudaraku tercinta, ini adalah basis yang kuat dan kokoh yang telah menjaga [eksistensi] Islam di dunia dari berbagai serangan musuh-musuhnya sepanjang seribu tiga ratusan tahun lebih. Apakah kalian berpikir bahwa jika kesyahidan itu, darah suci itu dan peristiwa sedemikian besar itu tidak terjadi, lantas Islam masih tetap ada?! Yakinlah bahwa Islam pasti tidak akan ada lagi. Yakinlah, Islam benar-benar hancur dalam badai petaka-petaka. Boleh jadi, Islam sebagai sebuah agama historis akan tetap ada dengan sekelompok pengikutnya yang lemah di sebuah sudut atau beberapa penjuru dunia, akan tetapi Islam yang hidup tidak akan ada. Islam mungkin tinggal nama dan ingatan saja. Namun sekarang, kalian lihat bagaimana Islam tetap hidup di dunia setelah seribu empat ratus tahun. Islam adalah pembangunan.

Sekarang ini, Islam adalah pencipta [generasi] di dunia. Sekarang, Islam di dunia telah menyadarkan perhatian bangsa-bangsa kepadanya sebagai harapan yang paling jelas dan terang benderang. Ini semua adalah berkat peristiwa Karbala dan jiwa pengorbanan [Imam] Huisan bin Ali as. itu. Dan sekarang Allah SWT telah menghendaki kelahiran kekuasaan Al-Quran yang pertama pasca era [Imam] Husain bin Ali as di dunia, yakni dengan berdirinya negara Republik Islam. Artinya, setelah peristiwa besar itu, usaha apa pun yang telah diupayakan adalah sebagai mukadimah untuk masa kita sekarang ini. Usaha segenap ulama, segenap pemikir, segenap filosof, segenap teolog, segenap jerih payah dan tenaga serta semua peperangan ini telah menjaga Islam, dan segala kondisi serta situasi telah tersiapkan hingga sekarang berdirilah sebuah pemerintahan di atas kedaulatan nilai-nilai ketuhanan dan Al-Quran. Keberuntungan dan nasib baiklah milik kalian dan bangsa Iran dimana Allah SWT. telah memikulkan beban ini sebagai beban awal ke atas pundak kalian. Tentu saja, kata ‘nasib baik' yang kita katakan ini tidak berarti kebetulan.

Allah SWT. tidak memberikan keberuntungan ini secara cuma-cuma dan sia-sia. Bangsa Iran telah melakukan banyak usaha, dan Allah SWT pada akhirnya menganugerahkan keberuntungan ini. Jelas, semua pengorbanan, usaha, ketulusan dan kerja keras ini tidak akan pernah habis. Janganlah berpikir bahwa kalau ada empat orang mengoceh polos sambil berharap puas di pojokan dunia dan mengatakan, "Hari ini atau besok, Republik Islam [Iran] sudah habis", maka ini akan terjadi! Tidak! Basis ini tidak akan pernah habis.

Saya dan kalian akan habis. Tidak ada orang yang hidup kekal. Orang-orang terbaik ialah mereka yang bertahan kuat dan hidup baik sampai mati. Ada juga sebagian orang yang tidak kuat bertahan sampai akhir. Kita punya semua tipe-tipe seperti ini. Setiap orang terancam oleh kepunahan, akan tetapi basis akan tetap utuh. Basis gerakan Islam ini dan geliat Islam yang bangkit kembali ini telah tertanam sepanjang berabad-abad. Basis itu terbangun dalam sepuluh abad usaha dan perjuangan; berpijak di atas Islam. Oleh karena itu, kalian lihat sendiri sekarang ini, betapa propaganda kekuatan arogansi dan Zionisme di dunia berusaha menampilkan buruknya wajah neraga republik Islam dan bangsa Iran serta kita semua ini. Tetapi justru kecintaan orang-orang terhadap Islam di semua penjuru dunia Islam semakin bertambah sejak lima dan sepuluh tahun terakhir ini. Coba perhatikan negara-negara Islam dan kaum Muslimin yang hidup di dunia non-Islam sebagai minoritas! Perhatikan juga bagaimana perlakuan-perlakuan kasar Negara-negara sombong itu terhadap orang-orang Muslim! Perlakuan-perlakuan kasar mereka itu bukan tanpa alasan. Kalau memang demikian [kaum Muslimin] itu seperti mayat di tangan pemandinya, tentu saja tidak akan ada perlakuan keras terhadap mereka itu.

Apa yang ingin saya sampaikan yaitu aspek keterasingan ini dalam kebangkitan [Asyura] ini telah membuat revolusi kita menyerupai kebangkitan [Imam] Husain bin Ali as. Kesendirian tidak membuat kalian takut dan gemetar. Imam Husain as dan para sahabat beliau - sebagai manusia-manusia besar yang karena merekalah kita menepuk dada, mencucurkan air mata dan sangat mencintai mereka lebih daripada mencintai anak-anak kita sendiri - telah melampaui puncak keterasingan itu, dan hasilnya ialah sekarang ini, Islam hidup. Peristiwa Karbala bukan semata-mata kejadian di sepetak tanah terbatas, akan tetapi saat ini tetap eksis dan hidup di kawasan yang besar dari lingkungan hidup manusia jaman sekarang. Karbala ada di mana-mana; di dalam sastra, dalam budaya, dalam tradisi-tradisi, di dalam kepercayaan dan di dalam hati dan jiwa. Siapa yang tidak sujud di hadapan Allah akan menundukkan kepadanya di hadapan keagungan Imam Husain bin Ali as. Keterasingan itu telah membuahkan hasilnya sekarang ini. Itulah puncak dari keterasingan.

Sekarang, kalian juga asing di dunia ini. Bangsa Iran di dunia sekarang ini asing dan tertindas. Keterasingan dan ketertindasan ini bukan berarti lemah. Sekarang, kita sudah sangat kuat. Percayalah ini dengan sepenuh-penuhnya, bahwa tidak ada satu pun dari bangsa-bangsa Muslim sekuat bangsa Muslim Iran; tidak ada satu pun dari mereka, baik yang kecil atau yang besar ataupun bangsa Muslim dengan populasi ratusan juta jiwa. Kekuatan dan keperkasaan bangsa Iran sekarang ini tengah memuncak. Pemerintah Iran juga demikian. Pemerintahan ini sangat kuat, sangat dicintai, sangat menarik perhatian negara-negara kuat dunia. Pada saat yang sama, bangsa dan negara yang kuat dan kokoh hingga menguasai segenap urusan-urusannya ini masih asing dan tertindas. Kita sekarang ini asing di dunia. Tidak ada satupun dari kekuatan di dunia ini yang mendukung kita.

Tentu saja, ini tidak berarti bahwa semua kekuatan dunia merapatkan barisan di hadapan kita. Tidak. Musuh-musuh kita jangan merasa puas kalau semua kekuatan dunia bersikap buruk terhadap bangsa ini. Kalau pun demikian, tidak ada yang perlu dikuatirkan. Kita juga pernah mengalami yang demikian ini. Akan tetapi sekarang ini, semua negara dan kekuatan dunia tidaklah seluruhnya bertentangan dengan kita. Banyak dari mereka yang merasa bahwa kepentingan dan keuntungan duniawi mereka -dengan segenap norma-norma materiil mereka- bukan didapat dengan cara berkonfrontasi dengan bangsa Iran. [Meski demikian], tidak ada satu pun dari mereka yang membantu dan memihak Iran. Negara yang paling kuat dan paling arogan di dunia ini justru memusuhi dan memerangi Iran. Mereka menindas Iran dan menganggap haknya tak lagi berarti. Mereka melancarkan tuduhan terhadap Iran, menutup-nutupi kebaikannya, dan membesar-besarkan kejelekannya walau sekecil apa pun. Inilah ketertindasan dan keterasingan bangsa Iran. Akan tetapi, ketertindasan dan keterasingan ini justru harus membuat kalian semakin kuat.

Saya katakan ini adalah anugerah Allah. Banyak negara dan pemerintahan disebut-disebut sebagai revolusioner yang juga didukung oleh kekuatan besar dunia masa itu; yakni Uni Soviet waktu itu. Kalau saja kita seperti itu, maka percayalah bangsa dan negara ini sudah korup. Apa yang kalian lihat sekarang ini, Alhamdulillah, hingga bangsa dan negara kita hidup aman adalah berkat [kemandirian] ini. Hal ini bukan artinya tidak ada korupsi di tengah masyarakat atau di antara pejabat negara, akan tetapi tubuh kita ini sehat; struktur kita sehat; poros-poros utama kita sehat; titik-titik vital negeri kita sehat.

Ini adalah karunia yang sangat besar. Ini [diraih] berkat hidup sendirian; berkat berlepas tangan dari berlindng kepada selain Allah. Dalam doa-doa kita membaca,

يا ملاذ من لاملاذله، يا عون من لاعون‏له، يا حصن من‏لا حصن‏له
"Wahai Pelindung bagi yang tak memiliki perlindungan. Wahai Pemberi Bantuan bagi yang tak berbantuan. Wahai Penjagaan bagi yang tak berpenjagaan."

Betapa indahnya doa ini; betapa manisnya tatkala seseorang tidak punya lagi bantuan apa pun hingga ia mengatakan, ‘Wahai Bantuan bagi yang tak berbantuan." Inilah ungkapan maling manis. Kalau ada pihak yang membantu kita, tentu saja kita tidak bisa mengatakan, "Wahai Bantuan bagi yang tak berbantuan"; wahai Sang Pemberi bantuan bagi orang yang tak lagi punya bantuan! Kalaulah kita masih menggantungkan harapan kita pada sesuatu, tentu kita tidak akan bisa mengungkapkan dengan penuh rasa dan jiwa, "Wahai Harapan bagi yang tak berpengharapan"; wahai Harapan bagi orang yang tidak punya harapan kepada siapapun kecuali kepada-Mu!

Lalu sekarang kita di level internasional tidak menggantungkan harapan kepada kekuatan apa pun, negara manapun, kekuatan intelegensi apa pun, kekuatan militer manapun, kekuatan politik manapun, organisasi dunia manapun, malah kita mengalami perlakuan buruk dari mereka ini, sehingga kita bisa berbicara dengan Allah SWT; dengan Tuhan kita; dengan Tuan kita; dengan Dzat Tercinta kita, dengan Dzat Terkasih kita secara tulus dan ikhlas dengan mengatakan, "Wahai Harapan bagi yang tak berpengharapan"; harapan kita hanyalah kepada-Mu!

Inilah yang memberikan kekuatan kepada sebuah bangsa. Imam [Khomeini] dahulu juga demikian. Lelaki tangguh ini dimusuhi oleh Barat dan Timur yang saling membahu dan ia tidak sekali pun gentar, akan tetapi betapa di tengah malam beliau mencucurkan air mata di hadapan Allah SWT hingga orang-orang dekatnya mengatakan kepada saya, ‘Pada setiap malam Imam menangis, sapu tangan tidak cukup untuk mengusap air matanya. Imam mengusap air matanya dengan handuk.' Kekuatan inilah bagian dari kekuatan-kekuatan itu.

Saudara-saudaraku tercinta! Wujudkanlah kekuatan ini sebisa mungkin dalam diri kalian. Demikian inilah bangsa ini sehingga tahan ancaman. Demikian inilah revolusi ini tahan banting hingga sesuatu apa pun tak berpengaruh terhadapnya. Musuh, tentunya, terus aktif melakukan upayanya. Sekarang musuh, bahkan tanpa bicara, dengan berbagai cara dan dengan senyuman yang melumpuhkan unsur-unsur yang lemah, ingin berusaha hingga rakyat lupa bahwa mereka pernah berdiri kokoh di hadapan kekuatan arogansi.

Ada dua barisan; satu barisan adalah barisan Islam, Al-Quran dan nilai-nilai ketuhanan serta spiritualitas, dan puncaknya adalah Republik Islam [Iran] dan pejabat-pejabat negara ini yang dengan kokoh, tanpa rasa takut dan kuatir telah bertahan di bawah tekanan yang berat itu, mereka gairah dan tidak gentar. Barisan lainnya ialah barisan segenap setan-setan dunia; seluruh kekuatan-kekuatan busuk dan sistem-sistem kotor dunia. Mereka berdiri di pihak yang berlawanan. Kalau seseorang punya kekuatan, maka di manakah dia harus menggunakannya?

Ini satu polarisasi kekuatan. Kalau seseorang punya gagasan, punya daya kreatifitas, lalu ke manakah dia akan menggunakannya? Kalau ada satu orang di dalam kubu yang benar, atau di luar kubu yang benar, dengan alasan bahwa dia sepenuhnya adalah pejuang anti kebatilan dan kebusukan, lalu ia menganggap adanya hal penting yang diabaikan atau katakan saja, dia telah menyaksikan adanya kesalahan, kekeliruan atau bahkan dosa, kemudian -karena itu- dia bermaksud melawan satu kelompok tertentu, apakah menurut kalian sikap dia itu bisa dibenarkan? Bukankah ini sama dengan membuang-buang kekuatan ilahi dalam rangka mengkufuri karunia Allah?! Orang-orang yang dengan alasan tertentu berusaha melemahkan pihak yang benar; melemahkan para pejabat; melemahkan pemerintah; melemahkan presiden, lembaga judikatif dan parlemen; bukanlah dengan itu dia sedang mengkufuri nikmat?!

Dalam suatu kasus, lembaga pengadilan telah melakukan kekeliruan dalam memproses pengadilan seseorang. Dalam satu kasus, seorang hakim mengatakan demikian. Lalu dalam kasus lain, seorang pejabat pemerintah telah mengambil sebuah tindakan. Kalaulah semua hal-hal ini dijadikan oleh mereka sebagai alasan hingga alih-alih semua kekuatan dikerahkan untuk melawan kebatilan, justru kekuatan itu mereka kerahkan untuk memerangi yang benar, apakah orang-orang ini tidak mengkufuri nikmat Allah?! Bukankah mereka ini pantas mendapatkan kecaman dari Allah?! Orang-orang di jaman kita ini harus waspada. Jangan sampai mereka melupakan dua barisan yang saling berhadap-hadapan itu; jangan sampai mereka salah menentukan kubu.

[Jadi, era] sekarang ini adalah berkah bagi kita semua, dan bagi kalian para angkatan Pasdaran, insya-Allah, lebih berkah lagi, dan memang harus menjadi berkah. Saya berharap kalian semua dan kita semua di bawah perhatian Wali Ashr (semoga jiawa-jiwa sebagai tebusannya) mendapatkan taufik sehingga kita bisa mengamalkan tugas-tugas diri kita demi peristiwa besar Islam di jaman kita ini, dan melaksanakan tanggung jawab kita, serta kita bisa berusaha sedapat mungkin untuk mewarnai diri kita dengan warna Imam Husain bin Ali dan sahabat-sahabat mulia beliau.

(Pidato dalam pertemuan dengan anggota angkatan bersenjata Sepah Pasdaran dan satuan khusus kepolisian dalam acara Hari Pasdar, 26/10/1372)
________________________________________

Rakyat di negara kita sudah mengenal Imam Husain as. mereka juga tahu kebangkitan Imam Husain as. Ada semangat Husaini itu. Oleh karena itu, ketika Imam [Khomeini] mengatakan bahwa bulan Muharram adalah kemenangan darah atas pedang, rakyat tidak terkejut, karena hakikatnya memang demikianlah; bahwa darah telah mengalahkan pedang.

(Khotbah shalat Jumat, Asyura 1416 Hijriyah - 9 Juni 1995 Masehi)
________________________________________

Asyura itu sendiri adalah acara-acara yang membangkitkan gairah, gerak, pemikiran dan pemahaman. Asyura bukanlah acara-acara yang kering dan kosong, akan tetapi acara-acara yang di dalamnya terdapat pemikiran, agenda, tujuan, pencerahan dan pemahaman. Rakyat begitu menghormati acara-acara yang berkaitan dengan Sayyidus Syuhada [Imam Husain] as.

(Pidato shalat Jumat, Tehran, 5 April 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar